Mohon tunggu...
Laras NandaM
Laras NandaM Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hanya mencoba :)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Benarkah Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat di Indonesia Dibatasi?

21 April 2021   08:04 Diperbarui: 21 April 2021   08:12 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Benarkah Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat di Indonesia Dibatasi?

Indonesia sebagai negara yang demokratis dengan menjunjung hak kebebasan berekspresi dan berpendapat. Karena hak tersebut merupakan hak dasar pada semua manusia yang bisa dinikmati oleh siapapun tanpa adanya intervensi atau diskriminasi dari siapapun yang sudah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28. Hal ini menunjukkan bahwa negara bertanggungjawab untuk menghormati, melindungi, dan menjamin atas hak kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Perkembangan teknologi dengan berbagai media baru, membuat kebebasan berekspresi dan berpendapat semakin luas. Karena setiap orang bisa menuangkan pikirannya, mencari, menerima, dan berbagi informasi dan ide dalam ruang publik. Ruang publik adalah konsep yang diperkenalkan oleh Jurgen Habermas, seorang filsuf dari Jerman dan dikenal sebagai generasi kedua dari Mazhab Frankfurt. Dalam buku yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Gourgeois Society, Habermas (1989: 27) menyatakan bahwa ruang publik dapat mengungkapkan/mengkritisi sebuah realitas, yang berarti ruang publik menciptakan kebebasan dan keadilan pada masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya yang sesuai dengan definisi nilai-nilai demokrasi disuatu negara. Bebas dalam ruang publik demokrasi deliberatif berarti setiap pihak dapat berbicara di mana pun, berkumpul, dan berpartisipasi dalam debat politis (Wattimena, 2007: 126).

Dengan adanya internet ruang publik memberikan peluang bagi demokrasi dengan melibatkan siapa saja dalam debat tanpa mengenal batasan ruang dan waktu maupun geografis. Karena sebuah isu bisa cepat menyebar dan menjadi topik perdebatan sampai ranah global. Hal ini mengarah pada networked public sphere (Benkler, 2006: 10-16), dengan internet siapa pun bisa berbicara atau mendistribusikan informasi. Karena terlalu banyak informasi diruang virtual dan diambil dengan tergesa-gesa dapat menciptakan rumor, berita palsu atau hoax. Hal ini akan membuat kita sulit membedakan mana yang berita benar dan mana yang berita palsu, sehingga merusak nilai-nilai pancasila dan kebhinekaan.

Namun dalam segi praktiknya kebebasan tersebut tidak benar-benar multak dan tidak sesuai dengan pendapat Habermas mengenai ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan dan tidak ada intervensi pemerintah atau otonom di dalamnya (Habermas, 1989:16). Yang dimana hak kebebasan berekspresi dan berpendapat masih menjadi ketakutan dan sebagai ancaman dengan hadirnya Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Berdasarkan data Amnesty International (2021) mencatat setidaknya terdapat 119 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE, dengan total 141 tersangka, termasuk di antaranya 18 aktivis dan empat jurnalis. Jumlah kasus tersebut adalah jumlah terbanyak dalam enam tahun terakhir. Banyak diantaranya dituduh melanggar UU ITE setelah menyatakan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Kasus berikutnya UU ITE yang menjerat korban yaitu Baiq Nuril, Guru honorer yang dihukum 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta setelah dijerat UU ITE dalam kasus penyebaran informasi percakapan mesum kepala sekolah tempat ia bekerja (BCC, 2019). Baiq Nurul merupakan korban dari pelecehan, akan tetapi ia malah dijadikan tersangka. Dapat dikatakan UU ITE menghambat dan melanggar atas hak kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Bahkan tanpa media pun, orang bisa berkomunikasi secara tatap muka yang dapat menghasilkan pemikiran kritis (diskusi). Dari sinilah ruang publik membangun civil society berkaitan dengan konsep masyarakat tentang hak kebebasan berpendapat dan berkumpul, yang mana opini publik dapat mempengaruhi dan memiliki kekuatan untuk memaksa otoritas bertindak sesuai dengan keinginan publik. Salah satunya dengan cara melakukan aksi protes (demonstrasi) dilakukan mahasiswa dan buruh dalam menolak RUU KPK dan UU Omnibus Law. Ruang publik disini sebagai tempat berkumpulnya orang-orang berdiskusi. Akan tetapi ruang publik telah menimbulkan masalah yang berujung kekerasan, kericuhan, dan perlawanan dari berbagai pihak antara para aparat dengan para demonstrasi.

Hal yang paling menggemparkan saat ini adalah munculnya Virtual Police untuk memberikan kesadaran beretika dalam ruang digital dengan memantau aktivitas masyarakat di media sosial. Virtual Police juga menegur pihak-pihak yang melanggar UU ITE. Kecemasan dan ketakutan masyarakat pun semakin menjadi-jadi dengan adanya UU ITE dan Virtual Police dalam berpendapat didunia nyata dan dunia maya. Karena kita secara tidak sadar menyampaikan dan menyebarkan pendapat yang bisa menimbulkan kebencian atau menyinggung perasaan orang-orang disekitar. Terkadang menurut kita menyampaikan informasi dan pendapat tersebut merupakan hal yang benar. Akan tetapi menurut orang lain malah sebaliknya.

Terlebih lagi Presiden Jokowi meminta warganya untuk lebih aktif dalam menyampaikan kritik dan saran terhadap kebijakan pemerintah. Hal ini mengundang kebingungan dari masyarakat menjadi ketakutan berkritik akan terancam penjara, diam dianggap tidak berpastisipasi dalam membangun negeri, - "Diam pun salah, berbicara pun salah", atau apakah dengan adanya masukan saran dan kritik dari kita dapat mengubah suatu kebijakan pemerintah?. Dari kejadian tersebut membuktikan bahwa hak kebebasan dan berpendapat sudah intervensi pemerintah dalam ruang publik. Hak yang didewa-dewa dalam segi hukum internasional, dikucilkan dalam segi praktiknya.

Sejatinya Indonesia berideologi demokrasi pancasila, bukan demokrasi liberal yang bisa membebas-bebaskan hak pendapat individu dalam ruang publik (kebebasan absolut). Dalam demokrasi pancasila, kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam ranah publik dibatasi, agar masyarakat tidak kebabblasan yang bisa mengacaman keamanan negara, ideologi negara, maupun keberagaman (suku, agama, ras).

Untuk itu pemerintah menghadirkan berbagai undang-undang bukan ingin mencekik kebebasan berbicara dan membungkam nilai demokrasi, tetapi untuk mencegah ujaran kebencian, penyebaran berita palsu, mencegah adanya kerusuhan, dan terorisme. Karena pemerintah juga harus menjaga keseimbangan antara hak kebebasan berbicara dan memelihara hukum dan ketertiban. Sehingga kita sebagai warga negara yang menyampaikan saran dan kritik harus berdasarkan data dan fakta, serta abad sopan santun, agar terciptanya saling menghargai bukan merugikan hak orang lain, dimana kita sebagai mahluk sosial harus saling menghargai satu sama lain.

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun