Nama : Laode Abdul Haq                   Nim  : 2020020103057
Persoalan tentang Penyatuatapan Peradilan Agama (PA) dibawah Mahkamah Agung (MA) sejak dulu sudah mengalami pro dan kontra bagi sebagian pihak. Hal ini sudah terjadi ketika dikeluarkan UU No. 35 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa: Pengalihan Peradilan Umum dan lainnya dapat dilakukan selama 5 tahun, sementara Peradilan Agama tidak ada waktu tertentu yang artinya dapat diterapkan selama-lamanya.Â
Tentunya ini berarti tidak adanya penyatuatapan antara peradilan-peradilan tersebut. Selanjutnya, ada dua orang yang memberikan alasan terkait setuju dan tidak setuju terkait adanya penyatuatapan peradilan agama ini, mereka adalah Ismail Sunnny dan Busthanul Arifin. Ismail mengatakan bahwa: peradilan agama tidak boleh dialihkan ke Mahkamah Agung. Sedangkan Busthanul memberikan tanggapannya: Peradilan Agama tidak akan pernah beralih hingga kiamat sekalip
Selain itu, sebelum era reformasi sistem kenegaraan kita sudah memiliki elemen-elemen trias politika yaitu; kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasan yudikatif, namun fungsi-fungsi idealnya tidak berjalan efektif mengingat begitu kuat dan dominannya unsur kepemimpinan.Â
Namun, seiring berjalannya waktu hal itu kemudian dirombak sedemikian rupa sehingga lekuasaan kehakiman pada masa reformasi mengarah pada upaya membentuk sistem peradilan mandiri dengan sistem peradilan satu atap.Â
Walaupun proses peralihan kekuasaan ini berat, namun berjalan dengan lancar, kecuali peradilan agama yang proses peralihannya sedikit mengalami perdebatan panjang. Karena jika diadakannya penyatuan sistem peradilan dibawah satu atap akan banyak menimbulkan pemerintahan yang sewenang-wenang. Sehingga agar mencegah terjadinya kesewenangan itu, badan atau sistem peradilan tidak boleh disatukan atau harus di pisahkan satu sama lain
Di Indonesia, alasan penerapan peradilan satu atap yaitu untuk menjadikan sistem hukum sebagai subjek informasi. Hal ini didayagunakan sebagai alat untuk mempercepat evolusi (celebrate evolution vehicle) berupa transisi dari tertib hukum yang bernuansa refresif dan otoriter kearah kehidupan masyarakat yang demokratis-responsif, tanpa embel-embel.Â
Adapula wacana terkait menjadikan seluruh lingkungan peradilan berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung (MA), baik aspek judisialnya maupun aspek non-judisialnya. Hal ini terus bergulir dan selalu menimbulkan kontroversi.Â
Satu pihak menghendaki agar seluruh peradilan berada satu atap di MA, sementara pihak lain menghendaki seperti keadaan selama ini. Disamping itu, ada hasil yang sudah ditetapkan oleh MPR ditahun 1998 tentang fungsi yudikatif tidak boleh bergabung dengan fungsi eksekutif karena akan menimbulkan perseteruan antara dua lembaga yang berbeda.
Disamping itu, adanya penyatuatapan badan peradilan ini memiliki tujuan untuk menciptakan independensi bagi lembaga peradilan. Diketahui bahwa UU No.14 pada tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman dimana sistem kita menganut dua atap yang mana masuknya pihak eksekutif dalam kekuasaan kehakiman disinyalir sebagai salah satu sebab mengapa kekuasaan di negeri ini tidak independen.Â
Karena itu, kompleksitas permasalahan di seputar sektor peradilan di awal reformasi adalah berkaitan dengan format yuridis formal pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dan eksekutif.Â