Mohon tunggu...
Trie Yas
Trie Yas Mohon Tunggu... Jurnalis - Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ketegaran Perempuan Jawa dalam Film "Siti"

12 Juni 2015   04:39 Diperbarui: 10 Mei 2016   16:58 1433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Rumput tetangga lebih hijau…. Mungkin itu memang benar sebab kita lebih sering terpesona dengan milik orang daripada miliki sendiri. Mungkin karena kita kurang bersyukur atau kurang mengenal asal kita, diri kita, jadi selalu kurang bisa menghargai dan lebih asyik membanding-bandingkan. Banyak film berkualitas di Indonesia dan dapat apresiasi di negara-negara lain. Tetapi kita terlalu silau dengan film buatan orang asing dengan kebudayaan mereka

Apa kita sekarang kurang meng-Indoneisa-kan diri kita? Atau sebatas pengakuan padahal hati kecil kita kurang mengenal budaya bangsa sendiri? Banyak sineas kita yang mengangkat film dengan tema kebudayaan bangsa. Menyoroti masyarakat kita dari beberapa kalangan, dari beberapa pelosok di negeri ini yang kurang terjamah, terekspos kehidupan dan masyarakatnya. Tetapi apa yang didapat dari film tersebut? Masyarakat lebih tertarik datang ke bioskop menonton film asing yang menawarkan fantasisme tinggi dengan kemajuan zaman teknologi dan mimpi-mimpi duniawi. Film yang menggambarkan masyarakat bawah, dunia real, dunia kita, saudara-saudara kita. Ternyata kurang dapat tempat di gedung bioskop yang megah. Entah karena masyarakat kita yang lebih senang disuguhi mimpi atau memang industri perfilman kita yang tak tertarik menyediakan tempat.

Orang datang ke bioskop untuk mencari hiburan, apa sebatas hiburan? Tentu setelah keluar bioskop kita jadi sedikit terisi, bertambah pengetahuan wawasan sebab film adalah potret kehidupan yang digambarkan sebuah objek yang dimainkan. Film yang baik adalah film yang menginspirasi kita, film yang bisa menambah kita wawasan tak sebatas hiburan atau tawa yang beberapa jam kemudian akan lupa.

Namun, film adalah dunia industri yang memakan banyak biaya dan ada angka untung-rugi yang menjadi pertimbangan utama. Jadi lumrah jika banyak pelaku industri perfilman membuat film dengan target bisa bertahan lama di bioskop meski itu artinya mengikuti tren pasar. Tetapi setiap sineas film punya impian dan idealis. Seperti halnya seorang Ifa Isfansyah yang namanya mulai diperhitungkan di dunia perfilman Indonesia karena karya karyanya yang diterima oleh masyarakat pecinta film. Tercatat ada film "Garuda di Dadaku", "Sang Penari" yang sukses dan terakhir ia dipercaya duduk di bangku sutradara di film "Pendekar Tongkat Emas" produksi Miles.

Tetapi coba kita tenggok karya lain seorang Ifa Isfansyah di luar film-film besar tersebut. Film “Siti” film hitam putih dan berdialog bahasa Jawa yang mengangkat isu sosial kelas bawah. Ifa tidak duduk di bangku sutradara melainkan sebagia produser. Film "Siti" adalah debut sutradara Eddie Cahyono dalam penyutradaraan film panjang.

Film ini berpusat pada satu tokoh, yaitu Siti perempuan 24 tahun yang sudah berumah tangga dan memiliki satu anak, tetapi dalam perjalanan kehidupan berumah tangga tak seindah bayangan. Awalnya semua berjalan lancar, ada anak, suami bekerja di laut, tetapi musibah datang tanpa permisi. Suami Siti kecelakaan dan lumpuh total. Dan mulai dari situlah Siti harus menjadi tulang punggung keluarga, membiayai anak sekolah dan mengurus rumah sekaligus suami dan ibu mertua, Darmi yang sudah tua tetapi masih gigih berjualan peyek jangki di pantai bersama Siti.

Jika hanya untuk makan dan biaya sekolah juga sehari-hari tentu tak membuat Siti tertekan dan mengambil kerja malam sebagai pemandu tempat karaoke. Suami Siti, Bagus sebelum kecelakaan dan lumpuh meninggalkan utang untuk membeli kapal. Karena itu ibu mertua Siti hanya bisa diam pasrah melihat Siti bekerja di tempat malam dan merokok sebab tak ada pekerjaan lain agar bisa mencicil utang tiap bulannya. Kerja sebagai TKW tentu tak mungkin, siapa yang merawat anak dan suami yang lumpuh dan menjaga mertua. Belum lagi menjadi TKW butuh dana banyak untuk pendidikan. Jadi PNS lulus SMA saja tidak.

Di saat Siti mulai merasa lelah, ia berkenalan dengan polisi ganteng yang sering ke tempat karaoke. Lelaki itu menyukai Siti dan mengajaknya menikah. Siti bimbang, apa dia harus menyerah dan memulai hidup baru, atau tetap bertahan dengan hidup dengan suami lumpuh yang tak mau berbicara dengannya tetapi sangat dikasihi. Pulang dari tempat karaoke, Siti mabuk dan harus dipapah kedua tangannya untuk sampai rumah. Saat itulah Siti bercerita ada lelaki yang mau menikahinya dan tak disangka ternyata suaminya menjawab, “Lungongo, Ti…. (Pergilah, Ti…)" Saat itu juga tangisan Siti pecah penuh amarah.

Lewat film ini, kita akan dibawa arus pergulatan batin Siti sebagai ibu rumah tangga, menyiapkan makan anak, menemani belajar dan bermain layang-layang. Mengurus suami, mandiin dan menyuapi makan, mati-mati berjuang mencari uang untuk melunasi utang suaminya. Tetapi ironisnya, suaminya tak mau bicara dan hanya diam saat Siti bercerita tentang anak mereka, tentang pekerjaan dan utang yang harus dibayar dan puncaknya ketika becerita ada lelaki yang mengajaknya menikah, suaminya baru bicara dan menyuruhnya pergi.

Film ini mengambil lokasi dekat Pantai Parangtritis dengan menggunakan bahasa Jawa. Mungkin orang yang tak mengerti bahasa Jawa akan sulit memahami arti percakapan antarpemain, tetapi pendalaman karakter para pemain sangat dalam, pesan yang ingin disampaikan sangat mudah tertangkap. Jadi, tak perlu heran kenapa Siti berani merokok di depan mertuanya karena tokoh Siti dan ibu mertuanya dibangun dengan mulus, tak ada sekat. Ibu mertua sangat memahami kondisi Siti dan menganggap Siti anaknya sendiri, berterima kasih sudah mau merawat dia dan anaknya. Jadi, ketika Siti pulang dalam keadaan mabuk, temannya pun tak sungkan dan membawa Siti ke kamarnya yang ia tiduri dengan suaminya.

Dari awal pembuatan film ini untuk Festival. Jadi tak heran jika pemeran utamanya, Sekar Sari sebagai Siti, meraih Best Performance for Silver Screnn pada kategori film Asia di Singapore International Film Festival 2014. Film ini juga diputar di Indonesian Film Festival (IFF) 2015, yang digelar di Melbourne, di Festival Film Internasional yang digelar di Rotterdam, dan Festival Film Asia Jogja-netpac.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun