Mohon tunggu...
Langit Muda
Langit Muda Mohon Tunggu... Freelancer - Daerah Istimewa Yogyakarta

Terimakasih Kompasiana, memberi kesempatan membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Money

Jangan Pernah Biarkan Sertifikat Tanah Kita dalam Penguasaan Orang Lain

21 September 2021   06:58 Diperbarui: 21 September 2021   07:02 2149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Beberapa tahun lalu, ada tetangga datang bertamu. Jadi tetangga yang sudah sepuh ini, hendak mensertifikatkan tanahnya, untuk nantinya bisa dibagi-bagi kepada anaknya. Praktek pembagian warisan sebelum meninggal ini sekarang makin umum. Dasar pemikirannya untuk mencegah pertengkaran setelah orang tua meninggal. Juga meminimalkan turut campurnya  pihak-pihak di luar ahli waris yang bisa saja memperkeruh suasana.

Nah, untuk keperluan itu, beliau memerlukan fotocopy sebagian sertifikat tanah kami, terutama yang berkaitan dengan bagian denah tanah. Menurutnya, dengan denah tanah tetangga itu bisa membantu mempercepat proses pensertifikatan. Kami menjanjikan besok fotocopy bisa diambil ke rumah.

Kami lakukan fotocopy sendiri bagian-bagian sertifikat yang diperlukan saja, tidak perlu keseluruhan sertifikat. Dan esoknya beliau ambil. Dan kelihatannya urusannya lancar.

Suatu kali ada saudara yang hendak menyewakan tanah. Lalu ada peminat serius yang memerlukan mengecek ke notaris dan BPN. Saudara kami lalu memfotocopy sendiri sertifikat tanah tersebut, dan lalu menyerahkannya kepada calon penyewa.

Jadi kesimpulan dari kedua cerita di atas adalah apapun keperluannya, sertifikat asli tetap berada dalam penguasaan kita. Kalaupun ada yang diserahkan kepada orang lain, itu hanya berupa fotocopy saja. Meskipun dalam bentuk fotocopy pun, jangan sembarangan membiarkan orang lain melihat atau memilikinya. Jangan dirosok apalagi dipakai buat bungkus kacang. Kalau kita hendak membuang kertas fotocopy tersebut, misalkan, bakar saja sekalian, lebih aman.

Saat ini dengan perkembangan teknologi, tersedia printer dengan kemampuan scanner dan copier. Kita bisa melakukan copy sendiri. Bila dokumen panjang mungkin agak capek tetapi lebih aman. Minimal bila ketlisut hanya di dalam rumah sendiri. Berbeda halnya dengan bila dibawa ke tempat fotocopy. Bagaimana bila sedang dalam keadaan ramai, banyak orang, banyak kertas? Apa akibatnya kalau sertifikat asli kita sampai nyasar dipegang orang lain? Bisa mengundang kerumitan dan kerawanan. Istilahnya, jangan sampai "membangunkan setan".

Kalau memang hendak menyimpan sertifikat asli kita di dalam rumah, pastikan kita menyimpannya dengan aman. Seperti kalau kita menyimpan barang berharga, misal logam mulia, maka dokumen berharga juga diperlakukan serupa.

Cara yang lebih aman iyalah dengan menyimpan di safe deposit box di bank. Sehingga kita sendiri yang berhak mengambilnya. Bila suatu hari kita meninggal maka ahli waris yang kita tentukan, yang berhak mengaksesnya. Menyimpan pada safe deposit box di bank juga mencegah kerusakan dari bencana banjir, kebakaran, dan tindak kejahatan.

Untuk sejumlah keperluan kita kadang memang perlu membawa sertifikat asli. Misalkan saat hendak melakukan sewa menyewa tanah/rumah, kita perlu menunjukkan sertifikat asli kepada notaris. Dari pengalaman saya, notaris memeriksanya di tempat kemudian mengembalikannya lagi kepada kita. Jadi tidak sampai "sertifikat" menginap di tempat notaris. Kalau saat jual beli tanah mungkin berbeda. Monggo, silakan bila ada yang punya pengalaman.

Saat menonton berita pembagian sertifikat tanah secara massal kepada warga di sejumlah desa oleh presiden atau pejabat terkait, di satu sisi ada perasaan gembira, tetapi bercampur dengan rasa khawatir. Saya terpikir apakah para penerima sertifikat ini sudah benar-benar memahami betapa pentingnya dokumen yang mereka pegang tersebut? Apakah mereka memiliki pengetahuan yang cukup untuk menyimpan sertifikat tersebut secara aman? Jangan sampai rejeki memperoleh sertifikat ini, di kemudian hari kemudian menjadi bencana untuk diri dan keluarganya.

Literasi mengenai pentingnya mengamankan dokumen-dokumen penting seperti SIM, KTP, KK, paspor, ijazah, sertifikat, termasuk buku rekening dan ATM bank, inilah yang seharusnya perlu diajarkan kepada anak-anak kita sejak SD. Jadi kalau suatu kali anak-anak melihat ada dokumen penting yang tercecer, tidak dipakai buat mainan, tetapi melaporkan kepada orang tua.

Kita mungkin sering menerima promo dalam bentuk sms spam, atau iklan tertempel di tembok, tiang listrik, dan pohon di pinggir jalan, bunyi iklan semacam ini, "Jaminan BPKB, sertifikat, tanpa survey, satu jam cair". Jujur, kalau suatu saat hendak menggadaikan, saya hanya tega melakukannya pada BPKB kendaraan, tapi bukan untuk sertifikat tanah. Itupun kendaraan digadaikannya di Pegadaian, sehingga lebih terjamin.

Kalaupun terpaksa "menyekolahkan" sertifikat tanah, pastikan kita hanya melakukannya pada bank yang bereputasi bagus, dan dengan perjanjian yang resmi, serta notaris dan pejabat bank yang berwenang, bukan di bawah tangan. Sehingga kalaupun suatu saat, kita gagal mencicil, ada solusi yang berkeadilan. Setahu saya setelah tanah disita dan dilelang bank, bila ada kelebihan maka kita juga memperoleh bagiannya. Mohon dikoreksi bila salah.

Bagaimana dengan praktek yang banyak terjadi di masyarakat kita saat ini, menitipkan sertifikat kita sebagai jaminan pada orang yang memberi kita pinjaman uang. Kalau menurut pendapat pribadi saya, ini sebuah praktek yang buruk, terlepas dari "label" apa yang melekat pada orang tersebut. Apakah saudara, teman, atau seorang yang kita segani seperti tokoh masyarakat/agama atau guru spiritual.

Maaf, menitipkan sertifikat asli ke orang lain, bagaikan "mengundang setan". Yang ujungnya menimbulkan permasalahan di kemudian hari, dan yang jelas akan merusak pertemanan, persaudaraan, kekerabatan.

Orang bisa tergoda untuk melakukan penyimpangan dengan sertifikat asli yang dipegangnya, misal menggadaikan ke lembaga lain. Atau bahkan melakukan balik nama. Bukankah tak kurang berita, bagaimana orang meminjam uang, tahu-tahu sertifikat sudah berganti nama? Atau tiba-tiba datang orang membawa pengacara dan pasukan preman hendak menggusur karena sertifikat ternyata telah digadaikan, dan yang menggadaikan sejak awal memang tidak punya itikad untuk mencicil.

Logikanya memang sertifikat tanah tidak bisa dibalik nama tanpa sepengetahuan dan seizin sang pemilik yang tercantum di situ. Kenyataannya, hal itu ada terjadi. Entahlah, apakah ada kongkalikong dengan oknum aparatur yang berkaitan dengan hal tersebut.

Kalau soal sertifikat tanah, jangankan teman atau saudara, anak/menantu pun bisa jadi musuh. Bukankah tak kurang berita bagaimana diam-diam menantu mencuri sertifikat milik mertua, dan tahu-tahu sudah balik nama atau sudah digadaikan?

Orang bisa saja datang ke pengadilan untuk mencari keadilan. Tetapi biasanya kasus-kasus pertanahan memerlukan waktu yang lama dan biaya tinggi. Yang pasti menghabiskan banyak energi. Bukankah lebih baik bila permasalahan itu semua bisa dihindari sejak awal?

Yang mungkin masih jadi tanda tanya ke depan adalah rencana pemerintah pada program sertifikat tanah elektronik. Apakah sudah diantisipasi, hal tersebut bakal meningkatkan keamanan atau justru mengundang kerawanan baru? Kasus kebocoran sertifikat vaksin saja menimbulkan kehebohan, bagaimana kekacauan yang bakal timbul jika ada pembobolan sertifikat tanah? Hal tersebut perlu dipertimbangkan dengan matang.

WYATB GBU ASAP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun