Mohon tunggu...
Langit Muda
Langit Muda Mohon Tunggu... Freelancer - Daerah Istimewa Yogyakarta

Terimakasih Kompasiana, memberi kesempatan membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Diperlukan Konsultan Perkawinan atau Parenting di Layar TV

17 Mei 2021   08:54 Diperbarui: 17 Mei 2021   08:58 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terdapat sebuah adegan yang kerap terjadi dalam acara ceramah pengajian di layar kaca yang diisi ustad/ustadzah. Pada sesi tanya jawab, seorang wanita di ujung telpon menceritakan persoalan keluarganya yang biasanya melibatkan suami dan mertua dengan terisak menahan tangis. Mirisnya, hal ini seringkali kurang mendapat respon yang berempati dari sisi penerima yang biasanya terdiri dari ustad/ustadzah beserta "tim hore". Malah seringkali dijadikan celotehan dan bahan candaan oleh tim hore-nya. Sementara itu solusi yang diberikan oleh ustad/ustadzah juga cenderung hanya main comot ayat dan hadits dengan metode ala otak-atik gathuk. Mungkin dalam mindsetnya adalah, "Pokoknya kita sudah memberikan jawaban berdasarkan Quran dan hadits".

Padahal solusi yang diberikan kadang nggak nyambung, mengambang, dan maksa. Dari sisi aplikatif dan efektifitasnya pun menjadi pertanyaan tersendiri. Untuk memberikan jawaban yang tepat sebenarnya diperlukan tenaga profesional yang kompeten di bidangnya.

Hebatnya acara ini adalah, meskipun sudah banyak yang bertanya menjadi bahan tertawaan tanpa pemberian solusi optimal, tetapi masih tidak mengurangi minat orang untuk menjadikannya jujugan permasalahan rumah tangga mereka. Sampai-sampai saya sempat berprasangka juga, jangan-jangan di antara mereka yang bertanya itu ada yang "settingan".

Sesi tanya jawab dalam acara ceramah pengajian di tv rupanya telah menjadi salah satu sesi favorit. Dan kebanyakan pertanyaan yang menarik buat para pemirsa adalah mengenai permasalahan keluarga dan parenting. Yah, tidak beda jauh kan, dengan gosip favorit di suatu kompleks adalah bisik-bisik masalah rumah tangga tetangga.

Dewasa ini, persoalan perkawinan/parenting menjadi makin kompleks. Kalau boleh dianalogikan, bila kita hendak membangun jembatan, maka kita perlu pengetahuan mengenai Teknik Sipil. Ustad/ustadzah ya jangan diminta membangun jembatan.

Misalkan saja, terdapat permasalahan anak kecanduan game online. Ya tidak bisalah kalau hanya dijawab dengan pemaparan mengenai kisah Lukmanul Hakim mendidik anak. Tidak bisa juga dijawab solusinya dengan tertib sholat lima waktu. Mereka yang kecanduan game online, tetap masih bisa kalau hanya tertib sholat lima waktu, tetapi "tertib" juga dalam hal main game online. Perlu jawaban yang lebih membumi, realistis, dan feasible. Kalau istilah Bu Tejo, "Mbok yo sing solutif ..."

Di kementrian agama dan KUA, pastilah ada para tenaga profesional yang memiliki kompetensi untuk menangani konsultasi perkawinan/parenting. Misalkan saja di KUA ada Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yang berfungsi sebagai konseling perkawinan. Tentunya ada para tenaga profesional yang sudah sering berhadapan langsung dengan banyak persoalan perkawinan. Mereka memiliki pengalaman yang banyak sehingga solusi yang dihadirkan tentu lebih "battle proven", bukan hanya sekedar comot-comot ayat dan hadis.

Di luar sana, terdapat psikiater atau psikolog yang berpraktek atau membuka klinik yang menyediakan jasa konseling perkawinan/parenting. Mereka tentu juga sudah menangani beragam klien yang memiliki permasalahan dalam hal tersebut. Bisa dipilihkan dari mereka yang memiliki pengetahuan agama yang juga mumpuni bila konteksnya adalah acara ceramah pengajian. Atau diduetkan dengan sang ustadz/ustadzah. Sehingga masing-masing memiliki sisi yang saling melengkapi.

Jangan sampai gara-gara solusi asal mangap yang diberikan oleh sang ustad/ustadzah, rumah tangga si penanya justru menjadi makin berantakan. Saya kadang merasa khawatir saat mendengar jawaban dari sang ustad/ustadzah. Jangan-jangan si penanya malah jadi makin stress gara-gara usahanya menjalankan solusi minim progress. Solusi juga tidak bisa sekali jadi, perlu adaptasi, perlu perubahan strategi, dst. Nah, hal-hal semacam ini, mohon maaf, masih minim dikuasai oleh para ustad/ustadzah seleb. Mereka memang jago melantunkan ayat-ayat dengan begitu indah. Mereka juga jago berdeklamasi dan mendramatisasi. Tetapi bukan untuk memberikan suatu solusi.

Kecuali kalau kita bisa kembali ke jaman di mana kita bisa menemukan para kyai kharismatik dengan karomah luar biasa, yang steril dari syahwat politik dan hasrat duniawi. Di jaman dulu, para kyai memang menjadi jujugan dari segala masalah. Termasuk ketika tanamannya gagal panen, atau di kampungnya ada wabah penyakit. Berapa banyak di jaman ini para kyai yang memiliki kaliber tersebut? Sangat sulit untuk menemukannya.

Saya kira mereka yang mengelola dunia pertelevisian perlu lebih mencermati masalah ini. Bukan hanya peduli soal rating belaka. Karena bisa dimengerti ceramah pengajian pun saat ini juga sudah menjadi suatu bentuk komoditas. Berapa banyak anak-anak bermimpi menjadi ustad/ustadzah kondang, dengan impian dalam bayangan mereka adalah para ustad/ustadzah seleb yang kehidupan pribadinya termasuk kemewahan hidup yang dinikmati kerap diulik oleh tayangan infotainment. Saya tidak tahu apakah MUI, KPI, KPAI bakalan berminat mencermati masalah ini.

Jadi pengelola tv perlu mengetahui kapan saatnya diperlukan tenaga profesional yang mampu memberikan konseling perkawinan/parenting, bukan ustad/utstadzah seleb yang sekedar jago bermain kata dan mendramatisir.

WYATB GBU ASAP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun