Mohon tunggu...
Langit Muda
Langit Muda Mohon Tunggu... Freelancer - Daerah Istimewa Yogyakarta

Terimakasih Kompasiana, memberi kesempatan membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Protokol Kesehatan, Kata Sakti yang Melenakan

29 April 2021   21:27 Diperbarui: 29 April 2021   21:52 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Protokol kesehatan adalah aturan dan ketentuan yang perlu diikuti oleh segala pihak agar dapat beraktivitas secara aman pada saat pandemi COVID-19 ini.

Makna gerakan 5M protokol kesehatan yaitu:

  1. Memakai masker
  2. Mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir
  3. Menjaga jarak
  4. Menjauhi kerumunan
  5. Membatasi mobilisasi dan interaksi

Minum membatalkan puasa, kentut membatalkan sholat, Covid membatalkan mudik. Untunglah lebaran tidak bisa dibatalkan. Sebagian orang masih memperlakukan pandemi bagaikan kentut, tidak percaya sebelum "tercium baunya". Jadi masih ada yang tetap keukeuh bahwa mudik tahun ini tidak layak untuk dibatalkan.

Mudik Lebaran 2021 resmi dilarang selama 6-17 Mei 2021. Meski Pak Wapres sempat melontarkan usulan (semoga saja dianggap sekedar usul bukan instruksi karena datang dari RI-2), supaya santri diberi dispensasi diperbolehkan mudik. Presiden ngomong apa, Wapres ngomong apa. Kepriben jal?

Pelarangan mudik ini kalau dibikin sinetron mungkin judulnya "Pintu maaf masih terbuka, pintu mudik sudah tertutup". Sementara di sisi lain, mereka yang jengkel gara-gara gagal mudik, mengangankan sinetron azab dengan judul "Azab gara-gara melarang mudik, lupa jalan pulang ke rumah".

Padahal virus corona itu "sangat adil". Tidak pilih-pilih. Tidak pandang bulu. Semua dihantam. Tidak peduli soal sebutan dan status. Tidak peduli soal pangkat dan jabatan. Tidak peduli dispensasi atau diskresi. Tidak peduli soal peraturan di atas kertas. Tidak peduli bagaimana prosedur surat izin perjalanannya diperoleh. Tidak peduli mengaku mudik atau pulang kampung. Tidak peduli orang mempercayai keberadaannya atau tidak.

Sekitar sebulan lalu, saudara-saudara saya di Sleman, punya cerita mengenai klaster takziah. Ada warga yang meninggal, bukan karena corona. Warga sekitar datang bertakziah, ada juga yang berasal dari luar dusun.  Entah apakah ada kaidah protokol kesehatan yang dilanggar atau bagaimana, yang jelas, hasilnya seratus orang dinyatakan positif covid, satu  meninggal dunia

Klaster mudik bukan sesuatu yang sulit terjadi, menyoroti masih minimnya kesadaran masyarakat kita bahkan untuk sekedar mengenakan masker. Di perkotaan masih ada aparat yang mengawasi. Di desa minim pengawasan, banyak yang melenggang tanpa masker.

Beberapa alasan orang hendak mudik:

  • Berkumpul dengan orang-orang terdekat (keluarga)
  • Bersilaturahmi dengan orang-orang di kampung halaman

Dua tujuan yang sangat mulia sekaligus mengandung bahaya. Terdapat perbedaan situasi normal vs situasi new normal, sehingga tujuan mulia tadi pun bisa berdampak tragis. Bagaimana dengan keselamatan orang-orang terdekat dan orang-orang di kampung halaman, sanak saudara, handai tolan? Keinginan untuk membahagiakan mereka bisa berujung pada membahayakan mereka. Kepadatan selama dalam perjalanan bisa memungkinkan transmisi virus, meski yang membawa virus tidak merasakan gejalanya.

Bagaimana dengan adanya yang mudik lebih awal, atau lebih mundur, dari tanggal larangan yang ditetapkan? Kepadatan bisa saja berkurang, tidak terakumulasi di satu rentang waktu saja. Tetapi saat di kampung halaman protokol kesehatan tetap harus diterapkan. Kalau tidak, ya miwon, sama juga sami mawon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun