Banyak yang gembira menyambut bulan puasa dan lebaran karena bermunculannya penganan dan masakan khas yang enak-enak dan manis-manis. Tapi ada yang menjalani hari-hari di bulan puasa dan lebaran dengan perasaan was-was. Was-was karena apa? Karena mengidap phobia terhadap suara ledakan petasan.
Banyak yang mengidap phobia terhadap suara ledakan petasan enggan mengakuinya. Mungkin karena khawatir dianggap aneh. Di tengah-tengah bangsa yang gemar "berpetasan", tapi phobia terhadap suara petasan. Ntar dianggap "nggak Indonesia banget".
Jadilah, tubuh ditenang-tenangkan, wajah dipasang poker face, pokoknya harus terlihat tetap cool, meski jantung terasa hampir copot. Para cowok, biasanya lebih jaim soal ini. Mungkin khawatir phobia petasan akan menurunkan kadar kemachoan dan tingkat kejantanan mereka. Berlagak suara petasan terdengar bagai suara kentut, padahal jantung pingin koprol, serasa hendak ngumpet di bawah meja. Â
Tampang sangar, badan segede gaban, bukan jaminan. Begitu dengar suara petasan cabe, langsung guling-guling kayak trenggiling. Body Rambo, hati Rinto.
Mungkin bagi yang phobia petasan, kalau mendengar ceramah Pak Ustad yang kayak begini, bawaannya pingin merespon meski cuma dibatin:
Ustad: "Kita semua merasa sangat bergembira, sebentar lagi akan bertemu dengan bulan Ramadan ..."
X: "Kalau soal kolak pisang, es degan, cendol dawet, Gue juga bahagia Pak Ustad. Tapi ada itu tuh ... yang bikin Gue was-was ... meledaknya nggak kenal waktu .. "
Ustad: "Seandainya saja setiap bulan adalah bulan Ramadan, betapa indahnya hidup kita .."
X: "Pak Ustad sih enak orderan ceramah mengalir setiap hari. Tapi Gue mesti parno dan jantungan setiap hari .... Semoga ada yang mengajak Gue pindah ke Kutub Utara ..."
Ustad: "Marilah kita berdoa semoga pandemi ini segera berlalu ...."
X: "Gue sih nggak keberatan pandemi terus berlanjut, gara-gara pandemi frekuensi suara ledakan petasan makin minim, makin ayem, makin khusyu ..."
Kayaknya di jaman ini terjadi degradasi perihal etika bocil-bocil dalam berpetasan. Bila dulu orang bermain petasan di ladang, lapangan atau menghindari permukiman, sekarang bocil-bocil tanpa rasa bersalah bermain petasan di depan rumah orang. Mainnya pun bisa tak kenal waktu, dari bangunin orang sahur pakai petasan, sampai sehabis tarawih.
Ada yang mengeluhkan bocil sekarang, ditegur karena main petasan di dekat rumah, bukannya pindah, malah sengaja berulangkali ninggalin petasan disulut terus kabur. Biar kata cuma sejam sekali nyalanya, tetap saja polusi suara dan polusi jantung.
Kalau yang menetap di rumah di pinggir jalan raya, mungkin suara ledakan petasan bisa muncul tiba-tiba, di larut malam sekalipun. Lagi enak-enak tidur, bisa terbangun kaget karena suara petasan. Yang tadinya pingin belajar malam-malam, karena sepi, bisa tiba-tiba nyelonong suara petasan. Yang tadinya hendak tadarusan dan ibadah di malam hari mendadak kekhusukan beribadah "dimeriahkan" oleh ledakan petasan. Luar biasa besar memang "jasa" para penyulut petasan ini dalam melatih kesabaran dan ketabahan.
Mungkin bila disurvei mereka yang rajin ritual ibadah saat malam-malam bulan puasa, apakah itu salat malam, tadarus, berzikir, itikaf, mereka lebih merasa terganggu dengan suara ledakan petasan ketimbang karaokean. Mereka yang karaoke menetap di tempatnya tidak keliling kemana-mana. Sementara para penyulut petasan ini beredar kemana-mana dari sekeliling masjid, jalan-jalan, dan depan rumah orang. Jumlah orang yang terganggu tentunya jauh lebih banyak, termasuk mereka yang perlu istirahat, mereka yang sedang sakit, para lansia, dan bayi-bayi yang masih mudah terganggu dengan kegaduhan.
Bagi yang ingin mengalihkan perhatian dari suara petasan, bisa mencoba memasang earphone atau headphone ke telinga lalu setel musik keras, macam musiknya Queen atau Metallica. We are the champion ... , Bro ... Justice for all. Â Tapi cara ini mungkin kurang efektif kalau sumber petasan cukup dekat atau suara ledakannya terlalu keras.
Bagi yang ingin menyumbat telinga agar tidak terganggu suara ledakan petasan saat tidur atau belajar, mungkin bisa mencoba mengenakan alat peredam suara pelindung telinga (ear protector). Jenis yang cukup efektif adalah yang biasa dipakai untuk menutup telinga saat latihan menembak. Di marketplace harganya mulai dari seratusan ribu rupiah. Cukup efektif meredam kegaduhan karena suara petasan, tetapi kalau dikenakan dalam waktu lama, daun telinga terasa pegel juga, dan keringatan. Tapi yang terpenting efek kejut dari suara ledakan petasan itu tidak terasa lagi.
Bagi yang tidak ingin mengunjungi psikolog, psikiater atau ahli hipnoterapi, bisa mencoba sejumlah teknik self healing yang panduan dan videonya mudah ditemukan di internet, di antaranya:
- TRE (Trauma Release Exercises): semacam teknik  menggetar-getarkan kaki dan tubuh untuk melepaskan ketegangan
- EFT (Emotional Freedom Technique) yang di Indonesia sering diadaptasi menjadi SEFT (Spritual Emotional Freedom Technique): teknik melepaskan trauma dengan melakukan tapping/ketukan di posisi tertentu
Bagaimana kalau sudah mencoba berbagai cara tetapi tetap belum bisa melepaskan diri dari phobia? You are not alone. Ingat kan drakor It's okay not to be okay. Menjadi pengidap phobia juga demikian. Phobia bukan aib. Phobia bukan karena kurang iman. Kalau ada orang yang melecehkan kita karena mengidap phobia, "Orang-orang pada bergembira menyambut bulan puasa. Kamu malah ketakutan mendengar petasan. Kamu ini kurang iman ..." Katakan padanya, "Kurang iman, Ndhasmu ... Dengkulmu mlicet, matamu picek, gundhulmu prengus ... Tak sobek-sobek mulutmu .... " Nah, puas kan .... Tapi sebaiknya dilakukan sehabis buka ....
Di bulan puasa, kata Pak Ustad semua syaitan dibelenggu. Sayangnya kayaknya masih ada satu yang ketinggalan, dalam wujud petasan.
WYATB GBU ASAP.
