Mohon tunggu...
Langit Muda
Langit Muda Mohon Tunggu... Freelancer - Daerah Istimewa Yogyakarta

Terimakasih Kompasiana, memberi kesempatan membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Marhaban Ya Ramadan, Marhaban Ya Petasan

20 April 2021   03:46 Diperbarui: 20 April 2021   03:54 1624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot capture tweet (dokpri)


Banyak yang gembira menyambut bulan puasa dan lebaran karena bermunculannya penganan dan masakan khas yang enak-enak dan manis-manis. Tapi ada yang menjalani hari-hari di bulan puasa dan lebaran dengan perasaan was-was. Was-was karena apa? Karena mengidap phobia terhadap suara ledakan petasan.

Banyak yang mengidap phobia terhadap suara ledakan petasan enggan mengakuinya. Mungkin karena khawatir dianggap aneh. Di tengah-tengah bangsa yang gemar "berpetasan", tapi phobia terhadap suara petasan. Ntar dianggap "nggak Indonesia banget".

Jadilah, tubuh ditenang-tenangkan, wajah dipasang poker face, pokoknya harus terlihat tetap cool, meski jantung terasa hampir copot. Para cowok, biasanya lebih jaim soal ini. Mungkin khawatir phobia petasan akan menurunkan kadar kemachoan dan tingkat kejantanan mereka. Berlagak suara petasan terdengar bagai suara kentut, padahal jantung pingin koprol, serasa hendak ngumpet di bawah meja.  

Tampang sangar, badan segede gaban, bukan jaminan. Begitu dengar suara petasan cabe, langsung guling-guling kayak trenggiling. Body Rambo, hati Rinto.

Mungkin bagi yang phobia petasan, kalau mendengar ceramah Pak Ustad yang kayak begini, bawaannya pingin merespon meski cuma dibatin:

Ustad: "Kita semua merasa sangat bergembira, sebentar lagi akan bertemu dengan bulan Ramadan ..."
X: "Kalau soal kolak pisang, es degan, cendol dawet, Gue juga bahagia Pak Ustad. Tapi ada itu tuh ... yang bikin Gue was-was ... meledaknya nggak kenal waktu .. "
Ustad: "Seandainya saja setiap bulan adalah bulan Ramadan, betapa indahnya hidup kita .."
X: "Pak Ustad sih enak orderan ceramah mengalir setiap hari. Tapi Gue mesti parno dan jantungan setiap hari .... Semoga ada yang mengajak Gue pindah ke Kutub Utara ..."
Ustad: "Marilah kita berdoa semoga pandemi ini segera berlalu ...."
X: "Gue sih nggak keberatan pandemi terus berlanjut, gara-gara pandemi frekuensi suara ledakan petasan makin minim, makin ayem, makin khusyu ..."

Screenshot capture tweet (dokpri)
Screenshot capture tweet (dokpri)


Kayaknya di jaman ini terjadi degradasi perihal etika bocil-bocil dalam berpetasan. Bila dulu orang bermain petasan di ladang, lapangan atau menghindari permukiman, sekarang bocil-bocil tanpa rasa bersalah bermain petasan di depan rumah orang. Mainnya pun bisa tak kenal waktu, dari bangunin orang sahur pakai petasan, sampai sehabis tarawih.

Ada yang mengeluhkan bocil sekarang, ditegur karena main petasan di dekat rumah, bukannya pindah, malah sengaja berulangkali ninggalin petasan disulut terus kabur. Biar kata cuma sejam sekali nyalanya, tetap saja polusi suara dan polusi jantung.

Kalau yang menetap di rumah di pinggir jalan raya, mungkin suara ledakan petasan bisa muncul tiba-tiba, di larut malam sekalipun. Lagi enak-enak tidur, bisa terbangun kaget karena suara petasan. Yang tadinya pingin belajar malam-malam, karena sepi, bisa tiba-tiba nyelonong suara petasan. Yang tadinya hendak tadarusan dan ibadah di malam hari mendadak kekhusukan beribadah "dimeriahkan" oleh ledakan petasan. Luar biasa besar memang "jasa" para penyulut petasan ini dalam melatih kesabaran dan ketabahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun