Tapi saya pernah suatu kali beroleh pengalaman buruk yang membuat saya berprasangka. Sepeda motor kok jadi gampang mogok, ndak ada tenaganya. Untunglah setelah di-service di bengkel bisa pulih kembali. Sejak itu saya sempat berbulan-bulan menghindari bensin eceran.
Satu liter, dua liter, begitulah biasanya jumlah saat kita membeli bensin eceran. Tapi kami pernah membeli bensin eceran 6 liter. Waktu itu saya bersama Ayah, berkendara dengan mobil. Mungkin karena malam hari, Ayah sempat salah memilih jalan, akibatnya kami masuk ke jalan yang makin mblasuk. Setelah berputar-putar cukup lama akhirnya kami tersadar, dan mencari jalan menuju jalan besar. Waktu itu masih tahun 90-an, belum booming SPBU antar kota seperti sekarang yang begitu mudahnya ditemukan dengan jarak yang berdekatan.
Kami melihat indikator bensin sudah mengkhawatirkan sementara SPBU berikutnya sepertinya masih jauh. Kami menyisiri jalan memantau apakah ada yang jual bensin eceran. Terdapat sejumlah plang bensin eceran, tetapi sudah tutup, mungkin karena memang sudah malam, apalagi jalan yang kami lewati tersebut cukup sepi. Sebuah perasaan syukur yang luar biasa, ketika kami melihat barisan botol penuh berisi bensin. Kami segera berhenti, dan memanggil pemilik kios yang nongkrong di teras rumahnya. Yah, 6 liter, jumlah yang cukup aman sampai ke SPBU berikutnya (waktu itu perbandingan konsumsi bensin dari mobil yang digunakan adalah sekitar 1:7). Saya bertanya ke Ayah, bensin dijual dengan harga normal eceran, jadi dia tidak melejitkan harga mentang-mentang satu-satunya yang masih buka di sekitar situ. Terimakasih penjual bensin eceran.
Dan salah satu kisah penjual bensin eceran yang paling saya ingat adalah mengenai (alm) KH AR Fachruddin, Ketua Umum Muhammadiyah 1968-1990. Bayangkan, pimpinan sebuah ormas besar, dengan sekian banyak sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi, dan panti asuhan, bernaung di dalamnya, rela berjualan bensin eceran. Jaman itu belum ada social media yang memblow-up segala hal yang di era milenial ini kita sebut sebagai pencitraan. Apa yang dilakukan  Pak AR Fachruddin adalah sebuah keseharian yang otentik. Teladan agung bukan lewat kata tapi perbuatan. Konon ada dua orang di Jogja yang sangat disegani oleh Pak Harto, yaitu Sri Sultan HB IX dan KH AR Fachruddin.
Berjualan bensin eceran meski terlihat seperti usaha sampingan, sebenarnya adalah pekerjaan yang beresiko. Karena berurusan dengan barang mudah terbakar. Ada kios bensin yang terbakar karena bocah bermain korek api. Ada yang menempatkan kios bensin berdekatan dengan dapur. Yang satu sedang menuang besin, yang satu sedang memasak air. Ketika uap bensin disambar api kompor, habislah sudah. Tapi ada sebuah berita yang membuat saya kasihan sekaligus gemas. Sebuah kios bensin terbakar, gara-gara seorang pria merokok ketika sedang menuang bensin. Astaga, apakah dia tidak sadar sedang berurusan dengan bensin, bukan perkutut yang hendak dijemur. Bagaimana nasib sang perokok dan rokoknya? Ya terbakar lah.
Wajah-wajah para penjual bensin eceran dalam kenangan saya perlahan-perlahan memudar, bagaikan terdampak jentikan Thanos. Jentikan zaman.
WYATB GBU ASAP