Mohon tunggu...
Langit Muda
Langit Muda Mohon Tunggu... Freelancer - Daerah Istimewa Yogyakarta

Terimakasih Kompasiana, memberi kesempatan membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Tempat Makan yang Nasinya Banyak

23 Maret 2021   10:02 Diperbarui: 23 Maret 2021   10:11 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Salah satu "misteri" rumah makan padang yang cukup populer, begini bunyinya: "Kalau makan dibungkus, porsi nasinya jauh lebih banyak ketimbang makan di tempat".

Saya juga mendapati kenyataan demikian. Kalau langsung makan di warung padang, cuma dapat nasi dalam cetakan mangkok kecil, sehingga rasanya di perut masih kurang. Kalau pas makan berdua teman, bisa minta tambah nasi satu porsi terus kita bagi dua. Tetapi, bila kita minta dibungkus, maka saat dibuka di rumah, tampaklah nasi yang berlimpah ruah.

Saya ingat dulu waktu kuliah ada warung makan yang murah-meriah. Murah harganya, meriah nasinya. Kalau makan di sana boleh ambil nasi sepuasnya tetap dihitung sebagai satu porsi. Padahal kalau di kantin yang kerap jadi jujugan mahasiswa di dekat area kampus, yang sistem makannya "pay-first" bukan "pay-later". Artinya setelah mengambil nasi dan uba rampenya mesti menuju kasir untuk dihitung dan membayar sesuai perhitungan tersebut, sebelum duduk makan. Kadang di kantin mahasiswa tersebut pengunjung kerap berdebat dengan kasir apakah porsi nasinya dihitung satu, setengah, atau satu setengah. Maklum mahasiswa, beda setengah porsi saja sangat signifikan bagaikan galat di praktikum.

Sementara di warung "nasi meriah", kalau minta dibungkus, kita akan diberikan nasi dalam jumlah besar. Tapi memang menu makanannya kurang begitu menarik selera. Pernah suatu kali, ketika mengerjakan tugas kelompok bareng, teman saya nitip dibelikan nasi bungkus, saya belikan di warung tersebut. Teman saya begitu terpesona oleh porsi nasinya yang melimpah. "Wah, ini sih porsi kuli", katanya. Sayangnya, rasa lauk dan sayurnya kurang bisa mengimbangi banyaknya nasi, sehingga ujungnya, banyak nasi masih tersisa.

Kalau pada waktu itu sudah ada gawai, mungkin para mahasiswa sudah pada share-loc, "Nih warung yang nasinya porsi kuli". Tentu sambil menyertakan postingan foto nasi yang nampak menggunung di piring.

Sayangnya nasi di warung tersebut kurang awet lama, mungkin juga karena dari jenis beras yang murah. Sehingga kalau kita makan sore, terus sisanya akan dimakan besok pagi, sudah menjadi bau. Yang memungkinkan adalah, membeli nasi bungkus untuk makan siang, terus sisanya dimakan saat malam. Mengenai nanti lauknya pakai apa, itu sudah menjadi "ketrampilan survival" khas anak kost. Ada yang menyimpan abon, ada yang punya krupuk, ada yang dengan kering tempe atau kering kentang pedas, ada yang sekedar saos tomat atau sambal. Pokoknya selama ada nasi, "the show must go on". Trik anak kost, supaya nasi lebih awet, mintalah dibungkus terpisah dengan kuah/sayur-nya. Dan .... last but not least, selalu ada anak kost yang menambahkan nasi sisa tersebut ke mi instan mereka, sebuah tradisi yang patut diduga kurang sehat .... hihihi ...

Jangan dipertanyakan lagi, kemampuan anak kost dalam mengelola nasi sisa. Tentu saja yang dimaksud adalah nasi sisa makannya sendiri. Jadi kalau suatu saat mengikuti seminar (gratisan) di kampus, memperoleh kerdusan konsumsi yang nasinya banyak, artinya episode makan siang dan makan malam sudah terjamin. Menjadi anak kost mesti memiliki visi yang jauh ke depan, "season 1" tidak perlu terlalu kenyang untuk mengakomodasi keberlangsungan "season 2".

Jaman saya dulu belum eranya magic-jar. Kulkas? Buat anak kost dengan kemampuan terbatas, kulkas adalah kemewahan. Ngliwet nasi ya pakai panci "multifungsi" (bisa untuk mi instan, rebus air, dst), yang juga berfungsi sosial, alias dipakai rame-rame satu kost. Termasuk kompor minyak yang minyaknya lebih sering kosong. Tanpa kulkas tanpa magic-jar, para anak kost memiliki "kearifan lokal" dalam mengelola nasi sisa.

Jadi, wahai para penduduk, jika suatu kali hendak mengundang mahluk-mahluk berlabel anak kost di sekitar kampung panjenengan, di acara-acara semacam syukuran, sunatan, akikahan, dst, mengertilah kalau mereka akan sangat berterima kasih bila makanan diberikan dalam bentuk kerdusan atau besekan ketimbang prasmanan. Lebih berterimakasih lagi kalau boleh ndobel ... hihi ... nggragas ...

Salah satu jenis warung makanan yang sering hanya muncul di malam hari adalah warung nasi goreng. Sebagai anak kost, pasti sudah sering menandai, warung mana yang nasi gorengnya dapat porsi nasi yang cukup besar. Cukup untuk mengakomodir makan malam + sarapan pagi. Ngirit kan .... Barang siapa yang belum pernah merasakan sarapan dengan nasi sisa kemarin, diragukan pernah menjadi anak kost. Ternyata nasi goreng "season 2" cukup manjur untuk mengganjal perut. Oya, berdasar pengalaman pribadi, beli nasi goreng di gerobak nasgor keliling biasanya nasinya cuma dapat sedikit ... hiks ...

Para anak kost yang pernah merasakan betapa sayangnya membuang nasi sisa, mungkin akan kaget membaca berita mengenai perilaku gemar membuang-buang makanan dari para penduduk sebuah negeri di seberang gurun yang berlimpah kekayaan hasil jualan minyak. Tak tanggung-tanggung, konon setahun nilai makanan yang dibuang bisa setara dengan 180 triliun rupiah. Membikin kita mengurut perut. Pasti orang-orang tersebut belum pernah merasakan makan nasi sisa kemarin dengan lauk saus tomat, belum pernah merasakan makan mi instan (bukan pop mie) yang disiram air panas dari termos. Tuhan tidak suka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun