Sebenarnya kalau bicara soal koleksi runner up, timnas sepakbola kita adalah jagonya. Sementara Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Singapura, pernah mencicipi gelar juara, Indonesia mesti berpuas diri dengan koleksi lima kali runner up Piala AFF/Piala Tiger. Untunglah wajah timnas, masih bisa "ditolong" oleh prestasi para juniornya, terutama di U16 dan U19. Bila suatu saat Australia memutuskan ikut gelaran Piala AFF, maka peluang timnas senior meraih juara bakal makin menipis.
Mari kita kembali ke lapangan bulutangkis lagi, terutama pada hasil gelaran turnamen BWF sepanjang tahun 2019. Nozomi Okuhara menjadi kolektor runner up terbanyak tanpa sebuah gelar juara. Tunggal putri andalan Jepang ini berhasil masuk final di enam event:
- Singapore Open 2019
- Australian Open 2019
- Japan Open 2019
- Kejuaraan Dunia 2019
- Denmark Open 2019.
- Fuzhou China Open 2019
Sayangnya Nozomi hanya sampai ke final saja, tapi gagal meraih juara. Sebuah pencapaian yang mengenaskan. Padahal Nozomi saat ini bertengger di peringkat 4 BWF. Sementara para pebulutangkis di sekitar peringkat Nozomi, sudah menikmati gelar juara.
Berbeda dengan takdir Pusarla Sindhu. Hanya masuk final di dua event, Kejuaraan Dunia 2019 dan Indonesia Open 2019. Tapi Sindhu berhasil meraih gelar di Kejuaraan Dunia 2019. Siapa kira-kira yang lebih sulit tidur, Sindhu apa Nozomi?
Jika Nozomi bisa disebut sebagai Ratu Runner Up atau Miss Runner Up, lalu siapa gerangan yang layak berpredikat sebagai Mister Runner Up di tahun 2019? Pebulutangkis andalan Indonesia, Anthony Sinisuka Ginting. Ginting, yang kini berperingkat 7 BWF, pada tahun 2019 sukses menembus final di lima event:
- Hongkong Open 2019
- Victor China Open 2019
- Australian Open 2019
- Singapore Open 2019
- World Tour Finals 2019
Dan pada kelima event tersebut, Ginting hanya mampu menjadi runner up. Mungkin kekalahan yang paling menyesakkan di tahun 2019 bagi Ginting, bukanlah ketika melawan Kento Momota, tetapi di final Hongkong Open 2019 melawan Lee Cheuk Yiu, karena keputusan umpire yang penuh kontroversi pada poin yang sangat krusial.
Kekalahan yang dialami pada partai final yang diakhiri dengan deuce pada set ketiga (rubber-set), mungkin terasa lebih menyesakkan. Beda halnya bila pertandingan berlangsung straight set, dengan "skor Afrika", kayaknya bisa lebih pasrah menerima hasilnya, artinya level permainannya (lagi) beda jauh. Â
Nyesek, gundah gulana, kesulitan tidur, mungkin itu yang dirasakan para kolektor runner up. Seolah di kepalanya terngiang bermacam pendapat:
- "Yang diingat orang adalah juaranya, bukan runner up-nya"
- "Mending cuman nyampe semifinal, daripada di final kalah, lebih banyak lagi yang bully"
- "Ndak apa-apa, toh hadiahnya ndak jauh beda ..."
Bila mencuplik tulisan pesan peringatan pemerintah pada kemasan atau iklan rokok, menjadi kolektor runner up dapat menyebabkan:
- Sulit tidur
- Serangan kekecewaan
- Gangguan baper
 Bumi terus berputar, turnamen-turnamen berikutnya bakal menjelang. Bagaimanapun bila menilik usia Ginting (23) dan Nozomi (24), masih banyak gelar yang bisa mereka perjuangkan. Tetap semangat Onik. Tetap semangat Nomnom. Ganbatte.
Salam olahraga
Salam bulutangkis