Beberapa hari sebelum puasa, di awal Mei, Mbok Jum menyempatkan untuk pulang kampung sebentar. Ada dua hajatan utama yang hendak dilakoni oleh Mbok Jum. Pertama, hendak nyewu meninggalnya salah seorang kerabat. Kedua, berkaitan dengan perayaan Waisak. Lho, bukankah tahun ini hari raya Waisak masih tanggal 19? Beginilah ceritanya.
Di desa Mbok Jum, terdapat tiga kelompok warga, umat Nasrani, Muslim, dan Budha. Saat hari raya Idul Fitri, maka umat Nasrani dan umat Budha akan berkeliling mengunjungi warga Muslim.Â
Saat hari raya Natal, maka umat Muslim dan umat Budha akan berkeliling mengunjungi warga Nasrani. Saat hari raya Waisak, maka umat Muslim dan umat Nasrani akan berkeliling mengunjungi warga Budha. Begitulah tradisi yang terjalin selama ini. Semua pihak gembira, dan saling nguwongke uwong dengan menghormati perbedaan masing-masing.
Jadi bisa dibilang Mbok Jum akan "mudik" minimal tiga kali dalam setahun. Saat Idul Fitri, saat Natal, dan saat Waisak. Majikan Mbok Jum, juga para pengusaha tempat anak cucu Mbok Jum bekerja, juga sudah memahami tradisi tersebut.
Kembali ke Mbok Jum, mengapa Mbok Jum pulang pada awal Mei, bukannya mendekati tanggal 19 (saat Waisak)? Penjelasannya begini. Hari raya Waisak tahun ini jatuh pada pertengahan bulan puasa. Maka kesepakatan rembug desa, acara berkunjung dan berkeliling ke rumah-rumah warga yang beragama Budha, dimajukan ke awal Mei. Semua sepakat, semua gembira.
Tentu saja saya tak tahu, berapa banyak warga di desa Mbok Jum yang pernah mengikuti penataran P4. Atau apakah di desa Mbok Jum pernah tertancap plang besar bertuliskan "Desa Pelopor P4". Tetapi saya yakin, warga desa Mbok Jum sudah menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila mungkin jauh lebih baik ketimbang para Manggala BP7.
Begitulah tradisi yang dijalankan turun temurun di desa Mbok Jum. Sebuah desa di Boyolali, daerah dengan warga yang toleran dan bermartabat.