Mohon tunggu...
Mega Nugraha
Mega Nugraha Mohon Tunggu... Lainnya - Jalan-jalan, mikir, senang

Suka jalan-jalan, suka tempat wisata Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Teh Panas Kala Kami Menyapa Kediaman Bosscha

4 Maret 2012   15:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:30 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13308738321439614669

ASAP mengepul saat air teh dituangkan ke dalam cangkir kecil berwarna putih ketika hujan mulai mengguyur Pangalengan. Di balik rindangnya pohon, rumah bergaya Eropa itu menjelaga. Setelah menyeruput teh yang masih panas, saya dan sejumlah teman yang telah menembus hutan Gunung Tilu dari Ciwidey kemudian keluar di Pangalengan memasuki rumah itu. Suasana nyaman, hangat, interior yang berkelas dan sofa empuk memanjakan mata saat di luar hujan cukup deras.

Rumah ini dibangun sekitar tahun 1800-an dan sempat ditempati oleh Karl Bosscha, maha guru arsitek sejumlah bangunan tua di Kota Bandung. Tapi, sepeninggalnya, rumah itu kini sering ditempati oleh direksi PTPN.  Rumah ini juga sudah berulangkali dipugar bahkan pernah sebagian hancur karena di bom. Tapi diperbaiki kembali sesuai bentuk aslinya..

Kami sempat berbincang dengan Maman, seorang penjaga rumah itu. Ia sempat berujar pada kami yang masih takjub ketika memasuki rumah itu bahwa semua peralatan di rumah ini masih asli dan dulu digunakan oleh tuan Bosscha. Namun, ada beberapa juga yang sudah diperbaiki seperti kursi sofa yang diganti kainnya. Di rumah ini sendiri, terdapat 2 kamar, 1 ruang meja makan dengan kain serta busa kursi yang lembut, 1 tungku perapian, WC serta ruang bawah tanah, tempat bermain snooker.

Di sejumlah dinding rumah itu, terpampang sejumlah foto Bosscha, perkebunan teh Pangalengan era 1940 dan lambang negara burung Garuda. Di satu titik, terdapat buku setebal 20 cm berjudul Hendboek Voor Culture En Handels Orgenemingen In Netherlandsche Indisch terbitan 1936. Buku itu diyakini buku yang dipelajari oleh Bosscha saat mengelola perkebunan teh Pangalengan semasa hidupnya.

Semua barang disini barang yang digunakan oleh tuan Bosscha ketika masih hidup. Barang-barang disini juga terbuat dari jati. Selain itu, bagian lantai sudah diganti dengan lantai parkit hingga membuat interior rumah ini begitu menawan.

Rumah yang berdiri di atas lahan seluas 1 hektar ini juga memiliki banyak kaca. Dan di salah satu sudut ruangan, terdapat piano klasik buatan tahun 1837. Kualitas suaranya pun masih cukup bagus. Dan yang menarik dentingan piano klasik ini terdengar berat dan seolah menyatu dengan suasana rumah.

Rumah ini sendiri bertipe artdeco dan bergaya Eropa era kolonial. Di daerah pegunungan, rumah-rumah seperti ini, rata-rata jarak lantai ke atapnya pendek, yakni sekitar 2.5-3 meter. Hal itu supaya isi rumah terasa hangat meski di luar udara cukup dingin. Dan jika rumah tipe seperti ini ada di perkotaan, berlaku hal sebaliknya.

Di lain hal, Pangalengan ini memiliki nilai lebih dari Ciwidey. Jika orang setelah pergi ke Ciwidey, mereka akan bercerita seputar tempat wisata yang dikunjungi. Jika orang pulang dari Pangalengan, maka akan ada cerita sejarah. Termasuk setiap orang yang mengunjungi tempat ini.

John One, turis asal Prancis yang berlibur di Pangalengan serta mengunjungi tempat ini mengaku takjub dengan rumah peninggalan Bosscha. Baginya, Rumah Bosscha ini meggambarkan betapa besarnya karya dan pemikiran Bosscha bagi masyarakat Indonesia khususnya Bandung.

Ia sendiri mengetahui tempat ini dari buku Discover Indonesia dan disana tertulis nama Bosscha dan Pangalengan.  “Makanya saya berkunjung kesini," ujar John yang masih terbata-bata ketika berbicara dalam bahasa Indonesia.

Saat ia melihat isi rumah itu, ia mengaku teringat design rumah neneknya di Bordeaux, Prancis yang kurang lebih sama dengan rumah Bosscha. “Rumah ini bergaya Eropa era kolonial. Saat kecil, saya sering nginap di rumah nenek dan design rumahnya mirip seperti rumah ini. Rumah ini mengingatka saya pada nenek, sungguh menarik," kata John, mengakhiri pembicaraan kami sore itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun