Mohon tunggu...
Mega Nugraha
Mega Nugraha Mohon Tunggu... Lainnya - Jalan-jalan, mikir, senang

Suka jalan-jalan, suka tempat wisata Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Sepakbola Mengubah Wajah Kelam Papua

4 Maret 2014   20:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:15 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13939150251701024580

KEKERASAN politik yang berujung pelanggaran HAM hingga masalah ketimpangan ekonomi, menjadi isu yang kita ketahui tentang Papua. Sejak penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia pada 1949, kemudian sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang menghasilkan 1.024 perwakilan warga Papua memilih bergabung dengan Indonesia hingga saat ini 14 tahun reformasi, kedua bahasan itu membuat kelam nama Papua.

Kisah-kisah penembakkan misterius di Papua di alam reformasi saat ini, sering juga kita dengar. Setidaknya, kisah-kisah dari ribuan kilometer dari tempat saya tinggal ini, sedikit menteror pikiran kita tentang sebegitu tidak kondusifnya tanah Papua. Tahun 2011, saya sempat menengok warga Bandung yang tewas tertembak di Papua saat melakukan pekerjaanya.

Tim peneliti Lipi pada 2008, dalam Papua Road Map, Negotiating The Past, Improving The Present and Securing The Future menyebutkan 4 sumber masalah utama yang dialami dan terjadi di Papua. Pertama mengenah sejarah integrasi, status dan identitas politik yang menyebutkan bahwa orang Papua bukan bagian dari Indonesia karena melanesia. Selain itu, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di tahun 1969 tidak sah karena tidak representasikan aspirasi rakyat Papua serta dengan berintegrasinya Papua dengan Indonesia, itu diartikan sebagai kolonialisasi Indonesia.

Kedua, kekerasan politik dan pelanggaran HAM. Era orde baru menilai apa yang terjadi di Papua dengan menghadirkan militer di Papua. Dan itu berujung dengan kekerasan. Meskipun militer bertindak untuk menjaga keutuhan NKRI, namun toh kekerasan tetap dianggap warga Papua sebagai pelanggaran HAM.

Ketiga, kegagalan pembangunan. Bagi pemerintah, pembangunan di Papua dinilai sebagai modernisasi Papua. Namun justru yang terjadi, pembangunan dinilai orang Papua sebagai migrasi tenaga kerja dari luar dan memarjinalisasi orang Papua. Dan sumber masalah ke empat di Papua menurut catatan dari Lipi ini, inkonsistensi kebijakan otsus dan marjinalisasi orang Papua. Kalangan nasionalis Indonesia menilai bahwa otsus Papua diletakkan dalam integrasi nasional dan pembangunan. Hanya saja, nasionalis di Papua menilai otsus sama dengan pelurusan sejarah Papua, perlindungan hak warga Papua, pembangunan untuk Papua dan repapuanisasi.

Pelanggaran HAM di masa lalu di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Papua, menjadi bahasan yang menarik perhatian saya sejak saya kuliah di fakultas hukum. Tugas akhir S1, tentang bagaimana menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah saya susun sejak semester 5.

Tapi kali ini saya tidak ingin menulis tentang kedua hal itu. Apalagi tentang pelanggaran HAM berat di Papua. Saya lahir dan tinggal di Bandung dan tak pernah menginjakkan kaki di tanah Papua. Saya tahu Papua dari tulisan di internet, makalah, thesis, TV dan media lainnya. Jadi, kalau notes ini sangat minim data atau banyak kekurangan atau menjustifikasi kebenaran, saya mohon maaf. Yang pasti, nama Papua kini menarik perhatian saya karena salah satu klub sepak bola disana, Persipura Jayapura.

Dengan jersey merah hitam serta logo Freeport McMoran, Persipura menjadi salah satu klub sepakbola paling digdaya di republik ini. Hampir setiap musim memainkan 80 persen pemain asli Papua, tidak ayal, Persipura jadi tim yang paling disegani di Indonesia.

Saya pertama kali melihat langsung laga Persipura di Stadion Siliwangi ketika menghadapi Persib Bandung awal tahun 2013 di laga perdana Persib di Liga Super Indonesia. Di hadapan ribuan bobotoh saat itu, Persipura bermain luar biasa dan hampir membuat Persib malu di hadapan ribuan suporternya di laga perdana Persib. Itu karena saat itu, selama 90 menit, Persipura unggul 0-1 atas Persib. Namun, di menit tambahan, Persib bisa menyamakan kedudukan menjadi 1-1 hingga akhir laga melalui gol Mbida Messi. Dan selamatlah Persib dari kekalahannya di laga perdana mereka. Drama Selamat Dari Kekalahan Perdana

Saya duduk di tribun VIP. Saat itu, saya duduk berdekatan dengan sekitar 20-an orang suporter Persipura. Tidak hanya itu, dari para suporter Persipura itulah, saya tahu bahwa laga itu dihadiri oleh Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Port Numbay, George Awi yang duduk berdampingan dengan mantan Sekda Kota Bandung, Edi Siswadi yang kini jadi terdakwa kasus korupsi Bansos Kota Bandung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun