Mohon tunggu...
Mega Nugraha
Mega Nugraha Mohon Tunggu... Lainnya - Jalan-jalan, mikir, senang

Suka jalan-jalan, suka tempat wisata Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Manipulasi Sejarah dan Hegemoni Intelektual Organik

2 Juli 2010   12:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:08 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Disadari atau tidak, tumbangnya Orde lama merupakan sebuah proses pergulatan kapitalisme dalam menciptakan perubahan pada tatanan social, politik, budaya dan ekonomi yang dampaknya akan dirasakan begitu besar bagi sebuh peradaban, khususnya di Indonesia yang sedang merangkak membentuk fondasi masa depannya. Proses pergulatan kapitalisme dilakukannya dengan berjibaku selama ratusan tahun, bahkan, hingga abad ke-19 pun pergulatannya masih belum menunjukkan bentuk rupanya yang sempurna. Momen jatuhnya Uni Sovyet setidaknya menandai kemenangan kapitalisme atas kekuatan komunisme sebagai kultur tandingan. Dengan kemenangannya, konsep hegemoni kapitalisme mulai memerankan peran pentingnya untuk mewujudkan tatanan dunia baru dengan satu kendala mutlak. Saya ambil contoh, hegemoni kolonialisme. Kolonialisme Eropa Barat memulai konsep hegemoni kuasanya di daerah-daerah jajahan, seperti halnya Inggris di India Barat. Salah satu hegemoni Inggris untuk mengamankan kekuasaannya adalah dengan memberlakukan budaya Inggris sebagai standar praktik kolonial dimanapun. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan melembagakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi, tujuannya tentu saja, kendali.

Pergulatan hegemoni kapitalisme di era 60-an, khusus ketika tumbangnya Orde Lama dan bangkitnya Orde Baru melahirkan sub hegemoni parsial pada tatanan tertentu, yakni tatanan kekuasaaan moral bernama negara. Tujuannya tidak lain untuk mengontrol dan meredam kekuatan subordinan terhadap sistem kapitalisme yang begitu memiskinkan. Dalam hal ini, saya ambil contoh, tindakan represif Orde baru terhadap segala hal berbau komunisme yang berkelindan melalui Partai Komunis Indonesia, PKI. Sebagaimana kita ketahui, komunisme merupakan simbol tandingan dari imperium kapitalisme. Di Indonesia, jatuhnya Soekarno, juga menandai jatuhnyakomunisme dengan kondisi yang tragis, manakala ribuan orang diduga PKI, mayatnya ditemukan mengapung di sungai-sungai di beberapa daerah di Indonesia dikarenakan konspirasi tingkat tinggi yang pada akhirnya menyatakan bahwa PKI adalah dalang dari aksi pembunuhan 7 jenderal TNI dan menghakimi PKI sebagai organisasi yang hendak merubah dasar negara, dan itu dilakukan atas nama hegemoni orde baru untuk melanggengkan kekuasaan begitu pula kekuasaan imperium kapitalisme di Indonesia yang ditandai dengan dibukanya keran investasi asing secara besar-besaran serta membentuk mind set massal bahwa PKI adalah duri dalam daging bernama Indonesia.Konspirasi politik menjatuhkan PKI ini terlalu mudah untuk dicerna, coba kita bandingkan, beberapa pemberontakan yang digulirkan kelompok Islam militan yang juga merupakan barisan sakit hati saat sidang BPUPKI,beberapa kali berusaha menjatuhkan kedaulatan pemerintahan yang sah dengan tujuan mengganti dasar Negara Pancasila dengan Islam, tapi usahanya selalu gagal, tapi apakah mereka dihilangkan status hak-hak kewarganegaraannya, apakah ideologi Islam sebagai ruh pemberontakan mereka dijadikan ideologi terlarang layaknya pelarangan komunisme sebagai ideologi oleh pemerintah.

Tidak hanya dengan aksi represif, secara sistemis, hegemoni itu dilakukan dengan memformalkan betapa buruknya komunisme ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan untuk menjadi dasar hukum pelarangan ajaran komunisme, serta, hegemoni anti komunis pada tatanan sosial dan kehidupan beragama di Indonesia. Fenomena itu berdampak lahirnya tiga kondisi yang sistemis, pertama, secara hukum, dilarangnya paham dan ajaran komunisme, kedua, dirampasnya hak sipil dan politik atas mereka yang terlibat dengan PKI serta ketiga, represifitas kelompok beragama, khususnya muslim terhadap mereka yang terlibat dengan PKI, atau dengan kata lain, lahirnya dasar hukum pelarangan ajaran komunisme menggiring pemerintah sebagai satu factor kriminogen, atau factor terciptanya kejahatan. Pada hal-hal terkecil, kita biss lihat, karena satu istilah kata, nyanyian, karya sastra atau sebuah tanda yang pada masanya identik dengan PKI, orang bisa kalap dan menghujamkan belati pada setiap orang yang menggunakan tanda-tanda seperti itu.

Kemampuan seperti itulah yang oleh Antonio Gramsci disebut Intelektual Organik, dalam hal ini, institusi bernama negara yang juga melahirkan sub intelektual organik pada kelas-kelas dalam masyarakat untuk melanjutkan hegemoni sebelumnya; menghancurkan komunisme hingga level terparah sebagaimana dituliskan Gramsci dalam Selections from Prison Notebooks. Sub intelektual organik itulah yang sekarang melanjutkan hegemoni kaum dominan untuk menebar terror kebencian pada komunisme. Kita biss katakan, meski keuasaan orde baru telah tumbang tapi sub-sub intelektual organik seperti salah satunya kelompok masyarakat afiliasi keagamaan dan sosial kultural lainnya, seringkali menebar aksi kekerasan terhadap setiap hal berbau komunis. Ambil contoh, penyerangan terhadap toko buku Ultimus di Bandung dengan alasan tempat tersebut sarang komunis hingga yang sekarang hangat, pengusiran anggota Komisi IX DPR RI di Banyuwangi yang sedang melakukan sosialisasi kesehatan dengan alasan, agenda itu merupakan pertemuan mantan-mantan anggota PKI. Bahkan sangat ironis, manakala dalam agenda tersebut disosialisasikan rumah sakit tanpa kelas dalam hal pelayanan, ada yang menganggap, rumah sakit tanpa kelas adalah rumah sakit ala PKI.

Benturan konflik hegemonial tersebut hari ini telah mengarahkan kita pada realitas palsu dan berpeluang mengakar hingga anak cucu kita pada kebenaran absurd dan berujung pada tidak harmonisnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat. Oleh karena itu, sama sekali tidak ada alasan untuk mempertahankan kondisi itu. Tapi menghapus hegemoni yang mengakar serta telah merasuki sendi-sendi kehidupan pada tingkatan terendah bukanlah pekerjaan yang mudah. Bahkan yang lebih parah, aksi hegemoni ini tidak hanya dilakukan oleh negara sebagai kelompok dominan melainkan dilakukan juga oleh kelompok dalam masyarakat yang diwariskan identitas agresif untuk menekan kelompok subordinan atas dosa yang tidak pernah terjadi oleh oleh penguasa sebelumnnya.

Mengenai hal itu, saya berkeyakinan, dalam tatanan bernegara, kehadiran konstitusi sangat berperan dalam meredam fenomena-fenomena agresifitas hegemonial. Karena dengan konstitusi, mereka yang lahir tidak setara dalam hal kekuatan akan setara dan memilikihak dan kesempatan yang sama dalam memperlakukan dan menjalani kehidupannya. Itu adalah realitas idealnya, masalahanya, apakah pemerintah hari ini berkehendak meredam setiap aksi agresifitas hegemonial tanpa harus terjebak dengan kondisi-kondisi formalistis. Filsuf Inggris, Bertrand Russel mengatakanbahwa kekacauan dan konflik terjadi karena cita-cita politik yang salah dari penguasa, lalu apakah penguasa hari ini akan mengulangi kesalahan yang sama dengan menjadikan kepentingan politik semu sebagai alat hegemoni.

Konstitusi sebagai dasar pengesahan otoritas yang sah antar manusia kata Rosseau, adalah alat hegemoni bagi penguasa untuk menciptakan hegemoni sehatnya demi tercapai ruang-ruang publik dan kondisi yang kondusif bagi proses keharmonisan lintas generasi. Dan yang paling penting, menjadikan konstitusi sebagai alat hegemoni berarti menjauhkan kehidupan berbangsa dan bernegara dari dehumanisasi, dan konstitusi pula yang bisa meredam dampak buruk dari sejarah yang telah dimanipulasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun