Mohon tunggu...
LangitBiru
LangitBiru Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa

POST-STRUCTURISM

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Post Truth: Berita Hoax PEMILU 2019

3 Juli 2020   10:07 Diperbarui: 3 Juli 2020   10:11 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Fenomena post truth tidak lepas dari kondisi masyarakat post modern karena era post truth ini erat kaitannya dengan keadaan yang ada dalam masyarakat postmodern. Definisi postmodern adalah sebagai fase yang memiliki ciri masyarakat, pertama, realitas adalah konstruksi ideologi, semiotik, dan artifisial dari suatu kepentingan tertentu. Kedua, masyarakat yang memiliki sikap skeptis mengenai keyakinan atas segala objek.

Ketiga, pandangan masyarakat yang cenderung oposisi biner tidak lagi dianggap relevan maka perlu adanya keberagaman cara pandang masyarakat dalam memaknai realitas tertentu. Keempat, masyarakat memiliki kemampuan tidak hanya secara holistik namun juga secara spiritualitas dan emosionalitas. Kelima, kondisi yang menerima keberagaman realitas secara lebih luas (Sugianto, 2002).

Pandangan masyarakat postmodern cenderung berdampak pada realitas, realitas merupakan elemen yang bergantung pada pemahaman, pengalaman, dan kepentingan. Dan hal ini mempengaruhi bagaimana masalah kebenaran realitas yakni banalitas kebohongan yang tidak dianggap sebagai masalah besar dan kesulitan masyarakat untuk melihat suatu kebenaran realitas secara jelas.


Post Truth.


Istilah "Post-kebenaran" dipilih 'kata tahun ini' 2016 oleh Kamus Oxford tetapi istilah ini merupakan gejala dari 'era', bukan satu tahun: era komunikasi virtual tanpa batas, di mana politik berkembang pada penolakan fakta dan akal sehat. 'Pascakebenaran' melintasi garis pembagian baru: perpecahan politik tampaknya kurang tentang ideologi dan lebih merupakan pertempuran antara fakta dan kebohongan. Meskipun istilah "pasca-kebenaran" telah ada selama lebih dari dua dekade, 2016 adalah waktu yang tepat untuk memberinya dorongan popularitas.

Kamus Oxford mendefinisikan "pasca-kebenaran" sebagai "berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada menarik emosi dan kepercayaan pribadi". The Economist (2016) telah mencurahkan beberapa bagian untuk politik pasca-kebenaran, yang didefinisikannya sebagai "bergantung pada pernyataan yang" terasa benar "tetapi sebenarnya tidak memiliki dasar". Penegasan semacam itu seringkali tetap belum diverifikasi dan hanya sedikit atau tidak ada dampaknya bagi para pelakunya; bahkan jika klaim tersebut diungkapkan sebagai kebohongan yang nyata, mereka tidak berbuat banyak untuk mendelegitimasi pelaku.

Walaupun pengertian post-truth belum menemukan titik yang jelas, namun bisa dikatakan bahwa post-truth mengarah pada hoax. Menurut Wahyono (2017), post truth merupakan sebuah fase yang mengutamakan berita hoax dan fitnah yang kebenarannya patut dipertanyakan, sampai pada akhirnya masyarakat mengesampingkan etika pendapat. Tujuannya adalah untuk mencampur adukkan emosi masyarakat, sehingga dapat memunculkan sebuah kebenaran dalam menyampaikan informasi dan gagasan.

Penjelasan lain mengenai post-truth pun tidak jauh berbeda, post-truth membuat masyarakat cenderung menelan mentah informasi tanpa mencari kebenerannya dan mencari statement pendukung yang sesuai dengan perasaan dibandingkan logika mereka (Banapon, 2017). Tidak hanya itu, AC Grayling, peraih gelar Master di New College of Humanities mengatakan bahwa post-truth merupakan salah satu tanda siaga akan adanya "korupsi terhadap integritas intelektual" dan juga kerusakan terhadap "seluruh struktur demokrasi". Beliau menyatakan hal tersebut karena menurutnya fenomena ini hanya berbicara tentang narsisme seseorang terhadap opini yang dimilikinya lebih berharga dibanding fakta yang ada (Coughlan, 2017).

Memperkuat penjelasan definisi tersebut, dari situs berita The Economist tahun 2016, post-truth bisa terjadi karena bentuk dari evolusi media. Banyaknya sumber berita memungkinkan terbentuknya sebuah dunia di mana konten informasi bisa memasukkan unsur kebohongan, rumor, dan juga gosip yang nantinya akan disebar cepat secara online kepada penerimanya.

Penerima informasi ini pun nantinya hanya akan mempercayai informasi tersebut melebihi sumber media utama dan memutuskan untuk mengasumsi kebenaran yang ada di informasi tersebut dan mengacuhkan fakta yang ada, karena sudah percaya dengan diberikan bukti yang sebenarnya sangat bertentangan dengan apa yang diyakini (The Economist, 2016). Rose & Barros (2017) menjelaskan, bahwa dalam era post-truth ini penekanan tidak terdapat pada koherensi atau rasionalitas tapi lebih pada sensasionalisme.

Fenomena ini akan mempengaruhi orang pada bagaimana mereka memandang dan menjalankan dunia. Nietzche (Papazoglou, 2016) menilai kebenaran obyektif adalah kemustahilan, tetapi yang ada lebih kepada perspektif. Terutama dalam hal mendasar, berbagi perspektif tentang kebenaran sulit mencapai kesepakatan, misalnya isu - isu seperti moralitas, agama dan politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun