Mohon tunggu...
Egi David Perdana
Egi David Perdana Mohon Tunggu... -

https://www.facebook.com/egibest.egi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Cerpen) Dinding

18 Agustus 2014   03:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:17 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Judul: Dinding
Genre: Narasi tanpa dialog, drama, crime
Tokoh Utama: Johann
Lokasi: Amerika Serikat


Cahaya redup masuk dan mengintip dari balik celah atap yang berlubang, rintik hujan pun menghujam melalui celah tersebut, seorang anak berusia 15 tahun duduk di kursi usang yang berkarat, ia memegang senapan laras panjang dan menatap ke arah celah itu dengan mata ketakutan. Tubuhnya gemetar sedangkan di luar terdengar suara beberapa orang dewasa yang sedang mencari anak tersebut, anak tersebut yang sejak tadi memegang senapan laras panjang pun mengarahkan moncong senjata ke lehernya, ia mengatakan sesuatu dan “Door” suara letusan senjata menggelegar mengagetkan orang-orang dewasa yang sedang mencari anak tersebut.

****

Pagi itu di depan gerbang gedung putih beberapa orang berdiri sambil memegang kertas besar bertuliskan "Apartheid kini telah terlahir kembali di Amerika Serikat” selama berjam-jam mereka berdiri tanpa lelah, beberapa di antara mereka ada yang membawa foto anak yang di awal cerita diceritakan bunuh diri. Orang-orang itu memang tidak mengenal Johann anak yang tewas dengan sangat mengenaskan itu, Johann adalah kulit putih murni orang tuanya pun termasuk sahabat dekat beberapa menteri tetapi karena satu peristiwa seluruh masyarakat kembali mengingat sistem mengerikan Afrika Selatan di masa lalu.

Johann diburu oleh guru-guru di sekolahnya dan beberapa orang polisi karena membunuh beberapa teman sekelasnya sendiri, seorang guru, seorang satpam dan juga kepala sekolah karena kesal dengan tingkah mereka yang selalu memojokkan beberapa murid kulit berwarna di kelasnya, bukan hanya di kelas Johann saja tetapi hampir di seluruh kelas di sekolah tersebut. Beberapa bulan sebelumnya sekolah tersebut memutuskan untuk membuat peraturan bahwa anak dengan kulit berwarna dilarang untuk mengisi posisi-posisi tinggi dalam organisasi sekolah dan dilarang mengikuti berbagai perlombaan, peraturan tersebut dibuat tanpa alasan mendasar yang kuat dan tak masuk akal yaitu hanya karena anak kepala sekolah yang juga bersekolah di sekolah tersebut selama 3 tahun berturut-turut dikalahkan anak kulit hitam dalam kompetisi berbagai bidang baik di sekolah maupun nasional dan internasional.

****

Kita kembali ke 2 minggu sebelum kejadian setelah dua bulan berlalu setelah peraturan itu diberlakukan, Johann duduk di kursinya dan memandang gurunya dengan mata sebal, terlihat sang guru sedang memarahi Austin murid keturunan Amerika dan Kenya padahal Austin hanya berniat mengambil pensilnya yang jatuh ketika sang guru bahasa tersebut sedang menerangkan tentang asal-usul filsafat, minggu sebelumnya pun Abraham murid keturunan Sudan dan Amerika dihukum berdiri sampai sore karena ketahuan muntah di halaman sekolah padahal semuanya tahu bahwa hal itu tidak disengaja dan terjadi tiba-tiba karena Abraham menderita sakit lambung yang akut.

Johann menatap dengan tatapan tajam sang guru yang mulai memarahi Austin dengan gaya sarkasme yang tentu membuat sakit hati Austin, sang guru mengatakan bahwa kulit hitam mempunyai persatuan yang amat kuat sampai-sampai mereka sangat kompak, ada di manapun, di setiap benua dan negara hingga seperti tercerai berai. Beberapa anak lainnya pun menirukan suara monyet dan teriakan menghina pada Austin kecuali anak kulit berwarna lainnya, Austin hanya menunduk ia sama sekali tidak menangis tapi dari sorot matanya yang kosong sambil memandang lantai kelas Johann bisa tahu Austin tidak terima dan sakit hati dengan kelakuan guru dan teman-temannya di sekolah.

Bagi Johann sekolahnya kini telah berubah menjadi neraka, sekolah yang dulunya tentram dan damai kini berubah kelam hanya karena sifat tak legowo kepala sekolahnya, padahal sekolah tersebut adalah sekolah predikat unggulan. Beberapa guru mengundurkan diri dan memilih pindah ke sekolah lain setelah peraturan diterapkan dan akibatnya banyak mantan guru yang menganggur sebab sang kepala sekolah dekat dengan ibu negara Martha McDaniel yang rasis karena hal itulah Johann mulai dendam kepada pemerintah yang sengaja membiarkan peraturan konyol dan tidak adil itu diterapkan di sekolahnya, padahal pada bulan-bulan awal sekolah Johann sempat masuk berbagai media karena mengeluarkan hampir 70 persen siswa kulit berwarna dengan alasan prestasi mereka di bawah rata-rata.

Johann ingin menangis namun sekaligus tertawa, menangis karena iba melihat anak-anak yang tidak bersalah dikeluarkan dengan alasan yang konyol. Hei setiap kemampuan anak berbeda-beda dalam berprestasi lagipula kenapa cuma anak kulit hitam yang dikeluarkan? Pikir Johann waktu itu. Ia juga ingin menertawakan beberapa guru dan staff di sekolahnya yang begitu paranoid melihat anak-anak kulit berwarna tumbuh menjadi anak berprestasi hanya karena sentimen dan begitu takutnya mereka kepada kepala sekolah hanya karena ia dekat dengan ibu negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun