Mohon tunggu...
Lalang PradistiaUtama
Lalang PradistiaUtama Mohon Tunggu... Penulis - Ayah satu anak

Bekerja di Dinas Kominfo dan S2 Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Reformasi dan Upaya Unifikasi Gereja

7 Maret 2021   16:02 Diperbarui: 7 Maret 2021   17:58 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Lalang Pradistia Utama

Gerakan reformasi gereja oleh Luther di abad 16 adalah puncak kritik terhadap gereja (Katolik) yang dianggap telah jauh dari ajaran gereja yang apostolik. Luther hanyalah satu dari banyak orang yang peduli terhadap kemurnian ajaran gereja akan tetapi bedanya Luther menemui banyak dukungan di daratan Eropa terlebih di negara yang sedang dicengkeram oleh hegemoni Roma atau negara mayoritas Katolik dan bahkan mengalamai inkuisisi apabila dianggap telah keluar dari pakem gereja (Husaini: 2013).

Pada masa itu, gereja Katolik yang dimulai dari "kekuasaan" Paus Paulus III mengeluarkan sebuah keputusan bahwa apapun bisa dilakukan untuk mengamankan marwah gereja termasuk dengan cara kekerasan sekalipun. Tak hanya diberlakukan kepada orang yang berbeda agama seperti di Spanyol, inkusisi juga dilakukan kepada interen nasarani sendiri.

Kondisi itu tentu saja makin menguatkan sebuah diksi masa kegelapan bagi eropa. Tak hanya tentang wabah penyakit yang harus terselesaikan namun juga peradaban eropa semakin kelam dengan hal-hal berbau kekerasan termasuk inkuisisi. Hal tersebut membuat negara eropa yang berada di bawah pengaruh takhta Roma Suci bereaksi. Momentum itu datang tatkala biarawan Katolik Jerman Martin Luther menemukan kejanggalan yang bisa diargumentasikan secara masuk akal dan mampu mengubah wajah gereja untuk setidaknya kedua kalinya sejak skisma besar 1054.

95 Kredo yang dikeluarkan Luther adalah pendalaman dari sebuah penilaian akademisi gereja tentang feodalisme yang terjadi di Roma. Titik kulminasi dari sebuah feodalisme itu adalah praktek indulgensia yaitu sebuah praktek jual beli surat penghapusan dosa yang menurut Luther sudah bidah atau keluar dari ajaran gereja yang sesungguhnya.

Gerakan yang kemudian disebut dengan Protestan mendapat banyak dukungan bukan hanya dilandasi semangat mereformasi gereja dari segi teologis semata. Akan tetapi juga dari sisi politik khususnya untuk melepaskan dari jajahan negara Katolik seperti yang dilakukan Spanyol terhadap Belanda. 

Perjanjian Munster sebagai akhir dari penjajahan Spanyol atas Belanda salah satunya adalah akibat dari tekanan pergolakan semangat Protestanisme yang muncul di Belanda dan ingin keluar dari pengaruh gereja Katholik. Semangat agama 'baru' ini bukanlah motivasi tunggal namun yang lebih besar adalah dari sisi politik.

Perang yang maklum disebut perang tiga puluh tahun adalah konflik sejtarian terburuk dan setipe dengan perang antara Spanyol vs Belanda. Namun juga negara-negara lain yang telah mengetahui efektivitas agama sebagai alat perlawanan juga menggunakan protestanisme sebagai jalan perjuangan.

Bagi Roma, apa yang dibawa oleh Luther kemudian Johannes Chalvin adalah sebuah herecy yang hukumannya tidak main-main. Tentang herecy atau penyimpangan itu, gereja Katholik mempunyai perjalanan panjang contohnya adalah eksekusi terhadap para Ordo Bait Allah yang kemudian lebih dikenal sebagai black Friday. Padahal, jika mau diruntut ke atas, tradisi yang ditimpakan kepada para ksatria Ordo Bait Allah adalah sebuah tradisi yang sudah ada bahkan sejak era Sumeria (Hystori: 2020). Berarti, sebetulnya gereja Katholik juga menjalankan yang bukan gereja ajarkan tentang penghukuman atas apa yang disebut dengan herecy.

Kepada Luther juga sama dia juga dijatuhi 'hukuman' setelah debat terbuka yang menentang kesakralan gereja Katholik. Namun tidak se-ekstrem perlakuan terhadap para pelaku bidah di masa sebelumnya. Dia hanya dijatuhi eks-komunikasi atau tidak boleh mengikuti sakramen. Sudah semakin kuatnya pengaruh Protestan membuat gereja Katholik Roma harus berpikir panjang tentang hukuman berat bagi penoda agama.

Keputusan bidaah yang diterima Luther dan Chalvin lebih 'beruntung' dibandikang para pendahulunya yang menemui jalan tragis. Kepiawaian Luther patut diacungi jempol. Sadar dirinya menjadi incaran atas hukuman bidaah, dia senantiasa membaur dalam politik dan menunjukan dukungan terhadap penguasa agar gerejanya tetap mendapat perlindungan. Sebuah simbiosis yang saling menguntungkan. Luther butuh perlindungan hokum negara, negara butuh hegemoni untuk lepas dari politik agama yang mencengkeram.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun