Mohon tunggu...
Lalang PradistiaUtama
Lalang PradistiaUtama Mohon Tunggu... Penulis - Ayah satu anak

Bekerja di Dinas Kominfo dan S2 Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pecah Kongsi Berawal dari Komunikasi yang Buruk

5 Maret 2021   09:41 Diperbarui: 5 Maret 2021   09:45 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Lalang Pradistia Utama

Dilihat dari polanya, membangun komunikasi politik di Indonesia didasarkan atas dasar pragmatisme sempit yang bisa menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Kesamaan visi dan ideologis menjadi hal yang dikesampingkan tatkala membangun komunikasi politik yang bertujuan membentuk koalisi pada hajat politik seperti Pemilu maupun Pilkada (Bhakti: 2010).

Para kandidat dijodohkan oleh Parpol (Partai Politik) bahkan tanpa melalui proses penjajagan komunikasi intens guna menyatukan sebuah tujuan. Lobi-lobi di belakang layar sebetulnya banyak terbaca oleh publik yang salah satunya adalah bagaimana logistik selama proses hajat politik (kampanye) tercukupi. Ini adalah sebuah simbiosis mutualisme di antara calon yang masing-masing memiliki daya tawar. Misalnya saja salah satu memiliki popularitas namun dari segi logistik kurang maka kekurangan tersebut bisa ditutup dari bakal calon lain meskipun dari segi kapabilitas belum teruji.

Praktek-praktek semacam ini menjadi lazim akhir-akhir ini dan masyarakat disodori calon yang mereka mau tidak mau harus mereka pilih. Perjodohan oleh Parpol juga terkadang 'asal jadi' dengan memperhatikan deadline pendaftaran yang ditetapkan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum). Apa tidak ada fit and proper test di dalam Parpol? Jelas ada namun kebutuhan kepemimpinan yang diinginkan masyarakat belum tentu menjadi pertimbangan utama Parpol.

Ada yang langgeng dalam menjalani perjodohan semacam itu dengan akhirnya menemukan chemistry dalam memerintah sebuah organisasi pemerintahan. Namun, tak sedikit ada yang akhirnya pecah kongsi dengan berbagai alas an. Tapi satu hal yang jelas, ada break down dalam membangun komunikasi pada sebuah pemerintahan.

Ada yang merasa orang yang berada dalam pucuk pimpinan sebuah daerah diover lap oleh sang wakil. Over lap ini bisa saja hanya dugaan sang orang nomor satu tapi juga bisa memang karena manuver-manuver yang dilakukan oleh sang wakil terbaca oleh sekitar. Kondisi semacam itu (manuver) sulit terelakan dan dirasakan betul oleh personal yang berada dalam pemerintahan. Tentu saja setiap orang ingin sebuah pencapaian karir (politik) jika tidak ingin dikatakan sebuah syahwat politik.

Ketidakharmonisan antara Kada dan Wakilnya di berbagai daerah bukan suatu yang mengada-ada (Aziz: 2016). Ketidakharmonisan antara kepala daerah dengan wakilnya tak jarang menimbulkan berbagai macam permasalahan dan pecah kongsi pada perhelatan hajat politik berikutnya.

Pecah kongsi yang bermula dari ketidaksepahaman adalah potret buruknya komunikasi yang dibangun oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Berkomunikasi bukanlah yang mudah apalagi menyangkut kepentingan politik yang sulit untuk disatukan demi sebuah mkasud yang tidak terlihat namun terbaca oleh public.

Ada yang menunjukan pecah kongsi dengan cara elegan. Proses lobi-lobi politik guna mempersiapkan kekuatan dilakukan secara terbuka terhadap Parpol maupun basis politik yang dirasa kuat. Tapi juga ada yang main 'kasar' dengan memanfaatkan celah yang ada dan itulah yang menjadi preseden buruk karena public akan disuguhi tontonan yang tidak baik mengenai perseteruan pemimpin mereka.

Jika 'celah' tersebut benar adanya, seperti pelanggaran hokum maka ini bisa menjadi pembelajaran kepada khalayak bahwa siapapun bisa ditindak atas nama hokum tanpa tebang pilih.  Praktek semacam ini pernah menjadi setidaknya di tahun 2018 (CNN Indonesia) dengan banyak orang yang mewanti KPK bisa jadi pihak yang digunakan untuk mengentikan sebuah karir politik. Benar tidaknya memunculkan berbagai anggapan bahwa praktik pelanggaran hokum khususnya korupsi menjadi bukan hal tabu di tengah masyarakat karena suka atau tidak di tengah masyarakat diksi 'apes' dan semoga itu bukan indicator permisidf masyarakat masyarakat pada korupsi. Dalam bertindak hingga terjadi proses penindakan, KPK tentunya tidak sembarangan dan harus ada (setidaknya) dua alat bukti.

Walaupun, tidak dimungkiri KPK sendiri pada beberapa tahun lalu mengakui, proses tangkap tangan juga dilakukan dalam rangka 'menghentikan' hegemoni politik tokoh di sebuah daerah. Aura kejahatan si tokoh tercium anyir namun masyarakat bahkan penegak hokum kesulitan untuk membuktikan dan OTT dirasa menjadi cara ampuh untuk itu. Tapi, jika celah seolah dibuat-buat dan terkesan untuk menjegal satu sama lain maka ini wujud hubungan yang buruk antar elit yang perlu dibenahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun