Mohon tunggu...
Laksmi Kinasih
Laksmi Kinasih Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang ibu yang membaca dan menulis untuk mendidik anaknya.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Janji Bunga Matahari

22 Februari 2012   05:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:20 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musim semi baru mulai. Padang rumput hijau menghampar. Langit biru cemerlang seakan-akan hujan semalam mencuci bersih semua awan. Di tengah gemerisik angin yang lembut, sayup-sayup terdengarlah suara peluit kereta api. "Tuuuttt Tulituut!" Semakin lama semakin keras, hingga akhirnya tampaklah ular besi panjang itu membelah padang rumput hijau tak bertepi. Pak Gustav dan anak-anaknya menoleh sejenak memperhatikannya dengan perasaan kagum. Mereka memandangi ekornya yang semakin menjauh. Pak Gustav membuka topinya dan menikmati semilir angin yang menyejukkan kepala botaknya yang berkeringat. Pak Gustav dan keempat anaknya sedang menggaru lahan mereka. Di dalam gerobak yang tertambat di belakang dua ekor kuda mereka, terdapat berkarung-karung biji bunga matahari. Mereka akan menanami tanah mereka yang beralur-alur dengan biji bunga matahari itu. Setelah bunga matahari menghasilkan biji, biji itu akan diolah menjadi minyak bunga matahari yang mahal harganya. Pak Gustav tersenyum membayangkan ia akan naik kereta api menuju kota dan mendapatkan uang yang banyak sebagai hasil dari penjualan minyak biji bunga matahari.

Biji-biji kecil berwarna kehitaman dibenamkan ke dalam tanah gembur. Akhirnya selesailah kerja keras mereka selama sebulan. "Kini, biarlah alam merawat dan membesarkan bunga matahari kita," kata Pak Gustav lega. Sesekali mereka datang ke lahan untuk membersihkan rumput liar dan mengairi pucuk-pucuk muda yang mulai bermunculan menembus tanah. Betapa indahnya alur-alur hijau muda segar yang menghiasi permukaan tanah. Masinis kereta yang melewati ladang itu, setiap hari bertanya-tanya tanaman apakah gerangan yang berjajar rapi di kejauhan.

Pucuk-pucuk muda bergoyang-goyang ditiup angin padang rumput. Mereka sesungguhnya sedang bercakap-cakap satu sama lain. Manusia takkan bisa mendengarnya karena mereka berbicara bahasa yang sangat lirih dan halus. Mereka membicarakan sejuknya air yang mereka minum melalui akar-akar mereka yang panjang, menembus tanah gembur. Kadang-kadang mereka membicarakan hangatnya matahari dan lembutnya angin padang rumput. Laksana sekumpulan anak-anak yang berkumpul bersama, mereka menari dan menyanyikan lagu musim semi:

Musim semi yang wangi

Dihangatkan matahari

Semua makhluk di bumi

Merasa senang hati

Matahari mendengar lagu yang mereka nyanyikan. Lagu yang menghangatkan hatinya sehingga ia semakin gembira. Disentuhnya pucuk-pucuk daun yang mungil dengan sinarnya sehingga mereka dengan giat membuat makanan untuk dibagikan ke seluruh bagian tanaman. Maka bunga matahari tumbuh cepat. Tinggi, kuat dan hijau. Di suatu pagi di akhir musim panas muncullah kuncup-kuncup bunga kuning cerah. Pak Gustav lah yang pertama kali menyaksikannya. Ia begitu gembira. "Mekar-mekarlah kuncup-kuncup bunga. Bawakan kami biji-biji terbaikmu!" teriaknya sambil melemparkan topinya ke udara. Sore itu Pak Gustav pulang dengan wajah berseri. Istrinya memanggang kue apel untuk merayakan munculnya bunga matahari.

Kuncup kuning merekah. Alur-alur kehijauan berubah menjadi kuning cerah. "Mama, Lihat! Ada permadani kuning raksasa yang dihamparkan di atas padang rumput!" seru seorang gadis kecil yang duduk di dekat jendela kereta. "Itu ladang bunga matahari, Nak," mamanya menjawab dengan lembut Kereta api berjalan pelan-pelan menikmati pemandangan yang menyenangkan. Yang mengherankan masinis kereta adalah di waktu pagi, saat kereta berangkat ke kota,  semua bunga matahari menoleh ke timur. Ketika ia pulang dari kota di saat matahari mulai terbenam, semua bunga matahari menoleh ke barat. "Bunga-bunga itu memandang dan mengikuti Sang Matahari," katanya kepada diri sendiri.

"Ah, kawan-kawan mungilku! Selamat pagi! Kini aku tak kesepian lagi! Kalian akan menemaniku sepanjang hari!" bisik matahari melalui kilau sinarnya yang lembut. Saat matahari terbenam, diucapkannya salam perpisahan kepada kawan-kawan kecilnya itu melalui sinarnya yang jingga temaram. "Selamat beristirahat kawan-kawanku." Persahabatan yang erat terjalin di antara bunga matahari dan matahari.

Dalam satu kuntum bunga matahari yang merekah terdapat ribuan bunga-bunga yang kecil dan halus yang terdapat dalam lingkaran di tengah kepala bunga. Berbagai jenis serangga datang dan pergi. Ada lebah belang, kupu-kupu bersayap biru dan kepik merah hitam. Mereka terbang, hinggap, menyelinap dan berkejar-kejaran di mahkota bunga matahari. Lebah madu sangat menyukai bunga-bunga matahari itu. Tak bosan-bosan, ia menghisap madu dari dasar bunga. Serbuk sari yang lengket, melekat pada kaki lebah dan menempel di kepala putik. Dari utara terlihat kawanan lebah yang tak sengaja melintasi padang rumput dan tertarik dengan warna bunga matahari yang kuning cerah. Oh alangkah sibuk dan bahagianya para serangga!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun