Mohon tunggu...
Laksmi Haryanto
Laksmi Haryanto Mohon Tunggu... Freelancer - A creator of joy, a blissful traveler who stands by the universal love, consciousness, and humanity.

As a former journalist at Harian Kompas, a former banker at Standard Chartered Bank and HSBC, and a seasoned world traveler - I have enjoyed a broad range of interesting experience and magnificent journey. However, I have just realized that the journey within my true SELF is the greatest journey of all. I currently enjoy facilitating Access Bars and Access Energetic Facelift sessions of Access Consciousness - some extraordinary energetic tools of cultivating the power within us as an infinite being.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kacamata, Ponsel Gagap Aksara, dan Cahaya

31 Maret 2020   07:01 Diperbarui: 1 April 2020   18:44 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suku Laut di Sampan. Dokumen pribadi.

Hingga saat ini, setelah beratus-ratus tahun, Orang Suku Laut memang masih mencari ikan dengan cara yang persis sama seperti yang dilakukan nenek moyangnya - yakni menombak ikan dengan tombak yang disebut serampang. Pencarian ikan ini biasanya dilakukan pada malam hari dengan menggunakan cahaya lentera untuk menarik hewan-hewan laut mendekat ke sampannya. Mata tombak serampang sangat beragam tergantung ukuran hewan-hewan laut yang mendekat.

Jenis-jenis Serampang. Sumber: Yayasan Kajang.
Jenis-jenis Serampang. Sumber: Yayasan Kajang.
Menurut Yayasan Kajang, ini pulalah yang menyebabkan terjadinya tiga hal yang memprihatinkan:
  1. Pertama, dengan adanya perubahan iklim dan makin rusaknya habitat laut karena tindakan kapal-kapal besar pencari ikan yang masif, Orang Suku Laut yang hanya menombaki satu per satu buruan lautnya, menjadi makin terdesak. Kini mereka makin sulit mencari ikan, bahkan sering terjadi, setelah berhari-hari melaut mereka hanya mendapatkan hasil tangkapan yang sedikit saja.
  2. Kedua, dengan alasan ikan-ikan tangkapan mereka rusak karena ditombak, Orang Suku Laut sering menjadi korban eksploitasi para tengkulak. Hasil tangkapan ikannya dihargai serendah-rendahnya, sementara kemudian dijual ke pihak ketiga dengan harga setinggi-tingginya. Selain itu, kebanyakan Orang Suku Laut tak bisa membaca timbangan dan terpaksa menurut saja pada apa yang diputuskan oleh tengkulak.
  3. Ketiga, dengan makin sempitnya peluang mereka mencari ikan di lautan, mereka makin terdesak. Ditambah dengan ketiadaan pendidikan dan ketrampilan, kelemahan ini sering dimanfaatkan oleh para pemburu laba untuk mengeksploitasi tenaga mereka. Maka mereka pun menurut saja saat disuruh memangkasi pepohonan di hutan pulau, atau membabati hutan-hutan bakau di tepi pantai, dengan imbalan upah yang sangat rendah. Kayu-kayu itu kemudian dibakar di dapur arang yang dimiliki para tengkulak, dan hasilnya biasanya diekspor ke Singapura. Pekerjaan membakar kayu di dapur arang ini hanya memperkaya tengkulak, dan sering menyebabkan penyakit tuberkulosis atau penyakit pernapasan lainnya pada tubuh mereka.

Arang dari tumbuhan bakau. Dokumen pribadi.
Arang dari tumbuhan bakau. Dokumen pribadi.
Seberkas Cahaya

Sampai di sini, kelihatannya yang ada hanyalah kisah-kisah yang memprihatinkan saja, bukan? Apakah ada sedikit 'cahaya' di ujung lorong gelap yang panjang ini?

Ada. Sejak Yayasan Kajang berdiri di tahun 2018, banyak upaya telah dilakukan untuk mendampingi dan mendukung Orang Suku Laut agar mendapatkan hak-hak mereka sebagai warganegara yang patut dilindungi. Meski dengan sumber dan tenaga terbatas, para anggota Yayasan menyelenggarakan pelajaran baca-tulis, berusaha melestarikan kebudayaan dan kearifan lokal, serta memperjuangkan hak adat Orang Suku Laut agar mendapatkan dukungan resmi dari Pemerintah.

Serampang. Sumber :Yayasan Kajang.
Serampang. Sumber :Yayasan Kajang.
Dan di siang itu, aku pun menyaksikan 'seberkas cahaya' di Pulau Tereh. Setelah berkomunikasi dengan warganya, Camat Safaruddin ternyata menemukan beberapa pekerjaan rumah yang membuatnya berjanji untuk segera menyelesaikannya.

Pekerjaan rumah pertama, anak-anak sekolah Tereh ternyata membutuhkan perahu untuk berlayar ke sekolah. Camat Safaruddin berjanji akan segera menyediakan sebuah perahu bermesin yang memadai untuk anak-anak itu, agar bisa berlayar ke sekolah dengan lebih aman dan lancar.

Kedua, selama ini warga pulau ternyata harus membeli air bersih dari tengkulak sebagai pemilik sumur satu-satunya di pulau Tereh. "Ini masalah mudah," ujar Safaruddin. Untuk ini ia berjanji akan segera membuatkan sumur milik warga sendiri.

Dan ketiga, Camat Safaruddin pun berjanji untuk menyediakan sekadar honorarium pada misionari gereja sebagai penghargaan karena selama bertahun-tahun ini telah membantu Orang Suku Laut di Tereh, tanpa imbalan apa pun.

Bukankah ini pantas disebut 'seberkas cahaya'? Apa pun jalan yang dipilih Orang Suku Laut di kemudian hari, semoga mereka pun mampu menjaga dan memperbesar 'percikan cahaya' ini , di mana pun mereka berada.

***

Sumber dari Yayasan Kajang dan dari berbagai sumber lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun