Diam beberapa detik, hingga seorang perempuan paruh baya yang adalah Ibu mereka memasuki rumah, dan terkaget melihatku.
"Maaf bu, saya hanya mampir karena melihat adek ini sedang menangis tadi."
Kulihat bocah lelaki itu semakin sedih, ia memandang bungkusan di tangan Ibunya, guncangan dibahunya semakin keras. Entah apa yang membuatnya demikian.
Aku semakin prihatin, lalu kucoba bertanya pada beliau.
"Kalau boleh tahu, kenapa. Maaf saya bertanya dari tadi belum dijawabnya."
Ibu itu hanya menghela nafas panjang, dan matanya mengisyaratkan bahagia yang pura-pura ketika memandangku. Aku tahu karena mata itu berkaca-kaca.
Aku merasa kurang sopan jika memaksa untuk mereka bercerita tentang keadaannya. Namun juga tak bisa begitu saja untuk meninggalkan mereka, juga bukankah terlanjur basah. Jadi kutunggu sejenak, apa kiranya yang hendak dikatakan oleh Ibu itu.
Pandangannya yang lembut, membelai wajah anak-anaknya. Namun kurasakan getir sekali.
"Ah, tidak apa-apa anak pulanglah sudah ditunggu Ibu di rumah."
"Baiklah."
Aku menunduk, mencium punggung tangannya dan bersalam pamit keluar.
Kulirik pada sepasang bocah yang duduk bersandar di dinding rumah itu, tangisan tanpa suara bocah lelaki itu belum mereda. Aku bimbang tapi apa yang bisa kubuat.