Mohon tunggu...
Lailatul Q
Lailatul Q Mohon Tunggu... Freelancer - blogger

Guru, Blogger, Traveller

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gus Dur, Pesantren, dan Agama Nusantara

31 Juli 2021   16:25 Diperbarui: 31 Juli 2021   16:57 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

 Agama dan pesantren sedang digadang-gadang untuk berperan memperbaiki peradaban dan masa depan manusia. Ia ibaratkan lilin kecil di sayup-sayup abad ke 21 yang memiliki tanggung jawab sekaligus tuntutan untuk menjanjikan sesuatu sejak sekarang. Kecemasan para pamong sejarah terhadap hampir seluruh lini kehidupan baik di bidang politik, ekonomi, budaya serta semua muatan perilaku manusia, pada akhirnya diacukan kepada kemungkinan peran agama dan pesantren.

Tulisan ini sekadar penuturan sederhana, yang harapan tesisnya amat bersahaja. Kehidupan religius pesantren atas nama barokah, syafaat dan kawan-kawan,  jangan lepas dari genggaman betapapun tantangan kedepan begitu mengancam. Maka bagi setiap generasi diharap berusaha mengenali identitas dan memperkuat benteng pertahanan dalam melawan bahaya yang mengancam.

Dulu sempat ada pandangan “miring” tentang pesantren yang hanya dipandang sebagai sekolah dasar, tempat bocah belajar membaca dan mengumandangkan al-Qur’an, itu masalah tersendiri yang tidak perlu dibahas panjang lebar dalam tulisan ini. Tetapi jelas bahwa hari ini tradisi pesantren yang dianggap “kolot” pada kenyataannya adalah sebuah fondasi yang kuat dalam membangun bangsa yang berkarakter dan bermoral.

Agama-Agama Nusantara

Nusantara sebagai bangsa yang besar dan luas, semenjak berkembangnya kebudayaan Kala Paleolithikum (zaman batu tua sekitar tahun 750.000-15.000 sM), Messolithikum (peralihan zaman batu atau pra sejarah ke sejarah), Neolithikum (zaman batu baru sekitar tahun 5000-2000 sM), Megalithikum (zaman batu besar) yang berlanjut pada Kala Perunggu dan Besi, itu berarti semenjak Ras Proto Melanesia keturunan Homo Erectus menghuni Asia Tenggara dan pulau-pulau Nusantara sampai kedatangan Ras Austronesia keturunan Homo Sapiens di Asia Tenggara, sudah mengenal agama dengan berbagai ritual pemujaan.

Dalam upaya menggambarkan secara umum kepercayaan paling kuno yang telah dianut dan masih sering tampak di daerah tersebut di atas, Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo menggunakan istilah “animisme”. Yang dimaksud pada masa dahulu, adalah percaya kepada roh yang ada pada setiap benda dan tempat, roh yang lepas dari raganya, hantu-hantu penunggu air dan hutan, juga mereka yang percaya pada orang-orang tertentu yang berkedaulatan sakti untuk memanggil roh-roh tersebut atau mengusirnya (Agus Sunyuto, 2014:11). Di pulau jawa, kepercayaan semacam ini dikenal dengan sebutan Kapitayan, yaitu kepercayaan kuno yang tumbuh dan berkembang secara turun temurun jauh sebelum pengaruh kebudayaan Indus dan kebudayaan Cina yang datang pada awal abad masehi.

Sederhananya, Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu keyakinan memuja sesembahan utama yang diyakini mempribadi dalam tempat-tempat atau benda-benda tertentu. Umumnya, para penganut Kapitayan melakukan puja bakti pada sesembahan mereka dengan menyediakan sesaji berupa tumpeng, tumpi (kue dari tepung), tumbu (keranjang persegi dari anyaman bambu untuk tempat bunga), tuak (arak), tukung (sejenis ayam) dan tumbal untuk keperluan-keperluan tertentu. Sesaji ini disembahkan kepada segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan ghaib seperti pohon besar, gua, batu, air terjun dan lainnya. Hal ini merupakan ritual yang dilakukan oleh orang awam penganut Kapitayan. Sementara bagi para rohaniawan Kapitayan, ibadah amaliyah berlangsung di suatu tempat bernama sanggar, yaitu bangunan persegi empat dan beratap.

Kepercayan-kepercayaan seperti ini dianut oleh masyarakat Nusantara setidaknya sampai adanya pengaruh India, Cina, Champa dan Arab pada kisar awal abad Masehi. Kontroversi sejarah bertutur tentang pengaruh-pengaruh agama luar yang masuk baik melalui migrasi penduduk atau perdagangan. Sekalipun tidak menutup kemungkinan tentang pengaruh sebelum masa itu, namun sejauh ini tidak ada bukti sejarah yang relevan dijadikan rujukan. Melalui perdagangan dan migrasi penduduk, beragam agama mulai bersentuhan dengan masyarakat. Hal ini tampak pada kerajaan-kerajaan tua yang menunjukkan indikasi adanya pengaruh Hindu-Buddha sebagai sebuah agama yang memiliki sistem, panduan dan ritual secara terstruktur dan terkonsep. Pengaruh Hindu-Buddha rupanya menguat dari berbagai aspek kehidupan masyaraat Nusantara, tidak dapat dipungkiri dalam hal ini juga sampai pada ajaran agama. Sedikitnya dapat ditandai oleh munculnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang kemudian berasimilasi dengan kebudayaan lokal yang ada sebelumnya.

Agama Hindu-Buddha kemudian menjadi agama yang dianut oleh kerajaan-kerajaan Nusantara. Terlebih, ritual agama Hindu ternyata memiliki persamaan dengan kepercayaan Kapitayan sebelumnya, yang mana kedua kepercayaan yang paling dominan inilah yang pada akhirnya mewarnai agama-agama Nusantara sebelum pada akhirnya Islam datang sebagai agama penutup (terakhir) dan kemudian menjadi agama mayoritas hingga saat ini.

Berdasarkan penuturan sejarah yang sampai saat ini masih kontroversial, baru pada kisar abad ke-7 Masehi mulai ada seruan dan pengenalan Islam. Terlepas dari berbagai kontroversi, sekitar abad 14 Masehi, barulah proses pengislaman secara masif dilakukan oleh para ulama, raja Pandhita Gresik, Sunan Ampel di Surabaya dengan kebijakan dakwahnya melalui jaringan kekeluargaan yang terkoordinir dalam gerakan dakwah Wali Songo. Kiranya telah terjadi proses pengubahan konsep Nawa Dewata yang hinduistik menjadi Wali Songo yang sufistik, sehingga mudah saja bagi mereka untuk melakukan penyebaran. Ricklefs (2013:29) mengatakan bahwa masyarakat Jawa diilhami gagasan-gagasan Hindu-Buddha yang dapat ditelusuri dengan jejak warisan dalam rupa seni, arsitektur, literatur dan pemikiran sampai yang hari ini masih mewarnai wajah Nusantara.

Asimilasi dan Sinkretisasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun