"Ada-ada saja si Amir, jadi kernet aja gayanya begitu. Hahaha..."
"Kalau urusan nyopir, dia pasti mau diajak kemana aja. Asal ada yang ngajak aja."
"Hahaha..."
"Ga usah dikasih uang lah, cukup makan aja sudah senang dia."
Amir selalu menjadi bahan lelucon saat orang-orang Lelah dengan pekerjaannya. Para pekerja pisang itu kelelahan, dan mereka menertawakan Amir untuk mengusir lelahnya. Hanya Amir yang mau memanggul pisang puluhan tandan lalu ikut mengirimkannya ke Surabaya. Orang lain tentu Lelah, ingin segera pulang, karena pengiriman dan pemasaran sudah ada pembagian tugas masing-masing, tapi apa peduli Amir. Ia tetap bahagia dengan pilihannya sendiri.
Dan apa peduli Mar? ia tak bisa marah saat orang-orang menertawakan Amir. Mar tak bisa marah, apalagi ikut menertawakan putranya sendiri. Mar menahan bebannya dalam kantung mata dan kulit legam mengeras, mencoba melupakan luka dengan membakar kulitnya demi uang mingguan yang selalu habis diminta Amir membeli barang yang disukanya.
Seharusnya ayah Amir yang bertanggung jawab untuk uang belanja dan uang mainan Amir, tapi semenjak berpisah puluhan tahun lalu, Mar tidak tahu lagi kabar tentang suaminya. Mereka telah berpisah sejak Amir belum sekolah, tepat di bangku kelas 3 SD Amir akhirnya berhenti. Sejak saat itu Mar menggantungkan harap sebesar-besarnya pada Amir, satu-satunya kebanggaan dan harapan masa depannya.
Mar begitu menyayangi Amir, tak ingin seorang pun menyalahkannya betapapun Amir berbuat salah dan nakal. Mar selalu membelanya karena Amir adalah segalanya.
"Mir, coba hitungkan pisang yang di sana."
"Satu, dua, tiga, tujuh, sebelas, dua belas, dua puluh, empat puluh, ehh.."
"Hahaha..."