Mohon tunggu...
Laila Novitasari
Laila Novitasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Fakultas Hukum

Suka menggabut dan menghalu.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

UU ITE: Sarana Pemberian Keadilan atau Ancaman Kebebasan Berpendapat

9 Agustus 2021   16:40 Diperbarui: 10 Agustus 2021   11:11 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Selanjutnya disebut UU ITE) dijadikan sebagai alat pendisiplinan dalam ranah maya. Dibentuknya UU ITE berlandaskan kepada kepastian hukum untuk mencegah konfilk dalam ranah maya. Melalui survey yang telah dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), hingga kuartal 3 pada tahun 2020, pengguna internet di Indonesia mencapai 73,3% dari total populasi masyarakat Indonesia atau 196,7 Juta orang. Adanya peningkatan pengguna internet sebagai akibat dari perkembangan zaman. Banyaknya pengguna internet di Indonesia menyebabkan munculnya penyimpangan dalam ranah maya. Demi mewujudkan kedispilinan, Pemerintah membentuk UU ITE dijadikan sebagai katalis dari penyimpangan dalam menggunakan internet. 

Dalam upaya kepastian hukum, UU ITE berperan sebagai sarana pemberian keadilan. Namun, atas beberapa kasus penangkapan dengan dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi membuat persepsi masyarakat beranggapan UU ITE mengancam kebebasan berpendapat di tengah negara demokrasi.

UU ITE sebagai Sarana Pemberian Keadilan

Di zaman yang seba digital penyebaran informasi menjadi tidak terkendali. Kurangnya kesadaran masyarakat dengan menelan mentah-mentah informasi yang beredar menyebabkan masyarakat mudah terkurung dalam berita hoax. Perkembangan zaman berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka segala sesuatnya harus diataur menurut hukum, sebagaimana menurut Pasal 1 ayat (3) "Negara Indonesia adalah negara hukum." UU ITE hadir sebagai produk hukum untuk mengatur adanya perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang semakin pesat. Demi kepastian hukum sebagai sarana pemberi keadilah UU ITE meregulasi tiga aspek :

  • UU ITE mengatur perkara e- commerce dan marketplace.
  • UU ITE mengatur perkara akses ilegal seperti hacking, penyadapan, dan perusakan sistem.
  • UU ITE yang mengatur tentang tindak pidana teknologi informasi, mencakup konten-konten yang bersifat ilegal, ucapan berbasis SARA, kebencian, penipuan, hingga pencemaran nama baik.

Ancaman Kebebasan Berpendapat dalam UU ITE

Kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan bagian dari proses demokrasi di Indonesia. Diterangkan dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Dalam penerapannya, UU ITE memiliki pasal-pasal yang bermasalah menyebabkan masyarakat tidak leluasa dalam berpendapat di dunia maya. 

Pasal yang sering digunakan untuk menjerat komentar dan unggahan netizen di media sosial yaitu pasal Pasal 27 ayat 1 dan ayat 3 UU ITE, Pasal 28 ayat 2 UU ITE, dan Pasal 29 UU ITE. Berdasarkan catatan Amnesty International Indonesia (AII), sepanjang tahun 2020 terdapat 119 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE, dengan total 141 tersangka termasuk di antaranya 18 aktivis dan jurnalis. Tujuan UU ITE untuk memberikan rasa keadilan dirasa belum terlaksana secara baik. Sebagai contoh, salah kasus dari sekian banyak kasus adalah kasus Sri Rahayu, seorang ibu rumah tangga. Dia divonis penjara selama 1 tahun dan denda 20 juta pada Agustus 2017 karena dianggap telah menyebarkan berita bohong, menyesatkan, dan "menghina" Jokowi lewat unggahan di Facebook. 

Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpendapat bahwa UU ITE dalam praktiknya digunakan untuk membungkam suara-suara yang tidak sejalan dan mengkritik pemerintah. Beliau menyarankan pencabutan Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) agar masyarakat tidak saling melapor karena definisi tindak pidana dari kedua pasal tersebut sangat longgar.

Kebebasan berpendapat merupakan hak setiap manusia terlebih di negara demokrasi yang kedaulatannya berada di tangan rakyat. Namun, dalam berpendapat perlu melihat rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh negara demokrasi yang harus sejajar dengan nomokrasi. UU ITE dijadikan alat untuk mengontrol masyarakat dalam ranah maya sebagai sarana pemberi keadilan di tengah pesatnya perkembangan informasi. 

Di sisi lain, UU ITE dianggap mengancam kebebasan berpendapat. Rakyat merasa takut untuk menyampaikan opini dan masukan secara daring karena ancaman pasal-pasal karetnya, terutama Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2). Sehingga untuk menjamin agar tidak adanya multitafsir dan penyalahgunaan pasal perlu diadakannya revisi UU ITE. Walaupun telah direvisi, UU ITE masih saja menjadi senjata jitu untuk membungkam masyarakat. Menurut Airlangga Herlambang, Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, UU ITE harus dilakukan pembaharuan. Jangan sampai ada intepretasi terhadap pasal-pasal yang justru menjadi penghambat demokrasi di Indonesia.

Referensi :
Arif Furqon Nugraha. (2021). UU ITE : Kelabilan dan Ambiguitas Dalam Kebebasan Berekspresi. Diakses dari: https://kema.unpad.ac.id/uu-ite-kelabilan-dan-ambiguitas-dalam-kebebasan-berekspresi/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun