Mohon tunggu...
Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Isu

Warga biasa, tinggal di Jakarta. E-mail: lahagu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik featured

Ahok "Fights" BPK Habis-habisan di Sumber Waras demi Hidup dan Reputasinya

4 November 2015   10:00 Diperbarui: 16 April 2016   00:05 27623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhir reputasi Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta terletak pada penyelesaian kasus pembelian lahan RS Sumber Waras. Jika Ahok menang melawan BPK, maka Ahok tak terhentikan menjadi Gubernur DKI Jakarta untuk periode kedua. Namun jika Ahok kalah, maka reputasi, kehebatannya dan kegemilangannya selama ini, akan tamat dan tinggal kenangan. Sumber Waras adalah pertaruhan amat strategis bagi Ahok.

Tak heran jika Ahok bertarung habis-habisan melawan BPK, sebuah lembaga tinggi negara di Republik ini, demi kelanjutan reputasinya ke depan. Bagi BPK sendiri, pertarungan dengan Ahok adalah sebuah pertarungan amat strategis bagi lembaga bak malaikat. Jika BPK kalah melawan Ahok, maka hal itu merupakan kiamat di lembaga sekaliber BPK. Oleh karena itu BPK hendak membuktikan tudingan dan kesalahan Ahok sebagaimana yang telah mereka umumkan. Nama, wibawa dan reputasi BPK akan dipertaruhkan habis-habisan dalam membuktikan hasil investigasi mereka atas kerugian negara 191 miliar terkait pembelian lahan Sumber Waras itu. Bagi BPK, Ahok adalah sasaran empuk untuk mendobrak reputasi mereka sekaligus pihak yang bisa membunuh institusi mereka.

Sepanjang sejarah BPK, tak ada satu pun Gubernur, Bupati, Wali kota yang berani melawan apalagi melecehkan lembaga BPK. Senjata BPK berupa penilaian laporan keuangan pemerintah di setiap daerah, merupakan senjata mematikan bagai senjata nuklir bagi setiap kepala daerah. Setiap kepala daerah sudah paham betul bahwa melawan lembaga sekaliber BPK adalah sama dengan bunuh diri.

Setiap kepala daerah baik itu Gubernur, Bupati, Wali kota berlomba-lomba meraih opini penilaian terbaik dari  BPK dan menghindari penilaian paling buruk. BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengeculaian (WTP) sebagai peringkat pertama. Kemudian opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) di urutan kedua. Pada peringkat ketiga adalah Tidak Beropini (disclaimer). Lalu yang keempat adalah Tidak Wajar (adversed).

BPK selama ini sudah terlalu percaya diri, over confidence,  merasa diri sangat hebat, menganggap diri lembaga yang punya kekuatan sekaliber KPK dalam berhadapan dengan siapa saja di republik ini. Justru keyakinan diri yang berlebihan ditambah senjata mematikan yang mereka punyai membuat para petinggi BPK terlena dan daya kritisnya serta keakuratan, valid, reliable auditnya tak sehebat namanya.

Ketika BPK mengeluarkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) terhadap  keuangan Pemprov DKI, mereka mendapat perlawanan sengit dari Ahok. Sebuah perlawanan yang membahana dan menyengat yang mungkin di luar prediksi mereka sebelumnya. Terkait WDP itu, Ahok sangat marah dan mulai menyatakan perang kepada BPK. BPK terkejut dan buru-buru menyusun kekuatan untuk bertahan dari serangan Ahok dan selanjutnya mulai melancarkan serangan mematikan kepada Ahok. Sengitnya pertarungan Ahok vs BPK itu terjadi di medan pertempuran pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta. Salah satu penyebab opini WDP DKI Jakarta adalah kerugian negara yang ditemukan BPK dalam pembelian lahan Sumber Waras.

Supaya lebih obyektif, mari kita lihat kesalahan Ahok menurut versi BPK dan pembelaan diri sekaligus serangan Ahok kepada BPK.

Kesalahan Ahok dalam Pembelian Lahan Sumber Waras Menurut Versi BPK

Dalam transaksi pembelian lahan Sumber Waras, BPK menemukan kerugian negara sebesar Rp. 191 miliar. Di samping itu ada beberapa kesalahan dalam proses pembelian lahan Sumber Waras itu. Menurut Yudi Ramdan, Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Internasional BPK seperti dikutip oleh Tempo.co, Rabu 8 Juli 2015, ada banyak faktor yang menyebabkan pembelian lahan Sumber Waras dinilai bermasalah oleh BPK, yakni:

Pertama, adanya kerugian keuangan daerah sebesar Rp. 191.334.550.000 (dari selisih harga beli antara Pemprov DKI dengan PT CKU) atau Rp. 484.617.100.000 (dari selisih harga beli dengan nilai aset setelah dibeli karena perbedaan NJOP). Saat beli dari pihak Sumber Waras, Pemprov DKI menggunakan NJOP di Jl. Kiai Tapa dengan harga Rp. 20.755.000 per meter, tetapi faktanya lokasi tanah berada di Jl Tomang Utara yang harga NJOP-nya Rp Rp 7,44 juta per meter.

Kedua, disposisi Ahok yang memerintahkan Kepala Bappeda untuk menganggarkan pembelian tanah Sumber Waras menggunakan APBD-P 2014, diduga telah melanggar UU Nomor 19/2012, Perpres Nomor 71/2012 dan Peraturan Mendagri Nomor 13/2006.

Ketiga,proses pengadaan tanah Sumber Waras cacat prosedural karena bukan diusulkan oleh SKPD melainkan atas inisiatif dan negosiasi langsung antara pemilik tanah dengan Plt Gubernur, Ahok.

Keempat, pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai tidak melakukan studi kelayakan dan kajian teknis dalam penentuan lokasi. Terbukti tanah yang dibeli tidak memiliki akses untuk masuk, tidak siap bangun, langganan banjir dan bukan berada di Jl. Kiai Tapa melainkan di Jl. Tomang.

Kelima, pembelian tanah masih terikat perjanjian jual-beli antara PT Ciputra Karya Unggul (CKU) dengan Sumber Waras dimana PT CKU telah menyerahkan uang muka senilai Rp 50 milyar kepada Sumber Waras. BPK juga menemukan fakta bahwa harga yang dibeli oleh PT CKU jauh lebih murah yaitu Rp 15,5 juta per meter. Sedangkan Pemprov DKI Jakarta membeli dengan harga Rp. 20.755.000 per meter.

Keenam, pihak Sumber Waras menyerahkan akta pelepasan hak pembayaran sebelum melunasi tunggakan pajak bumi dan bangunan (PBB).

Saat ini, KPK telah memerintahkan  BPK untuk melakukan audit investigasi. Tujuannya adalah mencari bukti-bukti yang valid tentang ada-tidaknya kerugian keuangan daerah dalam pembelian lahan Sumber Waras itu. Dan jika ada kerugian, BPK diminta untuk menemukan inisiator sekaligus pihak-pihak yang harus bertanggungjawab terkait timbulnya kerugian keuangan daerah dan menemukan ada tidaknya tindak pidana korupsi. Namun target waktu yang diberikan kepada BPK selama 60 hari tidak cukup dan diperpanjang 20 hari lagi.

Sepintas lalu, enam kesalahan seperti yang dituduhkan BPK itu kelihatan logis. Bila membaca argumen BPK maka publik akan langsung menyalahkan Ahok. Namun sebelum menghakimi Ahok, terlebih dahulu mari kita lihat proses transaksi pembelian lahan itu menurut  versi Ahok dan pembelaannya.

Pertama, dari bukti sertifikat dan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang dikantongi oleh Pemrov DKI Jakarta, lahan yang dibeli bukanlah lahan yang berada di Jl. Tomang tetapi lahan yang beralamat di Jl. Kyai Tapa (baca di sini). Dengan demikian data dan fakta yang ada di LHP BPK (Laporan Hasil Pemeriksaan) BPK dan juga hasil audit Garuda institute, tidak valid alias salah. Jadi tuduhan bahwa lahan yang dibeli berada di Jl. Tomang dan lebih murah sekaligus tidak ada akses jalan masuk terbantahkan dengan bukti sertifikat dan PBB yang dikantongi Pemrov DKI Jakarta.

Kedua, lahan yang semula dibeli oleh PT Ciputra Karya (sudah menyetorkan uang muka Rp. 50 miliar) hendak diubah peruntukannya menjadi tempat komersial seperti mall. Hal itu tidak mendapat ijin dari Pemrov DKI Jakarta. Oleh karena itu Pemrov DKI Jakarta mau membeli lahan itu seluas 3,6 hektar untuk membangun Rumah Sakit Jantung dan Kanker. Otomatis sengketa pembelian lahan itu dengan PT Ciputra Karya diselesaikan sendiri oleh pihak RS Sumber Waras. Lalu harga kesepakatan dengan PT Ciputra Karya, sebesar Rp. 15,5 juta per meter,  itu dibuat pada tahun sebelumnya. Harga pasar pada saat ditawarkan kepada Pemrov DKI Jakarta (appraisal) sebesar Rp. 20.755.000,- Sehingga harga pembelian lahan Sumber Waras  seluas 3,6 hektar itu sebesar Rp. 755 miliar jauh lebih murah dari nilai harga pasar sebenarnya  Rp. 904 miliar per 15 November 2015.  Harga tersebut masih wajar karena lahan Sumber Waras sangat strategis. Bandingkan harga lahan di tempat lain di tempat strategis yang luasnya di atas 2,5 hektar, harganya  di atas Rp. 20 jutaan per meter.

Ketiga, pembelian lahan Sumber Waras termasuk dalam rencana pembangunan jangka panjang menengah daerah (RPJMD). Pembelian itu merupakan kesepakatan eksekutif dan legislatif pada KUAPPAS tahun anggaran 2014, dan bukan inisiatif dari Ahok yang saat itu Plt Gubernur. Dalam pelaksanaannya, Pemrov DKI melakukan pengadaan asset lahan sesuai dengan UU Nomor 2/2012 beserta turunannya dengan nilai harga tanah sesuai dengan NJOP tahun 2014. Usul dan perjanjian dengan pihak ketiga terkait pembelian lahan Sumber Waras juga sudah ada pada masa Gubernur Fauzi Bowo. Lalu ada nota kesepahaman bersama ketua DPRD DKI periode sebelumnya Ferrial Sofyan.

Keempat, penetapan NJOP bukan ditetapkan oleh Pemrov DKI tetapi ditetapkan berdasarkan zonasi sebagai satu hamparan tanah yang ditetapkan sejak tahun 1994 sesuai dengan database yang diserahkan oleh Kementerian Keuangan c.q Dirjen Pajak. Harga NJOP lahan 3.6 hektar Sumber Waras per 15 November 2014 itu bernilai Rp. 904 miliar, lalu di beli dengan harga Rp.755 miliar, artinya di bawah harga pasar. Pembayaran tgl 31 Desember 2014 sesuai dengan anggaran 2014. Dalam pembelian itu sudah termasuk biaya-biaya dan dipotong dengan tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan.

Kelima,  disposisi Ahok (8/7/2014) yang memerintahkan Kepala Bappeda untuk menganggarkan pembelian tanah Sumber Waras menggunakan APBD-P 2014, adalah untuk memastikan bahwa pembelian lahan itu cepat terlaksana.  Karena sudah ada kesepakatan dengan eksekutif sebelumnya, maka disposisi Ahok itu tidak melanggar UU Nomor 19/2012, Perpres Nomor 71/2012 dan Peraturan Mendagri Nomor 13/2006. Sebagai lanjutannya sebelum pembelian dimaksud dieksekusi atau dilakukan transaksi pada tanggal 31/12/2014,  Bappeda meminta Dinas Kesehatan (Dinkes) pada tanggal 8/8/2014 untuk melakukan kajian terhadap lahan Sumber Waras itu. Jika tidak layak, maka pembeliannya bisa dibatalkan. Pada tanggal 14 November 2014, Dinas Kesehatan DKI mengeluarkan hasil kajian terhadap lahan Sumber Waras yang menyebutkan bahwa lahan itu layak dibeli karena memenuhi beberapa syarat, yaitu tanahnya siap pakai, bebas banjir, akses jalan besar, jangkauan luas, dan tanahnya lebih dari 2.500 meter persegi. Setelah mendapat hasil kajian dari Dinkes, akhirinya Pemrov mengesekusi pembelian lahan Sumber Waras itu.

Keenam, Pemrov DKI ingin membeli sebanyak mungkin lahan untuk membangun rumah susun, ruang terbuka hijau, rumah sakit, sekolah, puskesmas dan sebagainya. Tanah-tanah yang sudah dimiliki oleh Pemrov DKI belumlah cukup ideal untuk membangun Jakarta. Maka ketika pihak Sumber Waras ingin menjual lahannya, Pemrov DKI berinisiatif membelinya.

 

***

Ahok sendiri sudah berkali-kali memberi pernyataan bahwa pembelian lahan Sumber Waras itu sudah sesuai dengan NJOP dan sama sekali tidak ada kerugian negara. Pun prosedur dalam proses pembeliannya sama sekali tidak menyalahi undang-undang. Namun BPK berkesimpulan sebaliknya bahwa pembelian lahan Sumber Waras itu dalam LHPnya mengatakan ada indikasi kerugian keuangan daerah sebesar 191 miliar dan beberapa kesalahan prosedur pembelian. Atas hasil LHP BPK ini juga DPRD DKI Jakarta telah membentuk Pansus. Hasilnya sama seperti LHP BPK. DPRD pun kemudian melaporkan Ahok kepada KPK.

Temuan BPK itu menjadi acuan para anggota DPRD dalam membentuk pansus. Beberapa LSM anti Ahok mendesak kepolisian untuk mengusut kasus Sumber Waras itu. Bahkan pengacara Egy Sudjana dengan sesumbar mengatakan bahwa dia akan menangkap Ahok terkait kasus Sumber Waras itu. Namun beberapa pihak juga berpendapat bahwa belum cukup bukti Ahok korupsi terkait lahan Sumber Waras itu. ICW sendiri mengecam gaya-gayaan DPRD DKI yang telah melaporkan Ahok kepada KPK tanpa cukup bukti dan hanya mengandalkan LHP BPK itu. Pasalnya BPK belum merampungkan audit investigasi, namun DPRD telah mendahuli melaporkan Ahok kepada KPK.

Lalu siapa yang benar? Apakah BPK yang menurut Ahok tendensius? Atau Ahok yang berani mati membela ABPD? Jawabannya adalah pengadilan. Ahok sendiri sangat setuju membawa kasus Sumber Waras itu ke pengadilan agar permasalahannya terang benderang. Yang jelas, Ahok tidak akan mundur dalam melawan BPK. Ahok terus fight BPK demi hidup dan reputasinya. Ahok sudah mengumpulkan bukti-bukti kebobrokan BPK selama ini dan akan dia bongkar di pengadilan. Sebaliknya juga BPK tidak akan mundur untuk membuktikan bahwa Ahok salah dalam membeli lahan Sumber Waras itu. Tentu saja pihak yang kalah, maka reputasinya akan tamat. Jika Ahok kalah, maka reputasinya akan tamat. Demikian juga jika BPK kalah, reputasi mereka semakin melorot dan semakin tidak dipercaya publik. Apalagi sebelumnya mantan ketua BPK Hadi Purnomo sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK.

 

Salam Kompasiana,

Asaaro Lahagu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun