Mohon tunggu...
Komunitas Lagi Nulis
Komunitas Lagi Nulis Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas menulis

Komunitas Penulis Muda Tanah Air dari Seluruh Dunia. Memiliki Visi Untuk Menyebarkan Virus Semangat Menulis Kepada Seluruh Pemuda Indonesia. Semua Tulisan Ini Ditulis Oleh Anggota Komunitas LagiNulis.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sejiwa

9 April 2020   09:38 Diperbarui: 9 April 2020   09:45 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Oleh: Risnawati

Tepat pukul 03:00 pagi, harusnya menjadi waktu bagi manusia di alam semesta ini merasa damai, menikmati eurofia keheningan, harusnya memang waktu untuk terlelap senyap, bukan malah berkalut dalam asap tanpa ucap sepertinya. Matanya tetap terjaga, dalam diam. Sebenarnya iya, mungkin saja dia merasa dihantui. Seperti ada luka yang tertawa riang, meresapi setiap dahaga setiap jam pukul 03:00. Tak terlihat memang tapi dia merasa kurang, merasa kehilangan, merasa membutuhkan sesuatu.
Di bangku kantin kampus paling sudut, Bara duduk mengenakan headset mendengarkan alunan suara hujan, lalu membuka kotak bekal berwarna biru redup berisi tumpukan banbread buatannya, dia memang lelaki mandiri. Seperti biasanya Bara selalu tenang. Sampai ia merasakan ada seseorang menarik kursi disebelahnya sambil mengomel dan mengambil alih ketenangannya 'lagi' katanya dalam hati.
"Gue cariin lu kemana-mana bro! Ternyata disini, tau gak sih?  Si Salsa tuh dari kemaren nyariin lu bangke, sebel gue ditanyain mulu" lalu melahap potongan terakhir banbread buatan bara. Di bagian ini dia hanya mendengarnya sambil meminum air yang memang dia bawa sendiri, sambil sesekali memperhatikan seseorang disebelahnya. Instingnya bergerak waspada kalau-kalau si kampret ini mencoba merampasnya lagi dariku.
Merasa di abaikan Debri beniat mengambil tumblr air minum yang tengah diteguk oleh sahabatnya ini, sedetik lagi sebelum kemudian "Apaan sih lo Deb!". Selalu begitu, tidak ada kata lain lagi, fase nya selalu sama, debri yang datang lalu merusak ketenangan, Bara yang kesal dan tetap berusaha abai.
Setelah aksi dikantin tadi pagi, mereka memutuskan pergi ke perpus. Padahal harusnya mereka ke kelas, jika kalian berfikir Debri yang mengajak Bara membolos, itu salah besar pada kenyataanya, Bara selalu menghindari perkuliahan di pagi hari dengan pergi ke perpus, mengarapkan sesuatu untuk dia lihat. Setidaknya sekali lagi dalam hidupnya, seperti sebuah kesempatan.
"Deb lu kalo mau masuk kelas nya bu maya, masuk aja" Ucapnya sambil tetap memperhatikan kesegala arah tanpa menatap lawan yang dia ajak bicara. Mendengar itu Debri hanya memutuskan untuk berada duduk di bawah di karpet bludru fasilitas perpus, lalu mengambil posisi tengkurap sambil membaca buku berjudul Theory of Human Communication, salah satu buku bacaan yang memang bahan pembelajaran kelas pagi ini. "Lu tau gak Deb, gue gak bakal jadi nerd hanya karna...."
"Hanya karna lu sendirian setiap pagi, dari pukul 07.00 sampe 10.35 untuk masuk pertama kali ke perpus, dan cuman duduk di satu tempat paling sudut cuman buat Second chance lu itu?" Bara yang mendegarnya untuk sekilas menatap sahabatnya itu, benarkah? Apakah dia sebenarnya memang aneh? Kenapa sahabatnya bisa lebih dahulu sadar apa yang dia lakukan, bukankah hanya bara saja yang berhak tau itu.
"Udahlah Deb, lu gak usah sotoy. Mending,,," Belum sempat Bara menuntaskan perkataannya lagi- lagi Debri memotongnya kembali "Gue gak akan bego hanya karna gak masuk mata kuliahnya Ibu Maya, lu tenang aja. Bahkan nilai gue terakhir lebih bagus daripada lu kan" kemudian merubah posisinya dari tengkurap menjadi terlentang. Lalu mereka terlarut dalam kegiatan dan fikiran masing-masing.
Waktu menunjuk pukul 15.48 WITA. Debri memutuskan untuk pergi ke ruang jurusan untuk mengembalikan beberapa file dokumen miliknya juga Bara yang menjadi tugas akhir dalam mata kuliah tambahan yang mereka ambil di semester ini, yah mereka berdua memutuskan untuk menyelesaikan perkuliahan dengan cepat, terlihat seperti lelaki idaman hanya saja sedikit absurd.
"Harusnya gue nemenin dia, tapi mau gimana lagi kuliah kita berdua bisa kandas keq lagunya syahrini saayyy wkwk apaan sih gue" sambil menepak jidatnya, mendengar ocehan konyol yang dia lontarkan untuk dirinya sendiri. Lalu dengan cepat bergegas menuju ruangan tempat tujuannya
Ditempat lain, dari kejauhan di sebuah taman kota, bara terus berjalan dan menatap, kosong. Sudah berapa lama dia seperti ini, sudah berapa jauh dia berlari, sudah berapa banyak dia melangkah, sudah berapa kali dia mencoba, dia teta merasa hampa. Bara berhenti lalu merogoh saku celananya berniat mengambil headset untuk kembali mendengar rintikan hujan, saat sore yang masih cerah. Dia terus saja memutarkan alunan itu ditelinganya, disuatu tempat dalam fikirannya dia selalu merasa tenang hanya dengan mendengar hujan, lalu memutuskan berhenti disebuah halte untuk menunggu bus, "Hari ini cukup, mungkin besok".
Debri baru saja selesai mandi, berjalan menuju closetnya memilih sepasang boxer dan kaos oblong berwarna putih  untuk dia pakai, menggosokkan handuk di rambutnya yang basah sambil sesekali menatap layar monitor leptop yang masih menyala, menunggu sebuah notice kalau-kalau ada email penting untuk dia baca hari ini. Drrrt,,drrttt,, Hpnya bergetar mendengar itu Debri memutuskan melihat siapa yang menelponnya malam-malam begini. Tertulis salsa, mengetahui siapa yang akan mengganggunya lagi Debri memutar bola matanya lalu menggeser tombol hijau pertanda dia akan bersiap untuk membiarkan gendang telinganya berdenging kembali seperti hari sebelumnya.
"Hallo! Debrii lu darimana aja sih, lu tau gak sih gue nelponin lu seharian ini, lu taukan gue butuh banget ketemu Bara, gue lagi kearah rumah lu sekarang jangan tidur dulu" Debri masih mencoba mncerna ocehan temannya yang satu ini, satu yang dapat dia simpulkan Salsa akan datang malam ini kerumahnya, astagaa yang benar saja, baru saja akan menolak tuut,tuut, sial hpnya dimatikan, dan debri mendengar seseorang mengetuk pintu rumahnya "Gila itu anak emang kayak jin yaa, cepet banget nyampenya" gerutu Debri sebal.
Di sebuah mobil yang melaju cepat menyusuri jalanan malam ibu kota, "Kenapa lu baru ngomong sekarang sih sa!" bentak Debri pada Salsa. Debri membawa mobilnya dengan gusar sambil terus mengomel pada temannya yang sejam lalu baru saja melemparkan bom didepannya, dengan semua info yang sebenarnya tidak ingin dia dengar. "Lu tau gak sih gimana Bara kayak orang gila sebulan terakhir ini, denger ini semua dia bakal mati bunuh diri. Lu tau kan gue gak akan biarin kegilaan itu terjadi, sal kenapa,,," merasa kesal karna sekarang malah Debri yang lebih cerewet kepadanya Salsa mulai melempar tisu yang dia pakai untuk mengelap ingusnya "Eh homo, udah seminggu gue nyariin dia! Seminggu woii!! Lu fikir gue gak shock pas denger ini semua" ucap Salsa sambil terus sesegukan, lalu mengambil tisu lagi untuk sesekali mengelap air matanya yang tidak mau  berhenti keluar. "astaga, Bara bakal gila dengar ini" ungkapnya dalam hati.
Bara masih membeku, tetap membeku di dalam kamarnya. Rasanya seperti mimpi benarkah? Benarkah ini semua? Atau hanya ilusi. Sedangkan Debri berusaha untuk mengetuk pintu kamar sahabatnya itu "Bara, buka bar! Bara!! Kita bisa omongin ini bareng-bareng! Bara." melihat Debri, Salsa pun juga merasa bersalah, yang di lakukan hanya mencoba menenangkan Debri yang terus berusaha mendobrak pintu kamar Bara. Sedang yang diteriaki seperti mati, seperti tak pernah ada diruangan itu. Hening tidak ada jawaban.
Satu jam yang lalu, dua temannya itu datang tanpa permisi, tanpa mengizinkannya untuk mempersiapkan diri, menerima semua jawaban atas semua hal yang dia cari sebulan terakhir ini, dia harus menerima kenyataan bahwa tidak ada kesempatan kedua, tidak adalagi tawa dari belahan jiwa, luka yang tetap terngiang ternyata akan selalu ada. Harusnya dia menyadari hari itu, menyadari perubahan-perubahan kecil itu. Menyadari bahwa Jiwanya akan terbagi dua dan tak lagi sejiwa,
Flashback
Sebulan yang lalu, Drrrrtt.drrrttt.drrrt panggilan ke 33kalinya, dan sebanyak itulah Bara mengabaikannya lagi. Pagi tadi dia cukup kesal dengan tingkah seorang wanita yang Sebulan belakangan ini selalu saja menggangguinya dan selalu menungguinya di perpustakan kampus lalu mengaku-mengaku sebagai Ibunya. Yang benar saja, dia tetap menunggunya disana hingga satu persatu teman kampusnya menganggap dia adalah anak durhaka. Ya hari ini, tepatnya pagi tadi dia membentak wanita itu yang katanya adalah ibunya. Dia ingat betul wanita itu mengatakan bahwa dia sudah berusaha dan memohon untuk memeluknya sekali saja, dengan kesalnya bara mendorong wanita itu dan mengatakan bahwa dia wanita gila.
Sampai ahirnya seperti debu, wanita itu berlalu menghilang dan langsung tanpa kabar. Harusnya Bara bahagia, wanita itu tida lagi mengganggunya. Tapi yang terjadi adalah ada yang hilang dari jiwanya. Ada luka yang mengoyak relung hatinya. Dia sadar betul wanita itu tidak gila, dia tau wanita itu tidak pernah mengganggunya. Dia sadar pada akhirnya dia yang kalah melawan nalar, sampai akhirnya tak mampu menekan dendam, yang ternyata adalah cinta yang selalu ia impikan.
Flasback of
Disebuah pemakaman umum di ujung kota Jakarta, seorang anak memeluk makam ibunya, wanita yang di akhir pertemuannya dia goreskan luka dengan kata-kata yang harusnya tak pernah ada. Bara di temani dua orang sahabatnya itu, langsung menuju pemakaman yang menjadi rumah terakhir bagi jiwanya yang pernah hilang, yang sempat diberi kesempatan kepada Tuhan tapi malah tak pernah dia genggam.
Ibunya dikabarkan meninggal, karna kanker ovarium stadium akhir, harusnya hari itu ibunya memang harus tetap berada di rumah sakit, yang dia lakukan malah menghabiskan sisa umurnya untuk berusaha meminta maaf dan memohon ampunan, atas luka yang dia bebankan kepada anak semata wayangnya, yang justru sangat ia cintai.
Ibunya yang 16 tahun pergi tanpa kabar, meninggalkannya dengan banyak pertanyaan, apakah karna Bara kecil adalah anak yang nakal, atau karna dia selalu pipis diatas kasur setiap malamnya dan membuat ibunya Lelah harus mengganti sprei setiap pagi.  Kepergiannya meninggalkan beban untuk ayahnya, untuk seorang pria yang kehilangan cintanya, hingga ayahnya memutuskan bunuh diri dihadapannya, sungguh pilihan apa yang harus di ambil oleh anak usia 7 tahun? Selain benci dan dendam. Dendamnya adalah cinta yang dia tunjukan kepada ibunya, sungguh dia tetap mencintai ibunya, dia hanya lupa sebagai manusia dia harus menekan ego untuk menjunjung cinta.
Tamat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun