Mohon tunggu...
Komunitas Lagi Nulis
Komunitas Lagi Nulis Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas menulis

Komunitas Penulis Muda Tanah Air dari Seluruh Dunia. Memiliki Visi Untuk Menyebarkan Virus Semangat Menulis Kepada Seluruh Pemuda Indonesia. Semua Tulisan Ini Ditulis Oleh Anggota Komunitas LagiNulis.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Impian yang kini Terwujud

9 April 2020   05:29 Diperbarui: 9 April 2020   09:57 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mobil itu terus melaju menembus derasnya hujan yang tak henti-hentinya menjatuhkan diri, entah apa alasannya. Mereka sangat senang, hingga jalan ini lengang pertanda manusia tak mau mengganggu rasa riang mereka. Bahkan kodok pun tertular rasa itu, sahut-menyahut memecah keheningan. Aku coba menempelkan jariku pada kaca mobil ini, terlihat air itu mengalir menyusuri kaca, berkelak-kelok tak tentu arah. Rasanya dingin, menjalar dari ujung jari ke seluruh tubuh, hingga akhirnya bulu kuduk ini mau tak mau harus berdiri.

Dengan jarak pandang yang semakin berkurang, mataku meneropong, melihat sebuah gapura di antara tarian kabut. Gapura itu sudah banyak berubah, terbuat dari kerasnya pasir dan semen dengan lampu kecil mati-hidup bak renkarnasi.  Padahal dulu hanya terbuat dari bambu tanpa cat yang mau menyelimuti. Hanya butuh 9 bambu untuk membuatnya, entah itu wujud dari kesederhanaan atau pembangunan yang tak merata

Masuklah diriku dengan rasa rindu kepada seseorang berhati nabi, berjiwa korsa tiada dua, dan beradab bagai santri sejati. Namanya Darsono, anak kampung di pinggiran kabupaten, kawanku semasa perjuangan meraih cita-cita suci. Apalagi kalau bukan berjuang memerdekakan negara ini. Saat itu, aku masih polos diantar bapak ikut pelatihan jadi seorang tentara dan impianku menjadi jenderal. Darsonolah yang selalu membimbingku dan menasihati, kawan setia dalam setiap misi.

45 tahun lalu, kami ditugaskan untuk menghancurkan jembatan yang menjadi jalan utama tentara Belanda memasok bahan bakar. Bersama dengan 30 orang lainnya kami merancang strategi yang taktik, Darsono yang ditunjuk menjadi komandan, memberikan tawaran, ”Siapa yang hendak jadi singa? Mengikat dinamit ini ke jembatan itu?” Semuanya terdiam dan ragu apa mampu mereka melakukannya? Ia kembali memantik, ”Siapa yang ingin anak cucunya masih saja terjajah?” Kami saling betatap muka, hingga akhirnya Bowo dan Ikal serempak berkata, ”Kamilah singa itu.” Kamipun dengan hati-hati menuju jembatan itu.

Sesampainya di lokasi, Ikal memanjat jembatan itu dengan penuh kehati-hatian, berjalan senyap berharap penuh serdadu belanda tak mengetahuinya. Kami yang berjaga guna melindunginya pun dibuat senam jantung bukan kepalang oleh tentara pengawal yang berjalan ke sana-sini menenteng Ak-47. Di sisi lain ternyata Bowo telah selesai dengan tugasnya, Darsonopun lirih berkata, ”Segera kembali.” Namun, ia ingin menunggu Ikal yang masih beusaha mengikat dinamit.

Jembatan itu sudah tua, dibangun lebih dari setengah abad yang lalu. Itu bisa dilihat dari banyaknya lumut yang telah menemani. Namun, hal itu menjadi petaka bagi Ikal. Ikal terjatuh, sontak kami yang sedang sembunyi secara tidak sengaja berlari mencoba menolongnya. Darsonopun berteriak lantang, ”Apa yang kalian lakukan? Kembali! Kembali! Kembali!” Serdadu Belandapun menyadari hal itu. Bowo, Ikal, dan 7 orang lainnya dihujani peluru tiada habisnya. Baku tembak pun tak bisa terhindarkan lagi.

Posisi kami sama sekali tak menguntungkan karena berada di sungai, dalam keadaan genting itu Darsono memerintahkan untuk melemparkan granat dan ia malah menjadikan dirinya sebagai umpan. Dan instruksi itulah yang membalikkan keadaan. Ia mencoba menyelamatkan Ikal dan Bowo namun mereka berteriak haru,”Pergi! Pergi! Tinggalkan kami, bantuan mereka akan datang. Pergi Komandan! Pergi!” Kami hanya bisa berdiri membatu mendegarkan mereka. Tak lama setelah itu, Ikal membakar dinamitnya, Duar! Duar! Duar!. Dengan mata kami sendiri melihat mereka terkubur hidup-hidup dengan wajah tersenyum sambil berkata, ”Terima kasih, teman-teman.”

“Pergi! Pergi! Ayo pergi!” Komando dari Darsono. Tunggang-langgang kami mendaki jurang yang sebenarnya tak terlalu tinggi. Suara mobil tentara bantuan mulai terdengar. Dari pertempuran tadi kami kehilangan setengah dari jumlah pasukan. Peluru kami habis, tak tau apalagi yang harus kami lakukan. Aku bertanya kepada Darsono, ”Apa yang harus kita lakukan kawan? Mati?” Sejenak mengehela napas, ia berteriak, ”Jangan menyerah! Selangkah lagi Negara ini merdeka! Kalian dengar apa yang aku katakan? Merdeka! Mungkin kita hari ini akan mati, tapi ingatlah Allah tak akan mengubah suatu kaum sebelum mereka mengubah dirinya sendiri. Lari! Terus lari! Jangan biarkan anak cucu kita terjajah seperti kita!”

Kami terus saja diburu, masuk ke dalam hutan mencari tempat perlindungan. Hingga akhirnya kami menemukan sebuah sumur yang tak terlalu dalam dan kering. Mengingat musim kemarau masih belum mau pergi. ”Masuk kalian kesana! Masuk! Aku yang terakhir dan berjaga. Cepat!” Perintah Darsono. “Biar aku saja, Anda seorang komandan.” Sahut salahsatu dari kami. Berlinang air mata, Darsono berkata,” Aku tak ingin lagi kehilangan seorang anak buah lagi, kalian tanggungjawabku. Masuk!.” Kami semua masuk ke dalam sumur itu, aku yang terakhir mengucapkan pesan kepada kawanku itu, “Semoga Allah bersamamu, kawan.”

Dia berlari terus ke depan, tak berselang lama suara puluhan langkah kaki mengiringi. Suara tembakan kini terdengar, kami sangat khawatir dengan kondisi Darsono, komandan yang selalu melindungi kami. Suara tembakan telah terhenti, sangat hening. Kami hanya saling menatap, bertanya dalam hati bagaimana dengan Komandan? Jawaban yang tidak akan terjawab di dalam sumur ini.

Setengah jam menunggu, kamipun keluar dari sumur. Menyisir. Mencoba untuk menemukan Darsono. Tak disangka, ia duduk bersandarkan pohon jati berdiameter 5 inch dengan senjata di tangan, wajah bahagia berbalut senyum tragis. Tangis kami tak terbendung, Darsono mengalahkan semua serdadu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun