Mohon tunggu...
Komunitas Lagi Nulis
Komunitas Lagi Nulis Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas menulis

Komunitas Penulis Muda Tanah Air dari Seluruh Dunia. Memiliki Visi Untuk Menyebarkan Virus Semangat Menulis Kepada Seluruh Pemuda Indonesia. Semua Tulisan Ini Ditulis Oleh Anggota Komunitas LagiNulis.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tertunda dan Berpaling

23 Maret 2019   12:08 Diperbarui: 23 Maret 2019   19:42 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Oleh: Heni Esti Nurani


kala itu, aku tengah belajar di sekolah yang tidaklah mahal ataupun terkenal. Aku anak biasa yang duduk di sekolah negeri. Ya, Memang terkenal gratis, tapi bagiku itu bukan masalah. Sebab tujuan utamaku adalah belajar, mengembangkan kreatifitas, ataupun untuk mencari ilmu-ilmu yang belum aku mengerti.

Bulan mulai berganti bulan, tahun berganti tahun. Kini aku sudah masuk pada bangku sekolah tinggi, tepatnya kelas IX SMP. Pada fase ini aku mulai sibuk dengan berbagai ujian. Dari yang hanya sebatas latihan, hingga yang menentukan kelulusanku dengan nilai murni, dan bukannya nilai dorongan.

Semasa aku masih di bangku kelas VIII SMP, tak pernah terlitas bahwa aku punya impian sekolah ke luar negeri. Aku hanya punya mimpi, yang bagiku adalah angan yang besar, maka aku harus tekun untuk menggapainya. Ya, mimpi tersebut untuk masuk sekolah yang bagiku unggulan. Yang akhirnya, setelah aku melewati langkah demi langkah menuju kelas XI, aku memberanikan diri meminta, bahkan merayu agar aku dibolehkan masuk sekolah itu.

Banyak sekali cara kulakukan. Baik itu dengan cara tertutup agar orang-orang tidak tahu bahwa itu sekolah impianku. Seperti mencari informasi sekolah tersebut melalui internet ataupun brosur-brosur pendaftaran.

Saat malam tiba, aku memberanikan diri berbicara untuk meminta izin tentang sekolah impianku. Yang bagiku banyak sekali harapan di dalamnya.
"Ayah, mba punya sesuatu buat Ayah ( memberikan gambar )." Ucapku sambil merayu.
"Apa ini Dek?" Jawab ayah dengan tetap fokus pada handphone-nya.
"Ini foto sekolah lo Yah..." Jawabku.
"Ooo... foto sekolah di mana ini?" Jawab Ayah.
"Iya ini sekolah yah, dekat kok." Jawabku.
"Dekat di mana ?" Tanyanya sembari mulai fokus pada gambar sekolah tadi.
"Di sana, Karang lo Yah" Jawabku (Senyum-senyum penuh harap).
"Ih kok jauh banget ya.." Jawab ayah.
Nah , dari jawaban ini saja aku mulai berpikir bahwa impianku tak akan terwujud
"Ayah, kan mba udah besar, jauh juga gak papa yah." Jawabku sedikit menekan suara.
"Oo.. Jadi Adek mau sekolah disini? Kenapa jauh-jauh? Sekolah aja yang deket. Kan yang dicari ilmu, bukan jarak sekolah." Jawab Ayah dengan santai.
Sedikit cemberut ketika mendengar itu, karena memang jawabannya saja sudah bisa terbaca. Ya aku yakin aku pasti gagal.
"Ya sudah Yah, Ayah benar kok, yang di cari kan ilmu bukan jarak sekolah" jawabku dengan nada rendah.
(Kalo ditanya apa rasanya? Iya pasti kesal.)
Tapi usahaku tak putus di situ saja, cara kedua ku lakukan dengan selembar brosur yang berisi pendaftaran sekolah tersebut.
Bukan malam lagi, ketika siang hari ayah baru pulang kerja (pasti letih). Aku tenangkan diriku untuk bersabar memberikan brosur ini. Siang mulai terlewatkan, aku cari kesempatan lain 

"Mungkin nanti sore." Pikirku dalam hati. 

Sore hari pun tiba, Ku tengok ayah pun rileks dan waktu sore itu juga ku lakukan usahaku yang aku harap bakal berhasil (diizinkan).
Pelan pelan langkahku untuk menghampiri ayah dan ibu yang saat itu sedang asik menonton televisi. Ku coba untuk percaya diri.
"Eh Ayah, Ibu, lagi ngapain?" Basa basiku dengan tingkah anak kecilku.
"Adek.. Adek... Sini-sini. Ngapain itu? Bawa apa kok di lipet lipet." Jawab ayah.
"Hehe.. Ayah, Ibu, ini adek bawa brosur." Jawabku lirih.
"Eh brosur apaan Dek?" tanya ibu.
"Browsur sekolah lah , mba pengen sekolah disini." Jawabku.
Tak payah buang waktu, brosur itu segera aku pamerkan pada Ibu dan Ayah. Dilihat-lihat sambil bermusyawarah membicarakan sekolah ini.
Tak selang berapa lama Ayah dan Ibu pun memberi jawaban.
"Jauh Dek, mending sekolah deket aja.. Kamu masih kecil." Jawab ayah dengan lembut.
"Kalau ibu mah terserah, kalau Ayah bolehin ibu juga bolehin, kalau Ayah larang ibu juga larang." Jawaban ibu (selalu sama).
Hanya bisa tertunduk, diam diam ku tahan air mata untuk tidak menetes dulu.
"Emm , yaudah deh, iya.." Jawabku dengan berbohong bahagia.

Nah, udah 2 cara aku lakukan tapi tak ada hasil yang pasti (gagal). Tapi aku tak diam saja hanya merenung atau malah stres. Dari situ aku sadar, bahwa harapan bisa saja bangkit di saat sedih, harapanku bukan hanya di sekolah itu saja, melainkan ada sekolah lain yang lumayan bagus juga untuk aku daftari.

Aku lewati masa masa gagalku tanpa bersedih, ya.. walau sering juga sih galau di kamar sendiri, tapi gak buat aku hancur kok. Hanya saja kecewa. Karena jadwal ujianku padat, maka aku isi segala luangku untuk belajar, bahkan untuk mencari kelas tambahan entah itu di luar sekolah atau di sekolah. Karena hanya satu yang aku pikirkan saat itu, lulus.

Waktu diam-diam berjalan, hampir saja aku lupa akan impian sekolah kedua ku. Sekolahnya sih tak jauh, eh, tapi lumayan, tak mahal pula karena negeri. Anak-anaknya juga terdidik sih. Aku mengetahui hal itu dari teman-teman hingga saudara. Setelah bimbel, kira-kira jam 16 sore, aku pulang dengan sedikit cerita tentang sekolah impianku, bukan tentang siapa-siapa yaaa. Ku lihat sih di rumah tengah tenang, tak pula kulihat Ayah dan Ibu tengah letih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun