Mohon tunggu...
Komunitas Lagi Nulis
Komunitas Lagi Nulis Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas menulis

Komunitas Penulis Muda Tanah Air dari Seluruh Dunia. Memiliki Visi Untuk Menyebarkan Virus Semangat Menulis Kepada Seluruh Pemuda Indonesia. Semua Tulisan Ini Ditulis Oleh Anggota Komunitas LagiNulis.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terbaik di Bawah Kolong Langit

5 Maret 2019   02:44 Diperbarui: 5 Maret 2019   02:56 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Ahmad Dafa A. H.

Rabbanaaaatinaa fiddunyaa hasanah, wa fil aakhiroti hasanah, waqinaa adzabannaar.Dalam hidupnya, manusia selalu berharap yang terbaik. Bangun pagi dengan kondisi yang terbaik, sarapan dengan menu pagi yang terbaik, seharian bertemu orang-orang terbaik, hingga tidur dengan mimpi terbaik. 

Hal ini umum terjadi tanpa memandang perbedaan kelas sosial, gender, dan usia. Bahkan, hewan melata di luar rumah, secara alami mencari tempat terbaik untuk dijadikan sarang. Ayam-ayam tetangga, seringkali harus melalui pertarungan panjang saat datang musim kawinnya. Dan itu semua, demih mendapat yang terbaik.

Dalam upaya untuk mendapat yang terbaik, ada satu hal yang perlu digarisbawahi. Di dunia, tidak selamanya yang terbaik dalam harapan dapat diraih. Hal ini yang kemudian mengajarkan manusia makna dua kata. Penyesalan dan kekecewaan. 

Bagi mereka yang berharap banyak namun kurang dalam usaha, maka hidup akan mengajarkannya makna penyesalan. Dan bagi mereka yang berharap banyak, berusha banyak, namun ternyata hasil berkata lain, maka hidup akan mengajarkannya arti kekecewaan.

Pada titik ini, dapat dipahamai akan adanya korelasi logis. Yaitu untuk mendapat yang terbaik, maka harus terlebih dulu menjadi yang terbaik dengan cara berusaha sebaik mungkin. Hal ini pada awalnya akan terasa sulit. Namun, pada kenyataannya, cukup menjadi sedikit lebih baik dari yang lain untuk mendapat predikat terbaik. 

Sebagai contoh, dalam suatu kompetisi balap lari, untuk menjadi juara, seorang pelari cukup harus sampai di garis finis satu detik lebih cepat dari lawannya. Atau pada contoh kasus di luar perlombaan, sorang anak cukup harus melompat lebih tinggi dari lompatannya yang telah, lalu untuk mendapatkan lompatan terbaiknya yang baru.

Setelah memahami korelasi antara usaha dan hasil yang akan didapat. Terkadang rasa penyesalan dan kekecewaan tetap saja muncul meski seseorang telah mendapat predikat terbaik, dan mendapatkan hasil yang terbaik pula. Hal ini terjadi, karena sesuatu yang selama ini dianggap sebagai yang paling baik, ternyata tidak demikian. 

Seperti pepatah lama yang berbunyi "di atas langit masih ada langit". Setelah sampai pada titik terbaik, tidak lantas menjadi akhir kisah dari serangkaian usaha panjang. Justru pada titik inilah, hal-hal yang dianggap "lebih baik" banyak bermunculan. Hingga yang selama ini diangap terbaik pun berubah biasa seketika. Singkat kata, tidak ada kata "puas" dalam perjalanan menuju yang terbaik.

Melihat dinamika hidup yang seakan tiada akhirnya, melahirkan satu pertanyaan tersendiri yang penting untuk direnungkan. Adakah yang benar-benar terbaik di bawah kolong langit? Sesuatu semacam itu (yang benar-benar terbaik), jika memang ada, pasti akan menghentikan perjalanan panjang mencari yang terbaik. 

Karena apabila dicapai, seseorang tidak akan mencari lagi yang lebih baik. Karena sejatinya, ia telah sampai pada titik kepuasan tertinggi. Dan sejauh yang pernah diceritakan oleh peradaban manusia, kepuasan seperti itu hanya ada di satu tempat. Yaitu surga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun