Mohon tunggu...
Ladinata Jabarti
Ladinata Jabarti Mohon Tunggu... pegawai negeri -

pecinta negeri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sang Sastrawan Sebuah Sketsa Oleh: Maxim Gorky

26 Februari 2011   03:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:15 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

SANG SASTRAWAN

Sebuah Sketsa

Oleh: Maxim Gorky

Manakala Shura, sepulang dari sekolah, menyalin pakaiannya dan menuju ke ruang makan, dia melihat, bahwa ibunya, yang telah duduk di dekat meja, yang diberi taplak, tersenyum kepadanya secara agak istimewa. Suasana begitu, seketika itu juga, membangkitkan rasa mau tahunya, tetapi dia sudah besar dan dia menganggap melemparkan pertanyaan-pertanyaan lebih rendah dari harga dirinya. Dengan membisu dia mencium dahi ibunya dan setelah secara sepintasan dia menoleh ke kaca cermin, dia duduk di atas bangkunya. Sekali lagi dengan segera sesuatu yang istimewa menyerbu matanya – meja makan ditata berdasarkan aturan seremoni dan dipersiapkan untuk lima orang. Artinya, seseorang telah diundang untuk makan siang: begitulah. Shura dengan rasa kecewa menarik nafas. Dia kenal dengan baik semua kenalan ayah dengan ibunya dan bibi Zina - di antara mereka semua secara absolut tidak ada seorang punyang menarik.Ya, Tuhan! Betapa mereka semua menjemukan, dan bagaimana secara keseluruhan mereka merasakankebosanan-kebosanan di atas muka bumi ini.

“Ini untuk siapa?” Setelah menolehkan kepala ke peralatan makan, dengan rasa tidak peduli Shura bertanya. Sebelum menjawab pertanyaan, ibu melihat pada jam tangannya, kemudian pada jam dinding, kemudian, setelah menundukkan kepala ke arah jendela, ke arah mana dia memasang telinga, akhirnya, setelah tersenyum, dia berkata:

“Tebaklah,”

“Sama sekali tak menarik,” kata Shura, seraya merasa, bahwa rasa ingin tahu sekali lagi menyala di dalam dirinya. Dia ingat, bahwa pelayan kamar Lyuba, sambil membukakan pintu untuknya, juga pada suatu waktu pernah berkata secara khusus:

Pazh-zhaluite[1].”

Lyuba biasanya sangat jarang sekali mengatakan: ‘pazhaluite’ dan tidak pernah berkata secara demikian, dengan mendengung. Shura sangat mengingat hal itu dengan baik, lantaran sifat pembawaan yang paling kecil pun dalam kejenuhan, yang tersemat pada batas-batas sempit kehidupan berkeluarga menghasilkan riak yang kasat mata pada tampilan luar Lyuba yang tenang dan hal itu secara baik dikenang oleh kesan-kesan ingatan Shura yang memang selalu haus.

“Mungkin saja, ini menarik. Coba terkalah sendiri,” saran ibu kembali.

Setelah mengingat tekanan perkataan Lyuba, Shura jadi merasa yakin, bahwa ini menarik, sangat menarik, tetapi bertanya langsung kepada ibu, entah mengapa dia merasa sungkan.

“Seseorang akan datang,” katanya, seperti acuh tak acuh.

“Tentu saja,” ibunya menganggukkan kepala, “tetapi siapa?”

“Paman Zhenya,” tebak Shura dan dia merasa, bahwa di pipinya muncul warna merah.

“Bukan, ini bukan saudara. Dia ini, biar begitu, adalah seseorang yang kamu senangi.”

Shura membulatkan matanya dan kemudian dia bangun dari tempat duduknya dan menghambur ke leher ibunya.

“Ibu! Benarkah?”

“Nanti dulu, nanti dulu,” ibunya tertawa dan menarik Shura dari pelukannya, “tidak perlu seperti orang yang kerasukan begini! Nanti bagaimana kalau ibu ceritakan kepadanya!”

“Ibu! Paman Krymsky? Benar? Dia akan datang? Ayah sedang menjemputnya, ya? Dan bibi Zina juga? Mereka sebentar lagi datang. Ibu, aku akan pakai baju yang warnanya abu-abu! Ah, mereka sebentar lagi datang! Mereka pasti datang!”

Shura yang wajahnya memerah dan yang perasaannya penuh haru berjingkrak-jingkrak di sekitaran kursi ibunya, kemudian dia menghampiri kaca cermin, berlari ke kamarnya sendiri untuk berganti pakaian, tetapi dia mendengar gemeretak kunci pintu di bawah dan dia pun kembali menghampiri kaca cermin, merapihkan rambutnya dan dengan pelan-pelan dia menenangkan gelora hatinya, kemudian dia duduk di atas bangkunya dan memejamkan matanya. Ketika dia membuka matanya nanti, di dalam ruangan tersebut, dengan sangat dekatnya, paling selang hanya satu kursi dari dirinya, akan duduk paman Krymsky, sang sastrawan, yang sajak-sajaknya dibaca Shura di sekolah dan yang dianggap sebagai sastrawan terbaik dari semua sastrawan. Sajak-sajaknya begitu lembut, membelai-belai, begitu bersuara, begitu muram, Ya Tuhan! Dan paman Krymsky benar-benar akan ada di dekatnya, akan berbincang, membacakan karya-karya terbarunya, yang di sekolah kawan-kawan Shura tentunya belum tahu!

“Hei, karya apakah yang telah ditulis paman Krymsky!” Dia besok akan berkata begitu kepada kawan-kawannya dan mereka akan bertanya – karya apatah; dia akan membacakannya untuk mereka; dan ketika itu mereka akan bertanya, di manakah karya itu dicetak, dan dia dengan merendahkan hati- pasti dengan rendah hati! – akan berkata: “Ah, karya itu belum diterbitkan. Dia membacakannya untuk saya kemarin, saat makan siang!”

Ketakjuban apa, kecemburuan apa, yang akan muncul! Kikina yang pemberang, apa yang akan terjadi dengannya besok? Dia akan tahu, mana yang lebih baik: memiliki saudara yang tukang nyanyi atau punya kenalan sastrawan? Sedang kawan-kawannya yang lain akan meminta: “Shura, perlihatkanlah dia kepada kami!” Dan dia, dan dia, sang sastrawan itu, akan jatuh cinta kepadanya? O! Itu bisa saja terjadi, karena dia sastrawan. Semua sastrawan selalu langsung jatuh cinta. Ya Tuhan! Bagaimanakah kumisnya? Matanya besar dan murung, dengan bundaran hitam di bawahnya.Hidungnya mancung seperti paruh burung elang dan warna kumisnya hitam.

“Shura!” kata sang sastrawan, sambil meremas-remas tangannya sendiri dan menjatuhkan diri di hadapannya, “Shura! Ketika kamu saya tatap, fajar hari dari hidup baru di depanku mulai bernyala-nyala dan getaran harapan yang ganjil menyelusup ke dalam hatikuItu karena kau! Bersumpah aku – kau oleh jiwaku sangat dikenali.

“Ah, dia telah menuliskan sajak! Itu artinya…”

“Udara panas, debu, bau tengik, bukan main…Aku tidak dapat tidur…” Suara, yang mengembalikan Shura dari dunia sajak dan angan-angan ke dalam dunia nyata, adalah suara yang sangat lembut dan penuh simpatik, meski terdengar serak dan penuh omelan. Shura membuka matanya dan bangkit dari tempat duduknya untuk menyambut seorang lelaki kurus tinggi yang datang mendekat dalam balutan jaket hitam beledru berlapis dua dan celana panjang kelabu yang lebar.

“Apa kabar, barysnya[2]. Kamu sudah lupa pada saya, ya? Ya, tentu saja…”

“Saya…” Shura tersipu, “Saya selalu membaca sajak-sajak Anda…tetapi ketika itu saya masih kecil, ketika Anda dulu datang bertamu…”

“Dan…sekarang kamu sudah besar,” sambil melayangkan pandangan ke sekitar Shura, sang sastrawan tersenyum dan sang sastrawan itu masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia hanya mengkerut-kerutkan bibirnya, seperti yang dilakukan para orang tua, kemudian dia menjatuhkan dirinya ke atas kursi, seraya berkata kepada ayahnya Shura:

“Bagus sekali, Mikhail.…Rumahmu sangat nyaman,”

Shura, setelah menundukkan kepalanya, memandang ke arah piringnya dan dari atas permukaan piringnya yang licin dia membingkai sosok sang sastrawan. Shura sama sekali tidak tertarik dengan pantalon kelabunya, pangkasan rambut pendeknya dan kumis pirang tuanya yang jarang – o, semua itu terlalu lumrah!

Kemudian tingkah lakunya yang mengkerut-kerutkan bibir, pipinya yang bekas dicukur tampak kebiru-biruan, dan dagunya juga…Matanya sangat jernih, bisa jadi, tidak berwarna, ada semacam kantung-kantung di bawah mata, dahinya yang mengernyit tampak lebar. Dia benar-benar mirip seorang pegawai kantor pos, dan dari tampilan luarnya dia sama sekali tidak memiliki petunjuk-petunjuk yang puitis. Dan bagaimana dengan kedua tangannya? Shura dengan mendeling melihat pada kedua tangan tersebut. Tangan-tangannya tampak begitu gempal, dengan jari-jari yang pendek besar. Pada salah satu jarinya ada cincin berbatu akik. Shura menarik nafas dalam-dalam dan merasakan, bahwa dia jadi berubah sedih.

“Jadi kamu membaca sajak-sajak saya?”

Sang sastrawan berkata kepadanya. Shura menganggukkan kepalanya dan pipinya memerah.

“Nah, baiklah…Boleh saya bertanya – kamu tertarik dengan sajak-sajak itu?”

“O, ya. Mereka benar-benar gila karena puisi-puisi Anda,” kata ibu.

“A, itu buat saya suatu pujian…”

“Sama sekali tidak, itu tidak benar,” dengan cepat Shura berkeberatan pada kata-kata ibunya, tetapi keberatannya itu baru terdengar setelah kata-kata sang sastrawan.

Shura jadi merasa malu - itu jadi terasa bodoh. Sedangkan ayah, ibu, bibi Zina dan paman Krymsky tertawa. Bahkan paman Krymsky entah untuk apa mengangkat alisnya, dan wajahnya jadi seperti wajah seorang pelawak. Untuk apa dia mengangkat alisnya? Dan untuk apa dia ikut tertawa dengan yang lainnya? Dia itu seorang sastrawan dan seorang sastrawan haruslah peka dan santun. Masa wajahnya yang memerah lantaran rasa malu bisa kelihatan lucu untuk sang sastrawan, sebagaimana yang terlihat pada yang lainnya, masa dia begitu, seperti yang lainnya? Dia, boleh jadi, berpura-pura, agar tidak terlihat oleh ayah dan ibu sebagai orang yang kurang sopan. Kemudian dia akan menjadi dirinya sendiri.

“Dan kamu, Shura, sekarang kelas berapa?”

“Kelas enam…”

Buat apa dia tahu itu? Dan mengapa dia memanggilnya Shura[3]?

“Dan guru apa yang kamu kagumi? Tentunya guru menggambar, ya?”

“Guru kesusastra…”

“Ah ya, tentu saja guru kesusastraan…”Dan suara tawa yang terbahak-bahak pun meledak…

Tampak oleh Shura, bahwa dia telah dicabik-cabik menjadi bagian-bagian kecil, ditelanjangi, tubuhnya ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum penyemat. Dia ingin lompat menjauh dari meja dan berlari entah kemana. Dia jadi merasa kedinginan dan dia khawatir, bahwa dia tidak akan mampu menahan airmata. Bagaimana dia mampu membuka rahasia ini? Seraya menahankan gigilan karena rasa berang yang melingkupinya, dia melemparkan ke wajah sang sastrawan pandangan, yang di dalamnya menyala-nyala rasa dendam dan api kemarahan dan dia juga merasa was-was, bahwa dia tidak punya cukup kekuatan untuk mengatakan semua, yang ingin dikatakan, dan kemudian seraya meremas-remas jari-jarinya yang di bawah meja, dia memulainya dengan kata-kata yang cepat:

“Buat paman ini lucu, ya? Tapi ini tidak mungkin lucu. Guru kesusastraan saya adalah guru terbaik dan kami semua sangat senang kepadanya. Dia berbicara dengan begitu menarik dan dia membacakan kepada kami ragam-ragam buku, menunjukkan, bahwa ada yang baru di dalam kesusastraan dan secara umum dia adalah orang baik. Tanyakanlah, siapa yang ingin paman tanyakan, baik di kelas kami, maupun di kelas tujuh. Untuk apa tertawa? Tentu saja, saya…”

“Shura! Ada apa denganmu?” seru ayahnya.

“Kita telah melukai hati baryshnya,” kata paman Krymsky dengan lembut. “Saya minta maaf…”

Shura merasa tidak nyaman mendengar kata-kata maaf tersebut. Tampak baginya, bahwa kata-kata itu tidak tulus dan paman Krymsky benar-benar tidak tertarik untuk mengetahui, bagaimana dia bersikap terhadap kata-kata maaf itu. Dan Shura benar-benar merasakan dirinya menjadi orang asing dan tidak diperlukan oleh semua orang yang ada di dalam ruangan. Dia jadi iba pada dirinya sendiri dan sampai selesai makan siang dia duduk benar-benar di atas kabut, seraya mendengarkan, bagaimana kesedihannya yang tanpa suara dan menyesakkan, semakin memperbesar - di dalam hatinya - kesedihan itu sendiri.

“Jadi siapa dia, sastrawan! Orang seperti itu, sama dengan yang lainnya,” pikir Shura setelah makan siang, sambil duduk di dekat jendela di dalam kamarnya dan dengan saksama memandang, seperti ada sesuatu yang baru, rimbunan pohon sireng kesukaannya yang ada di taman, di bawah jendela.

“Seperti orang kebanyakan…Tetapi…mengapa ayah tidak menulis sajak? Masa tulisan ayah lebih jelek dari orang itu?”. Dan dia mengingat hati yang lembut, bait-bait perenungan sang satrawan, kalimat-kalimat bersajak, yang di dalamnya ada begitu banyak kelembutan yang menyedihkan. Dan sang sastrawan tidak menyebutkan satu patah pun di saat makan siang. Agaknya, dia telah terbiasa menuliskannya, seperti Sonya Sazikova yang terbiasa menciptakan bunga-bunga ajaib dari kertas rokok. Semua orang iri terhadapnya, sedang dia hanya tertawa dan merasakan ketakjuban. Bukankah itu biasa saja!.

Di taman terdengar suara. Itu ayah dan paman Krymsky. Jika mereka duduk di bangku yang ada di balik pohon-pohon sireng, maka Shura akan mendengar semua perbincangan mereka. Dan setelah menjulurkan lehernya, Shura dengan rasa ingin tahu yang besar melihat – kemana mereka pergi.

“Nah, bagaimana? Kumpulan sajakmu yang terakhir banyak dibeli orang?”

“Lumayan, jalan terus. Saya pikir itu terbitan yang kedua. Tetapi itu dibeli, karena orang ingin tahu, bukan karena keperluan yang sebenarnya di area sajak. Itu…itu pekerjaan para kritikus sampah, yang, ketika kumpulan sajak saya keluar, berteriak-teriak tentang dekadensi. Publik, akhirnya, ingin tahu, apakah dekadensi yang begitu banyak diperbincangkan orang dan seorang pun tidak ada yang bisa menjelaskannya. Ya, saya pun akhirnya menang…kumpulan sajak saya dibeli orang, yang ingin tahu mengenai dekadensi…”

Suara sang sastrawan terdengar mengandung ironi yang memilukan, pada kata-katanya terdengar luka hati dan suara itu menemukan gaung yang serupa di dalam hati Shura, yang sedang mendengarkannya di dekat jendela.

“Ya-a,” kata ayah, “kritikan itu sangat keras dikaitkan dengan saudara lelakimu.”

“Semua orang menyerukan suara pembalasan dan derita…Sambil duduk di ruang baca yang tua, mereka mengira, bahwa ada permintaan untuk pembalasan dan derita di dalam hidup ini…Sungguh sia-sia…Tidak ada seorang saudara pun di dalam hidup ini, yang ada hanya orang-orang bodoh dan cepat berpuas diri dan orang-orang yang kelelahan dan tidak disenangkan oleh apa pun…Selebihnya tidak ada…Tuan-tuan pengkritik itu tidak mengetahui keadaan-keadaan yang menyedihkan tersebut…Mereka bekerja dengan buku-buku, bukan dengan kehidupan, dengan tradisi-tradisi lama, bukan dengan gejala-gejala baru…Dam kaum muda? Kaum muda, sekarang ini, dilahirkan oleh para orang tua. Dengan tanpa bisa disanggah seseorang berkata…Kaum muda sangat sedikit sekali menggeluti sajak dan semua hal, yang dapat membersihkan jiwa. Tetapi, lebih baik kita membuang masalah yang membosankan itu…Anakmu itu sangatlah baik…”

“Ah, dasar sastrawan! Kau telah memperhatikannya, ya?”

“O, baiknya dia!” Shura yang jadi tersipu dan pipinya memerah lantaran gelora rasa bahagia bergumam. Dari kata-katanya Shura berkesimpulan, bahwa sang sastrawan itu tidak dimengerti oleh orang lain dan dia berkeluh-kesah pada hal tersebut. Lelaki itu sekali lagi menjadi seorang sastrawan di mata Shura. Dan begitu juga dengan pujian yang tiba-tiba terhadap dirinya…

“Omong-omong, maafkan pertanyaan yang tidak santun ini…”

“Mengenai istri saya? Ya, bung, saya tidak tahu di mana dia…Sekitar dua tahun yang lalu saya dengar, bahwa dia ada di suatu tempat, di Kaukasus, menjadi seorang guru…Ops! Saya tidak bisa mengingat dia, tanpa rasa kengerian…Ada perempuan-perempuan, yang mampu dengan kemurnian ahlaknya dan kesederhanaan pikirannya hanya memunculkan rasa ngeri, benar-benar mengerikan, sangat menyeramkan. Istri saya termasuk ke dalam jenis perempuan yang seperti itu…Belum pernah saya merasa begitu iba pada diri sendiri, seperti ketika saat itu, ketika saya mengetahui lewat hatinya…Hati seorang perempuan, yang ingin, biar bagaimana pun juga, menderita - manusia yang membosankan…Apakah kita nanti minum teh?”

“Ya, segera…Tetapi kau berkata bukan pada persoalan – saya ingin bertanya, bagaimana sekarang kau hidup…berkeluarga atau sendiri…”

“Sejak bulan Mei saya hidup sendiri. Pada musim dingin saya tinggal dengan seorang bidadari…Peristiwa yang lucu, bung! Pemuja bakat saya, seorang gadis dengan kehangatan dan bukan tanpa pendidikan, bahwa, meskipun demikian, itu tidak mengusiknya menjadi seorang perempuan bodoh yang klasik …Kami benar-benar sengaja bersatu, setidak-tidaknya, dari sisi saya tidak ada yang disengaja. Minum-minum, saya sedikit: masalahnya adalah ketika pesiar di luar kota…Setan pun tahu, bagaimana dia tiba-tiba ada di apartemen saya…hanya ketika pagi saya terbangun, saya mengetahui: saya telah menikah! Saya mengucapkan selamat pada diri sendiri, saya berpakaian dan menunggu, apa yang akan terjadi selanjutnya…”

Ayah tertawa terbahak-bahak dan tampak bagi Shura, bahwa suara tawa ayahnya menghancurkan sesuatu yang ada di dalam dirinya. Itu sangat menyakitinya.

“Ah, bagaimana dengan gadismu itu?”

“Ya, dia terbangun. Airmata pun menyusul…jutaan ciuman dan begitu banyak sumpah. Kira-kira seminggu kemudian kami bertengkar dengan membabi buta dan saya secara jujur merasa jadi lelah hidup dengannya…”

“Dan orangtua?”

“Kami menyembunyikannya. Kemudian hidup berangsur-angsur mulai masuk ke dalam aturannya sendiri dan keadaan itu pun dimulai…setan pun tahu apa itu! Dia lebih dulu yang mulai membuktikan, bahwa sajak-sajak saya yang lembut, indah, yang memukau jiwa benar-benar tidak selaras dengan pakaian saya, yang saya bayar seharga 65 rubel…Saya memprotesnya, dia menangis. Tengkarlah! Pada akhirnya nyatalah, bahwa menurut persepsinya, sastrawan adalah mahluk di luar bumi pada takaran tertentu, bahkan di apartemennya, ruangan - yang berdasarkan kekuasaan hukum fisiologi - sastrawan kadang-kadang perlu berjalan ke sana, tidak harus ada. O, brengsek betul pendidikan tolol yang seperti itu, yang memasamkan pikiran kaum perempuan! Dan dimulailah pertengkaran, airmata, teriakan histeris, pulang ke rumahorangtua…tuntutan konsesi pada semua hal. Saya mengejarnya dan menuliskan kepadanya semacam prosa, bahwa seorang sastrawan, secara sebelumnya, memerlukan kebebasan.”

“Kemudian bagaimana?” Ayah bertanya dengan pelan.

“Saya membayarnya 25 rubel sebulan…”

Shura merasa kedinginan dan dia gemetar karena gigilan gugupnya, sambil melanjutkan melihat ke taman dengan pandangan mata terbuka lebar.

“Belakangan ini rasa pesimismu terdengar sangat keras…”

“Kau baca: ‘Ragam Kenangan yang Berliku-liku di dalam Kegelapan Malam di depanku’?”

“Ya?”

“Semua kesan-kesan saya tergambar di sana…semua sisa dari peristiwa bodoh itu.”

“Tergambar dengan baik…” kata ayah, sambil menarik nafas dalam-dalam. “Secara umum, bung, kau itu adalah seorang master besar, yang dengan sangat jelas menggambarkan ‘pola yang samar-samar dari gelora hati’.”

“Bah, kau ini, tetapi sebenarnya, apakah kau memuja sajak-sajak saya?”

“Sangat. Tidak perlu diragukan, sajak-sajakmu sangatlah indah…”

‘Terima kasih! Itu tidak sering mesti didengar, meski saya – saya akan berterus terang – mengetahui, bahwa penilaian itu sudah sepatutnya…”

“Tak perlu diperdebatkan lagi, bung! Ayo kita minum teh…”

“Kau lihatlah, siapa yang sekarang ini menulis dan bagaimana mereka menulis? Para manusia tidak bermoral, bukan para sastrawan, yang memperkosa bahasa, yang menyiksa bahasa…Saya sangat menghargai kekayaan itu, saya selalu berusaha…”

Shura melihat, bagaimana ayahnya dan paman Krymsky berjalan beriringan di taman. Suara mereka mulai tidak jelas, menghilang.

Shura meluruskan dirinya di atas kursi dengan pelan-pelan, seakan-akan di dalam dirinya bersemayam sesuatu yang memberatkan dan dia merasa sangat sulit bergerak…

“Shura, ke sini minum teh!” Suara ibunya sampai ke telinganya.

Dia bangun, kemudian berjalan, sambil melewati kaca cermin, dia melihat, bahwa wajahnya tampak pucat, jadi lebih kurus, seolah-olah menampakkan ketakutan. Di matanya tampak banyak kabut, sehingga, ketika dia keluar menuju ke ruang makan, wajah-wajah orang yang dikenalnya di depan menjadi seperti titik-titik putih yang tak berbentuk.

“Saya harap, bahwa baryshnya sudah berhenti marah pada saya?” Suara sang sastrawan sampai ke kupingnya.

Shura terdiam, sambil memandang dengan datar pada rambut pendek sang sastrawan dan berusaha mengingat, siapakah dia, manusia ini, yang tampak padanya, manakala dia membacakan sajak-sajaknya,dan dia tidak mengenal laki-laki tersebut?

“Shura, mengapa diam? Wah, sopannya!” seru ayah.

“Ah!” Shura berteriak, sambil melompat dari kursinya, “apa yang kalian perlukan? Menjauhlah dari saya. Para pembohong…”

Dan, dengan isak tangis, setelah menghambur keluar dari ruang makan, dia sekali lagi dengan histeris berteriak:

“Para pembohong!..”

Beberapa detik keempat orang tersebut duduk terdiam di meja makan, dengan keheranan mereka saling memandang. Kemudian ibu dan bibi Zina keluar.

“Tidakkah dia mendengarkan perbincangan kita?” tanya ayah pada sang sastrawan.

“Bedebah!” teriak orang tersebut dengan rasa malu, dan dia jadi gelisah duduk di atas kursinya.

Ibu kembali masuk, terhadap pandangan mata yang mengandung pertanyaan, yang ditujukan kepadanya, dia menjawab, dengan penuh keheranan, setelah mengangkat kedua bahunya:

“Dia menangis…”

Diterjemahkan dari bahasa Rusia oleh:

Ladinata

Judul asli: Poet

Sumber: M. Gorky, Izbranneye Proizvedeniya Tom Pervey (1892-1904) halaman

214-222

Penerbit: Khudozhestvennaya Literatura, Moskwa, 1968

[1] Pazhaluite adalah bentuk permintaan sangat sopan. Artinya kurang lebih: silahkan masuk

[2] Sebutan untuk seorang gadis, pada jaman kekaisaran sebutan untuk perempuan muda ningrat

[3] Shura nama panggilan sehari-hari, dari nama Alexandra

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun