Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Sepele

Selanjutnya

Tutup

Politik

Diskresi Ahok, Siapa Dipalak Siapa Untung

24 Mei 2016   17:35 Diperbarui: 24 Mei 2016   17:42 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sugianto Kusuma alias Aguan (kiri), bos raksasa properti Agung Sedayu Group -induk usaha PT Agung Podomoro Land- dan Sunny Tanuwidjaja (kanan) Foto: Tempo

Sebelum menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi, Ahok membuat perjanjian dengan empat pengembang. Perjanjian tertuang dalam Berita Acara Rapat Pembahasan Kontribusi Tambahan tertanggal 18 Maret 2014. Para pengembang itu ialah PT MWS (anak perusahaan Agung Podomoro Land/APL), PT Jakpro (BUMD milik Pemprov DKI), PT THI, dan PT JKP. Sebagaimana disebutkan pada poin (2) dalam Berita Acara bahwasanya terdapat kesepakatan pengadaan proyek pembangunan yang diperhitungkan sebagai kewajiban (Baca: kontribusi) tambahan izin prinsip dan pelaksanaan reklamasi bagi mereka. 

Artinya, Ahok menjanjikan izin reklamasi kepada pengembang. Ini merupakan pelanggaran karena kepastian terbitnya izin pelaksanaan reklamasi ditentukan berdasar terpenuhinya persyaratan teknis dan administratif sejak dikeluarkannya izin prinsip. Izin prinsip pada dasarnya hanyalah izin pemanfaatan ruang usaha yang diikuti dengan izin reklamasi yang telah dimanatkan dalam UU No. 27 tahun 2007 jo UU No. 1 tahun 2014 berikut turunannya Perpres No. 122 tahun 2012.

Izin reklamasi yang dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan ialah izin lokasi dan pelaksanaan reklamasi. Selanjutnya, perizinan diatur secara terperinci dalam Permen Kelautan dan Perikanan No. 17/PERMEN-KP/2013 yang diubah dalam Permen KP No. 28/PERMEN-KP/2014. Dengan demikian, tidak dapat dikatakan bahwa kedudukan perjanjian “preman” Ahok dan pengembang itu legal meskipun diartikan sebuah diskresi. Sebelum mereka melakukan perjanjian, sudah berlaku peraturan perundang-undangan di tingkat pusat yang mengatur reklamasi.

Tidak ada kekosongan hukum yang mengakibatkan perlunya diskresi. Jika berdalih demi kepentingan umum dan urgensi, Pemprov DKI dapat mengajukan rencana proyek pembangunan melalui RAPBD Perubahan tahun 2014 atau RAPBD di tahun anggaran berikutnya . Tidak saja penggunaan anggaran dapat dipertanggungjawabkan, nilai kontribusi tambahan reklamasi tetap utuh. Sedangkan, proyek pembangunan dengan memakai dana swasta rawan kebocoran dan mark up. Pada posisi ini, pengembang diuntungkan dan negara dapat dirugikan. Alasannya:

Pertama. Nilai kontribusi tambahan tidak ditetapkan dengan pergub, tapi Ahok nekad membuat kesepakatan bersama pengembang. Karena itu, suatu saat mungkin terjadi dead lock apabila pengembang keberatan dan menolak besaran nilai yang ditentukan. Penolakan bisa berujung sengketa atau gugatan atas hasil proyek pembangunan yang disepakati dalam Berita Acara. 

Kedua. Perhitungan nilai pekerjaan dari proyek yang dibebankan kepada pengembang dilakukan oleh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) sesuai dengan hasil kesepakatan poin (3) dalam Berita Acara. Seharusnya penilaian pekerjaan melibatkan BPKP dan BPK Perwakilan Jakarta, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara institusional dan konstitusional. Sebab, pembangunan yang dibebankan kepada pengembang akan menjadi aset daerah atau bagian dari penerimaan negara. Selain itu, proyek reklamasi adalah proyek nasional yang bersifat strategis. Jakarta termasuk Kawasan Strategis Nasional sesuai PP No. 26 tahun 2008.

Ketiga. Tidak ada sistem audit anggaran operasional pengembang untuk melacak kepastian jumlah biaya proyek pembangunan. Keterbatasan pengawasan dalam internal perusahaan menyebabkan peluang penggelembungan biaya proyek dan manipulasi bahan bangunan. Tim penilai dari Pemprov DKI sekadar melihat hasil jadi dan mengabaikan proses pembangunannya. Padahal, nilai proyek/bangunan dipengaruhi oleh besaran biaya pembangunan yang dilaporkan oleh pengembang.

Keempat. Nilai proyek pengembang tidak sepadan dengan dasar perhitungan nilai kontribusi tambahan reklamasi. Nilai proyek di daratan itu lebih tinggi daripada di pulau reklamasi karena perbedaan klasifikasi bangunan dan NJOP kendati biaya pembangunannya sama besar. NJOP tanah dan bangunan di pulau reklamasi baru bisa ditetapkan jika raperda reklamasi selesai. Tapi, DPRD DKI menghentikan pembahasannya. Akibatnya, terbuka juga peluang untuk memanipulasi perhitungan NJOP serendah-rendahnya.

Contoh:

Proyek Rusun Daan Mogot yang dibebankan kepada PT MWS. Nilai jual lahan dan bangunannya sangat tinggi dan mampu menutup nilai kontribusi dari berkali-kali lipat luas area lahan saleable di pulau G.

Padahal, rusun itu diminta oleh Jokowi sebagai bagian dari kewajiban pengembang Agung Podomoro untuk membuat fasilitas umum dan khusus. Ia pun sempat meninjau ke area proyek Rusun Daan Mogot (7/3/2014) -Kompas.com. Diketahui, PT APL masih berhutang kepada Pemprov DKI dari setiap area properti yang dijualnya dimana 20% dari total lahan itu dikonversikan untuk membangun rumah susun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun