Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Sepele

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gugatan Reklamasi: Pertimbangan Hakim yang Kalahkan Ahok

1 Juni 2016   20:15 Diperbarui: 1 Juni 2016   20:35 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kreativitas dan kritik sosial bertema

Selasa (31/5) menjadi catatan sejarah dimana keadilan masih punya tempat di republik ini. Kendati keraguan akan penegakan hukum memuncak pasca terbongkarnya skandal pengaturan perkara di MA, rakyat mesti optimis dan kebenaran patut diperjuangkan. Penyelenggara negara harus mawas diri bahwasanya Indonesia dibangun bukan dari, oleh, dan untuk segelintir kepentingan. Sehubungan dengan peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni, seluruh komponen bangsa kembali diingatkan betapa pentingnya Sila ke-5 tentang Keadilan Sosial.

Putusan Hakim Adhi Budhi Sulistyo pada pengadilan TUN tingkat pertama di Jakarta kemarin adalah refleksi yang tepat bagi pemerintah untuk menjalankan roda pembangunan. Masyarakat wajib dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan publik. Sejak reformasi, setiap kebijakan pemerintah diwajibkan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik (accountable). Kebijakan tidak lagi layak dinegosiasikan secara eksklusif dengan mengabaikan aspirasi masyarakat.

Di sisi lain, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengakui telah menjalin kesepakatan bersama empat pengembang tanggal 18 Maret 2014. Kesepakatan atau perjanjian itu seputar perizinan reklamasi yang mensyaratkan kontribusi tambahan yang wajib dipenuhi oleh pengembang. Namun, publik khususnya masyarakat yang terdampak reklamasi sama sekali tidak mengetahuinya. Pemprov DKI tidak melakukan sosialisasi baik sebelum maupun sesudah terbitnya SK izin pelaksanaan reklamasi kepada warga pesisir Jakarta.

Berikut ini garis besar pertimbangan Hakim PTUN dalam amar putusannya, sehingga memerintahkan pihak Tergugat Gubernur DKI Jakarta untuk mencabut Keputusan No. 2238 tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT. Muara Wisesa Samudra tertanggal 23 Desember 2014:

1. Sebagaimana dipaparkan di atas, hakim memandang bahwa penerbitan izin pelaksanaan reklamasi tidak partisipatif, transparan, dan tidak sejalan dengan prinsip pembangunan;

2. Izin pelaksanaan reklamasi atas Pulau G bertentangan dengan ketentuan pada Pasal 31 dan 39 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Perencanaan reklamasi tidak didahului dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS);

3. Pemprov DKI dan pengembang tidak melibatkan masyarakat dan organisasi lingkungan hidup sebagai pihak yang turut menilai AMDAL. Penerbitan izin lingkungan tidak sesuai prosedur karena tidak diumumkan lewat media yang mudah diakses oleh masyarakat;

4. Reklamasi menimbulkan potensi kerusakan lingkungan hidup yang perlu diantisipasi dengan kajian atau penelitian ilmiah. Pemerintah tidak mampu memastikan dampak proyek reklamasi terhadap lingkungan hidup, tetapi kerusakan yang diakibatkannya terlihat;

5. Proyek reklamasi mengakibatkan kerugian berupa hilangnya sumber penghidupan para nelayan dan menimbulkan dampak sosial ekonomi;

6. Izin reklamasi mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 dan UU Nomor 1 Tahun 2014 berikut turunannya Perpres 122 tahun 2012;

7. Izin pelaksanaan reklamasi tidak sesuai dengan prosedur karena tidak didahului dengan perencanaan ruang yaitu Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K);

8. Proyek reklamasi mengganggu obyek vital nasional seperti saluran kabel PLN dan pipa gas bawah laut;

9. Proyek reklamasi tidak sesuai dengan semangat UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum. Reklamasi merupakan kepentingan bisnis semata.

Menyikapi putusan PTUN tersebut, Ahok sempat ingkar dan menggagas untuk mengalihkan izin reklamasi kepada BUMD DKI PT Jakpro. Ia ingin meneruskan pelaksanaan reklamasi. Tapi, akhirnya hari ini (1/6) ia menyatakan mematuhi putusan hukum untuk menghentikan reklamasi hingga putusan yang berkekuatan hukum tetap (incraht). Untuk itu, Pemprov DKI akan mengajukan banding.

Kepala Biro Hukum DKI Yayan Yuhanah sependapat dengan Basuki (Ahok). Menurut dia, putusan hakim memakai penafsiran hukum berbeda. Hakim mendasarkan putusannya pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, sementara pemerintah memakai Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 sebagai dasar pemberian izin Pulau G. “Kami segera melakukan banding,” katanya -Tempo (1/6).

Upaya banding dan kasasi dalam proses pengadilan tata usaha negara boleh saja dilakukan oleh Pemprov DKI, tapi beberapa hal luput dari pemahaman Biro Hukum dan Ahok. Kekeliruan yang sama pernah disampaikan oleh Ahok ketika berseteru dengan Menteri KKP, Susi Pudjiastuti. Ia menyebut Peraturan Menteri tidak dapat mengalahkan Keppres.

Padahal, Permen-KP No. 17 tahun 2013 yang diubah dengan Permen-KP No. 28 tahun 2014 adalah peraturan perundang-undangan yang menindaklanjuti kewenangan atributif Menteri KKP dalam UU No. 27 tahun 2007 jo UU No. 1 tahun 2014. Status kewenangan atributif berada di atas kewenangan delegasi yang diberikan kepada Gubernur DKI. Sedari awal Ahok seharusnya berkoordinasi dengan pemerintah pusat, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan sebelum menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi.

Apabila memperhitungkan riwayat kasasi di MA tahun 2003 saat Menteri KLH memenangkan gugatan terhadap Pemprov DKI, analisis mengenai dampak lingkungan reklamasi tidak layak karena gagal menjawab empat persoalan yang berdampak signifikan.

”Pertama, tanah yang akan dipakai menguruk adalah tanah resapan air. Kedua, jika areal reklamasi menjadi kawasan permukiman, dari mana kebutuhan air penduduknya akan dipenuhi. Ketiga, reklamasi akan mengganggu sirkulasi air pendingin PLN Muara Karang. Keempat, soal pengendalian banjir,” kata Gusti Muhammad Hatta –Kompas (28/7/2010).

Fauzi Bowo yang kala itu menjabat gubernur menganggap putusan MA tidak melarang reklamasi. Komisi VII kemudian merekomendasikan perencanaan reklamasi diulang dengan mempertimbangkan perlindungan lingkungan hidup dan KLHS. Pengembang lalu mengajukan PK atas putusan MA yang memenangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan dikabulkan pada tahun 2011. Selanjutnya, Kepmen LH No. 14 tahun 2003 dicabut dan tidak berlaku.

Kini, kondisinya berbeda karena penambahan pulau reklamasi di Teluk Jakarta berdampak luas bagi warga pesisir serta lingkungan hidup. Tidak saja mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat; proyek reklamasi ternyata sarat dengan kepentingan bisnis yang berujung tindak pidana korupsi. Selain itu, tata peraturan perundang-undangan cukup lengkap dengan adanya UU No. 32 tahun 2009 dan UU No. 27 tahun 2007 sebagaimana diubah dengan UU No. 1 tahun 2014. Putusan Hakim PTUN Jakarta (31/5) yang berani memerintahkan penghentian kegiatan reklamasi pun dapat menjadi pertimbangan majelis hakim di tingkat banding dan kasasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun