Mohon tunggu...
Muhammad Labib Syauqi
Muhammad Labib Syauqi Mohon Tunggu... Dosen - Pursuit of Happines

Pecinta Pengetahuan, Penikmat Seni dan Olahraga..

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Popularitas Guru Virtual Bernama Pak GPT

3 Maret 2023   09:49 Diperbarui: 3 Maret 2023   10:10 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto; https://www.ispasearch.net/emotional-intelligence/

Perubahan meniscayakan suatu keberlanjutan, bahwa di antara yang bisa menjaga keberlangsungan dunia dan kehidupan adalah sebuah perubahan ‘continuity throught the changes’. Jika kita hendak hidup dalam dunia ini maka harus terus berinovasi dan bergerak secara dinamis. Pepatah arab mengatakan ‘al-Harakah Barakah’ kesuksesan itu dicapai dengan menjaga konsistensi produktifitas dalam aktifitas kita. Berdiam diri atau bahkan menolak gerak perubahan akan tergilas oleh besarnya energi massa perubahan yang tak ayal akan ‘membunuh’ kita. Maka, pilihannya adalah bersinergi dengan perubahan zaman dan mewarnainya sesuai dengan karakter kita.

Dalam menjaga gerak dinamis dalam keberlangsunagn dunia, banyak penemuan besar yang memberi dampak perubahan besar dalam kehidupan kita. Sebut saja listrik, kemudian ada juga internet dalam dunia modern. Internet memberikan dampak besar dalam perubahan dunia ini, yang menjangkiti hampir ke semua lini kehidupan tak terkecuali dalam beragama dan praktek keagamaan. Banyaknya transaksi muamalah yang serba online sampai ijab qabul nikah dilaksanakan dengan online. Mulai pesantren yang virtual sampai guru virtual. Yang disebut terakhir ini sedang marak menjadi bunga pembicaraan.

Guru virtual bukan diartikan dengan seseorang guru yang mengajar melalui media online, karena model ini menurut saya tidak ada masalah, karena kita belajar kepada seorang yang jelas ada dan bisa dirujuk personalnya hanya saja menggunakan media online, akan tetapi trend yang berkembang terdapat guru virtual alias tidak nyata personalnya, gurunya adalah robot. Mbah Gugel ini sangat poluler dan dikenal tahu akan segala hal, bahkan ketika kita mengetik sesuatu yang salah-pun, dia tahu bahwa itu salah dan akan mencoba membenarkannya.

Pasca Mbah Gugel, baru-baru ini muncul guru virtual yang menghebohkan yaitu Chat GPT yang dikembangkan oleh Open AI. Jika Mbah Gugel dirasa masih seperti mesin-mesin lainnya, yang hanya menyajikan informasi mentah yang masih perlu diolah serta tidak ada sisi komunikasinya, maka Chat GPT ini dirasa lebih hidup karena kita seakan berkomunikasi dengan seseorang, seperti kita sedang chatting dan ngobrol dengan seorang teman diujung sana, dia menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan data yang sudah matang, sehingga bisa kita langsung telan.

Lahirnya Chat GPT yang masih baru ini, ibarat anak manusia dia masih bayi, akan tetapi dia menunjukkan potensi kecerdasan yang luar biasa. Dengan versi gratisnya saja yang sekarang, kita bisa menanyakan segala hal dan melakukan banyak hal dengan itu. Mulai dari menjawab pertanyaan ujian, membuat rumus progamming serta membuat karya tulis ilmiah. Saking hebatnya, beberapa tempat atau otoritas kampus tertentu telah melarang mahasiswanya menggunakan Chat GPT ini atau bahkan memblokirnya.

Apakah Chat GPT layak kita jadikan sebagai Guru? Yang akan menggantikan fungsi dan tugas para profesor dan para pengajar di lembaga pendidikan? Sekilas jika kita menelaah syair dalam kitab Ta’līm al-Mutaallim yang menerangkan syarat-syarat penunjang keberhasilan sebuah proses belajar mengajar ada 5; pertama adalah peserta didik harus cerdik dan cerdas dalam menerima sebuah informasi dan ilmu. Kedua, pelajar harus mempunyai semangat juang dan cita-cita yang terus dilambungkan agar terus memberikan motivasi positif dalam proses belajarnya, ketiga haruslah mengikuti proses dan bersabar dengan semua proses yang dijalani, tabah terhadap berbagai ujian dan cobaan, keempat mempunyai bekal baik material berupa uang yang digunakan untuk membeli buku dan fasilitas penunjang lain, maupun bekal immaterial berupa semangat dan optimisme, kelima yaitu memiliki dan memilih guru yang cerdas dan tepat, dan keenam adalah butuh proses yang tidaklah sebentar, karena tidak ada ilmu yang instan, karena setiap hal yang instan itu tidak baik.

Syarat seorang pengajar atau guru disitu adalah pintar dan cerdas, supaya bisa menjadikan muridnya juga menjadi pintar dan cerdas, guru yang cerdas mampu mentransfer pengetahuan (transfer knowledge) kepada muridnya. Jika hanya itu tugas seorang guru, maka Chat GPT punya banyak data yang bisa dibagikan, memiliki simpanan knowledge yang tidaklah sedikit. Lalu cukupkan kita belajar pada Artificial Intelligence seperti Chat GPT dan lainnya? Bagi sebagian orang mungkin akan mengambil jalan pintas itu, akan tetapi robot tetaplah mesin yang tidak memiliki perasaan, tidak akan peduli pada kejiwaan dan perasaan penggunanya.

Tentunya, artificial intelligence ini harus dipadukan dengan kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) serta kecerdasan religius (Religional Intelligence), karena belajar mengajar itu tidak hanya soal transfer of knowledge saja, akan tetapi lebih dari itu belajar mengajat merupakan transfer of skill dan transfer of values. Dengan kecerdasan emosional kita bisa mentransfer kecakapan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pelajar, kita tidak akan memaksakan suatu pengetahuan yang memang belum waktunya untuk mereka fahami, dan dengan kecerdasan religius kita bisa mentransfer nilai dan etika untuk apa ilmu pengetahuan itu akan digunakan dan dimanfaatkan serta sampai sejauh mana pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam diri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun