Mohon tunggu...
Muhammad Labib Syauqi
Muhammad Labib Syauqi Mohon Tunggu... Dosen - Pursuit of Happines

Pecinta Pengetahuan, Penikmat Seni dan Olahraga..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemetaan Metodologi Serta Corak Tafsir dalam al-Qur’an

29 Februari 2012   19:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:43 1605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : Muhammad Labib Syauqie

Dalam sejarah perkembangan penafsiran al-Qur’an, banyak sekali metode yang berkembang seiring dengan perkembangan peradaban dan juga perkembangan ilmu pengetahuan waktu demi waktu.

Begitu juga dengan berbagai corak penafsiran yang ada saat ini adalah buah perjalanan panjang sejarah peradaban Islam. Karena tersebar luasnya dan bertemunya beraneka budaya yang ada, di tengah-tengah pesatnya perkembangan ilmu dan budaya waktu itu, dimana gerakan penerjemahan tumbuh dan giat dilaksanakan setidaknya di masa dinasti Bani Abbasiyah. Berbagai sumber perbendaharaan ilmu digali dan aneka macam pustaka diterjemahkan. Maka dari sinilah muncul berbagai corak penafsiran yang ada sekarang.

Metodologi tafsir dalam al-Qur’an dan pengelompokan pada berbagai bentuknya sebenarnya tidak ada batasan secara resmi dan paten. Karena metode penafsiran dan corak-corak yang ada lebih dulu muncul dari pada klasifikasi serta pengelompokan yang ada. Jadi para mufassir terdahulu menafsirkan al-Qur’an menurut kapasitas keilmuan, motifasi dan keinginan mereka sendiri bukan menurut metode dan pengelompokan yang ada kemudian. Akan tetapi, setelah itu para ulama khalaf yang direpresentasikan oleh al-Farmawi mulai mengkategorikan metode tafsir menjadi empat yaitu Tahlili, Ijmali, Muqarin, dan Maudlu’i.

Namun jika dilihat dari sudut pandang yang sedikit berbeda, maka pengelompokkan metodologi penafsiran dapat dibedakan jika dilihat menurut intensitas penafsiran, menurut sumber yang digunakan, menurut langkah-langkah yang ditempuh, dan juga warna atau corak penafsiran.

I. Adapun metodologi tafsir dalam al-Qur’an jika dilihat dari segi intensitas mufassir dalam menafsirkan dapat kita kategorikan menjadi dua, yaitu Tahlili dan Ijmali.


  1. Tahlili (Analitik)

Metode Tahlili adalah metode tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Metode ini disebut juga dengan Tajzi’i. Metode ini dianggap metode yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan dalam mushaf Al-Qur'an. Kemudian menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.

Ada juga yang mengatakan bahwa metode Tahlili bisa dilihat dari kedalaman analisa oleh mufassir itu. Kalau analisa yang digunakan oleh mufassir cukup mendalam, maka dikatakan Tahlili. Dan jika analisa yang digunakan oleh mufassir itu sedikit dan kurang mendalam maka disebut Ijmali.

Kelebihan metode ini adalah :

1.Dapat meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Qur'an.

2.Dapat mengeksplorasi kandungan ayat secara maksimal.

3.Dapat menghasilkan gagasan yang beraneka ragam.

4.Dapat mengetahui dengan mudah tafsir suatu ayat atau surat.

5.Mudah mengetahui relevansi atau munasabah antara satu ayat dengan ayat yang lain, atau satu surat dengan surat yang lain.

Kelemahan metode ini adalah :


  1. Bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang dialami oleh masyarakat mereka.
  2. Menghasilkan gagasan yang parsial sehingga sulit menangkap pesan pokok pada ayat yang ditafsirkan.
  3. Metode ini terkadang terlalu panjang lebar, sehingga sulit ditangkap maksud yang ingin disampaikan dan bahkan kadang tidak menyentuh kandungan yang diinginkan.
  4. Terkesan adanya peanfsiran yang berulang-ulang, terutama pada ayat yang mempunyai tema yang sama.
  5. Faktor subyektifitas yang sulit dihindari, misalnya ada ayat yang ditafsirkan dalam rangka membenarkan pendapatnya.
  6. Bahsan-bahasannya dirasakan mengikat pada generasi berikutnya.
  7. Masuknya berita-berita Isro’iliyyat.

Contoh kitab tafsir yang menggunakan metode Tahlili adalah banyak sekali, dan sekedar menyebutkan diantaranya : Tafsir karya al-Alusi, Tafsir karya Fahruddin al-Razi, Tafsir karya al-Thabari, Tafsir karya al-Naisaburi dan juga Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan as-Suyuthi,


  1. Ijmali (Global)

Metode Ijmali adalah suatu metode tafsir yang berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Dalam menyajikan makna-makna ini mufassir menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari al-Qur’an sendiri dengan menambahkan kata-kata penghubung sehingga memberi kemudahan pada para pembaca untuk memahaminya.

Keistimewaan metode ini adalah :

1.Kemudahannya untuk difahami, sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata.

2.Bebas dari berita-berita Isro’iliyyat

3.Metode ini dianggap akrab dengan bahasa al-Qur’an, karna kelugasan dan kesederhanaan bahsanya.

Kelemahan metode ini :

1.penjelasannya yang terlalu ringkas dan global sehingga terkadang tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.

2.Menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial.

3.Tidak ada ruang untuk memberikan uraian atau pembahasan yang memadai sesuai dengan keahlian para mufassir.

Adapun contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini : Tafsir al-Qur’an Karim karya Muhammad Farid Wajdi, Tafsir al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyat, Taj al-Tafsir karya Muhammad Utsman al-Mirghani.

II. Metodologi tafsir dalam al-Qur’an jika dilihat dari segi langkah-langkah mufassir dalam menafsirkan dapat kita kategorikan menjadi dua, yaitu Muqarin dan Maudlu’I (Tematik).

A.Muqarin

Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.

B.Maudlu’I (Tematik)

Metode Maudlu’i adalah metode tafsir yang berusaha menafsirkan al-Qur’an secara integral dan komprehensif mengenai tema tertentu, dengan mengambil berbagai ayat yang terkait dengan tema tersebut dari seluruh rangkaian ayat atau dari sebuah surat dari surat-surat yang ada dalam al-Qur’an. Dan ada juga yang mendeskripsikan dengan suatu metode panafsiran yang menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang berbicara tentang suatu tema, serta mengarah pada satu pengertian dan tujuan. Kemudian baru dikaji keseluruhan seginya, sehingga satu tema dapat dibahas tuntas.

Kelebihan metode ini :


  1. Merupakan cara yang efektif untuk menggali hidayah al-Qur’an.
  2. Memberikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan kehidupan sosial.
  3. Merupakan jalan termudah dalam merasakan fasahat dan balaghah al-Qur’an.
  4. Metode ini lebih tuntas dalam membahas suatu permasalahan.

Kelemahan metode ini :


  1. Pembahasannya cenderung parsial dan tidak menyeluruh.
  2. Dalam penafsirannya, seringkali subyektifitas mufassir terlalu jauh.

Adapun contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah : Min Huda al-Qur’an karya Mahmud Syaltut, al-Ma’rifah fi al-Qur’an karya Abbas mahmud al-Aqqad, al-Aqidah fi al-Qur’an karya Muhammad abu Zahrah.

III. Tafsir dalam al-Qur’an jika dilihat dari segi sumber yang digunakan mufassir dalam menafsirkan dapat kita kategorikan menjadi dua, yaitu Bi al-Ra’yi dan Bi al-Riwayah.

A.Bi al-Riwayah

Tafsir bi al-Riwayah adalah penafsiran ayat Qur’an dengan menggunakan ayat Qur’an, penafsiran ayat dengan hadis Nabi, penafsiran ayat dengan hasil ijtihat para sahabat, atau penafsiran ayat dengan ijtihat para tabi’in, yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit untuk dipahami. Atau dalam pengertian lain adalah tafsir yang mengutip pendapat orang lain.

Kelebihan metode ini :


  1. Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah sumber tafsir terunggul dibanding dengan metode lainnya.
  2. Tafsir al-Qur’an dengan Sunnah Rasul adalah istimewa karena Rasulullah adalah yang menerima wahyu tersebut, maka beliaulah yang lebih mengerti tentang makna dan maksud ayat al-Qur’an tersebut.
  3. Tafsir al-Qur’an dengan ucapan sahabat dianggap bisa dipertanggung jawabkan, karna mereka menyaksikan al-Qur’an diturunkan dan mengetahui kondisi sosiokultural saat al-Qur’an diturunkan
  4. Tafsir al-Qur’an dengan pendapat tabi’in dianggap bisa diterima, karena mereka belajar dari para sahabat Nabi.

Kelemahan Metode ini :


  1. Masuknya cerita-cerita Isro’iliyyat
  2. Dihilangkannya mata rantai (sanad) hadis.
  3. Banyaknya riwayat-riwayat palsu yang terkadang dipakai.
  4. Banyaknya riwayat hadis-hadis sahih yang bercampur dengan riwayat-riwayat hadis yang tidak sahih.

Contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah : Jami’ul Bayan fi Tafsiril al-Qur’an karya Ibnu Jarir al-Thabari, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibnu Katsir, Al-Durr al-Mantsur karya al-Suyuthi.

B.Bi al-Ra’yi

Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang dilakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak dalam suatu penafsiran, atau dengan ijtihad, setelah seorang mufassir menguasai seluk-beluk bahasa arab, asbab an-nuzul, nasikh mansukh dan hal-hal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir. Dalam pengertian lain tafsir bi al-Ra’yi adalah tafsir yang tidak mengutip pendapat dari orang lain.

Karena penafsiran yang menggunakan metode ini menitikberaktkan pada hasil pemikiran seorang mufassir, maka para ulama membagi tafsir ini pada yang Mahmudah (terpuji) dan juga Madzmumah (tercela). Oleh karena itu tafsir yang menggunakan metode ini bisa diterima jika mufassirnya memenuhi persyaratan untuk menjadi seorang mufassir profesional, disamping itu juga menjauhi hal berikut ini :


  1. Menghindari sifat pasti, di mana seorang penafsir tanpa alasan mengklaim bahwa itulah yang dimaksudkan Allah.
  2. Tidak memaksa diri untuk memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah untuk mengetahuinya.
  3. Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu.
  4. Menghindari penafsiran yang bertujuan untuk menguatkan kepentingan madzhab atau golongan tertentu.

Kelebihan Metode ini :

1.Penafsirannya sering kali memuat berbagai ide dan memiliki ruang lingkup yang cukup luas.

2.Pembahasan terhadap suatu bidang keilmuan lebih fokus.

3.Penafsirannya lebih mampu untuk menjawab tantangan zaman.

Kelemahan metode ini :

1.Terjerumusnya sang mufassir dalam penafsiran yang bersifat subyektif.

2.Seringkali mengabaikan konteks turunnya ayat yang berisi uraian asbab an-nuzul, sisi kronologis, nasikh mansukh dan lain sebagainya.

Contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah : Mafatih al-Ghaib karya al-Fakh al-Razi, Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawi, Madaru al-Tanzil karya al-Nasafy.

Namun mengomentari hal ini, yaitu adanya pembagian tafsir bi al-Ra’yi dengan ada yang terpuji dan tercela serta menganggap tafsir bi al-Riwayah terpuji semua karna tidak adanya kalsifikasi itu, tentulah patut kita pertanyakan ulang.

Karena dasar pengelompokan tafsir menjadi tercela ataupun terpuji adalah subyektif juga, sehingga tidak menutup kemungkinan jika dalam tafsir bi al-Riwayah terdapat dua pembagian terpuji dan juga tercela, karna dalam tafsir bi al-Riwayah juga terdapat unsur subyektifitasnya, seperti pemilihan ayat atau riwayat yang dipilih untuk ditafsirkan, pemaknaan dan pemahaman terhadap teks, pembuatan kesimpulan, dan juga kontekstualisasi ayat tersebut dan banyak lagi hal-hal yang melibatkan subyektifitas penafsir. Karena tidak ada seorangpun yang mampu menangkap pesan obyektif dan makna kebenaran mutlak dari suatu teks kecuali Allah sendiri.

IV. Sedangkan tafsir dalam al-Qur’an jika dilihat dari segi corak penafsiran yang digunakan mufassir dalam menafsirkan dapat kita sebutkan setidaknya ada enam corak tafsir, yaitu corak Falsafi, Fiqhi, Ilmi, Lughawi, Adabi Ijtima’I, dan Isyari.

Latar belakang munculnya berbagai macam corak penafsiran adalah tatkala ilmu keislaman berkembang pesat, disaat para ulama telah menguasai berbagai disiplin ilmu, dan berbagai karya dari bermacam disiplin mulai bermunculan, maka karya tafsir juga ikut bermunculan sesuai dengan corak keilmuan yang dimiliki pengarangnya. Masing-masing penafsir mempunyai kecenderungan dan arah pembahasan tersendiri, maka timbullah berbagai corak penafsiran tersebut.


  1. Falsafi

Corak penafsiran falsafi muncul, karena masuknya ilmu filsafat yunani pada masa dinasti Bani Abbas seiring dengan semangat gerakan penterjemahan.

Tafsir Falsafi adalah tafsir yang banyak mengungkap sisi filsafat dalam al-Qur’an.

Kelemahan tafsir bercorak falsafi adalah karena tidak ada tafsir yang bercorak ini yang secara penuh menafsirkan al-Qur’an.

Contoh tafsir yang bercorak falsfi adalah Mafatih al-Ghaib karya al-Fakhr al-Razi.


  1. Fiqhi

Tafsir yang bercorak fighi muncul berbarengan dengan lahirnya tafsi bi al-Riwayah, yang sama-sama dinukil dari Nabi.

Corak tafsir ini terus tumbuh dan berkembang bersama dengan perkembangan semangat ijtihad. Hasilnya terus berkembang dan bertambah serta disebarluaskan dengan baik hingga munculnya berbagai madzhab fiqih

Contoh tafsir yang bercorak fiqhi adalah : Ahkam al-Qur’an karya al-Jasshos, Al-Jami’ Li al-Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi.


  1. Ilmi

Corak Penafsiran Ilmi ini timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul usaha-usaha penafsiran Al-Qur'an sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.

Penafsiran dengan menggunakan corak ini masih kontroversial dikalangan para ulama, ada yang menganggap penafsiran corak ilmi sebagi upaya untuk menyingkap makna ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an, namun ada juga yang menentang bahwa al-Qur’an tidak diturunkan untuk berbicara tentang teori ilmiah dan juga tentang fenomena alam.

Contoh tafsir yang bercorak ilmi adalah : Syekh Thanthawi Jauhari dengan kitab tafsirnya yang tebal, Sunnatullah al-Kauniyyah karya Ahmad al-Gharnawi, Riyadh al-Mukhtar karya Mukhtar al-Ghazi.


  1. Lughawi

Munculnya tafsir dengan corak ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur'an di bidang ini.

Tafsir Lughawi adalah corak tafsir yang memberikan pengertian dan analisa kebahasaan dari sisi kosakata, gramatika, dan balaghahnya.

Contoh tafsir dengan corak ini adalah tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli.


  1. Adabi Ijtima’i

Munculnya corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat,corak ini muncul sebagai usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah masyarakat berdasarkan petunjuk ayat-ayat.

Corak ini menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan dengan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan gaya bahasa yang lugas dan jelas, dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya al-Qur’an lalu mengaplikasikannya dalam tatanan sosial.

Contoh tafsir dengan corak ini adalah : Al-Manar karya Muhammad Abduh yang ditulis oleh Rasyid Ridla, Tafsir alQur’an al-Karim karya al-Maraghi, Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Syaltut.


  1. Isyari

Munculnya corak penafsiran Isyari adalah akibat dari munculnya gerakan-gerakan sufi, maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf yang berdasar pada intuisi isyarat ketuhanan.

Corak penafsiran ini dalam aktifitas tafsirnya berusaha menyingkap isyarat-isyarat suci dibalik ungkapan-ungkapan al-Qur’an serta mencurahkan padanya pengetahuan rabbani untuk mengetahui kandungan ayat al-Qur’an dengan cara riyadloh hati.

Al-Farmawi mensyaratkan beberapa hal dalam rangka diterimanya tafsir corak ini :


  1. Tidak bertentangan dengan dzahir ayat
  2. Terdapat syahid (dalil) syara’ yang menguatkannya
  3. Tidak bertentangan dengan syara’ dan juga akal sehat
  4. Mufassirnya tidak menganggap bahwa penafsirannya itu adalah satu-satunya tafsiran yang benar.

Contoh tafsir yang bercorak isyari adalah : Haqa’iq al-Tafsir karya al-Udzi al-Salmi, al-Bayan fi Haqa’iq al-Qur’an karya al-Syirazi.

Demikianlah ulasan singkat mengenai metodologi dalam penafsiran, ciri-ciri, kelebihan serta kekurangannya, semoga menjadi catatan dan pengertian kita, bahwasanya tafsir adalah tetap merupakan karya manusia biasa yang bisa saja keliru, mufassir dan pendapatnya lahir dalam suatu masyarakat serta lingkungan yang tidak dapat dipisahkan dengan mufassir tersebut, maka sebuah penafsiran serta pendapat dari seorang mufassir tidaklah kedap akan kritik.

Semoga dapat menjadi penyejuk dahaga bagi para musafir yang haus akan lautan ilmu al-Qur’an. Amin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun