Mohon tunggu...
Kyon Asma
Kyon Asma Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

saya hanya suka keyboard laptop.\r\nvisit my blog here ---> www.kyonsroom.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Ibu dan Anaknya yang Mengidap Kanker

23 Desember 2012   18:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:08 1344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13562874121710082100

Sumber : http://wthlove.blogspot.com/2011/05/mothers-day.html

Langit sudah gelap saat motorku kuparkirkan di teras rumah. Motor bapak yang biasa diparkir di samping motorku terlihat bertengker kokoh di depan pagar. Tidak biasa. Ada apa gerangan? Kulihat bapak keluar membawa tas jinjing besar dan sekantung merah besar.

“Apa itu, pak? Mau kemana?”

“Sepupumu dan tantemu akan bermalam di rumah sakit malam ini.” Jawab bapak padat sambil menaikkan kantongannya di motor bagian depan. Ia tampak kebingungan meletakkan tas jinjing satunya.

“Aku ikut, ya, pak?”

“Ah, tidak usah. Kamu baru pulang. Istirahat saja di rumah.”

Kulihat bapak yang masih memakai seragam kantornya lengkap. Tidak adil. Dia juga baru pulang, kok.

“Sudah, aku ikut saja, pak.” Tegasku sambil meraih tas jinjing dari tangan bapak dan langsung naik di boncengan motor. Bapak kekeh ingin melerai.

“Biar dia ikut saja.” Seru mama yang menyaksikan sejak tadi. “Pak, kalau tidak lekas sekarang bisa berabe. Jam 8 kunjungan udah gak boleh, loh.” Motor pun melaju. Kali ini aku ada di boncengannya. Perjalanan ke rumah sakit membutuhkan waktu 30 menit. Tas jinjing berbentuk balok itu benar-benar besar dan terpangku di tengah. Kupaksakan pantatku untuk dapat duduk normal tanpa disadari oleh bapak. Kubuka restleting tas itu dan menemukan beberapa daster dan jilbab tanteku. Ada peralatan makan dan sebuah alat mandi sepupuku juga. Di kantung kecil bagian depan tas itu restletingnya sudah rusak. Hanya ditutup dengan jalinan benang dan beberapa peniti besar seadanya. Tanpa kubuka pun ada robekan yang cukup luas hingga masih dapat memperlihatkan isinya yakni sabun dan sebuah odol.

“Pak, kok, tas kayak gini yang dibawa?”

“Itu tas yang disebutkan tantemu di telepon.”

“Bukannya tante itu banyak uang? Punya banyak motor dan tanah di kampung. Gak mungkin, kan alasannya gak punya uang buat beli tas yang lebih layak?” Tanyaku pada bapak semakin penasaran. Kuingat juga ketika pertama kali datang ke rumah kami tante hanya menggunakan sandal jepit dan pakaian seadanya. Padahal perjalanannya dari Selayar hingga Makassar membutuhkan waktu seharian. Sangat kontras dengan pakaian tanteku yang lain yang super, ehm, ‘menor’ padahal perjalanannya cuma sejam dua jam.

“Tidak semua orang nyaman dengan bergaya, nak.” Jawab bapak simpel. “Tantemu itu tidak peduli gaya. Di kampung kita itu tidak dibutuhkan.” Motor berbelok masuk ke parkiran rumah sakit. Paha dan pantatku sakit akibat tekanan dari tas besar yang kupangku. Begini, nih kalau maksa ngikut. Tapi, kasihan bapak kalau mengurus semuanya sendiri. Badannya pun sudah letih bekerja seharian.

Perjalanan menuju kamar sepupuku kami lanjutkan dengan bercanda ringan. Jalanan rumah sakit memang berbeda. Entah mengapa kelihatan mengerikan meski pada kondisi yang riuh. Pengunjung begitu banyak. Ramai juga rumah sakit ini. Maklum negeri. Semua pegawai negeri pasti dibawa ke sana.

Bapak berjalan agak miring mengangkat tas jinjing berbentuk balok yang berat itu. Kakinya memimpin kami menuju bangunan berlantai dua. Kami masuk. Hm, bau rumah sakit.. Tercium tajam aroma obat dan desinfektan dimana-mana. Kamar sepupuku di lantai dua. Mataku curi pandang ke beberapa kamar yang kami lewati. Di tiap lemari besi, kursi, tempat tidur, semua tertulis ‘THT’. Ah..benar. Ini tempat khusus pasien perawatan masalah THT. Persis seperti kakak sepupuku.

Kami tiba di bangsal tempat kakak sepupuku dirawat. Ruangannya terang. Tidak bau dan mengerikan seperti yang kebayangkan tentang ‘bangsal’ selama ini. Ruangan itu cukup luas untuk delapan pasien. Kuperhatikan satu persatu pasien. Mereka ada yang tua, ada pula yang masih seumuranku. Wajah mereka kusam. Semuanya didampingi keluarga. Ada yang sedang dikipas, ada yang mengaji, ada yang tidur, dan ada yang tidak memiliki kegiatan dan hanya mengamatiku dan bapak yang baru melangkah masuk. Mereka punya kesamaan. Mereka hitam legam dan berambut sangat tipis. Mungkin efek radiasi dan kemoterapi yang mereka terima selama pengobatan. Jadi, ini ruang khusus pengidap kanker? Dadaku sesak ketika melihat kembali keadaan mereka. Ruangan itu memiliki atmosfir yang sangat kuat. Atmosfir bertahan hidup. Atmosfir harapan hidup yang sangat besar. Aku malu pada diriku yang sehat.

Tak kusadari langkah bapak sudah berhenti di depan tempat tidur sepupuku. Mataku bertemu dengan tante. Ia duduk di lantai tepat di samping tempat tidur anaknya. Tanpa karpet. Di lantai dingin. Pakaiannya masih yang terakhir kulihat pagi tadi sebelum aku berangkat ke kampus. Ia berdiri seraya tersenyum kepadaku.

“Tante makan siang apa tadi?”

Tanteku tertawa kecil, “Tadi sempat makan, kok.” Tampaknya ia tidak makan tadi siang. Lagi. Beberapa kali ia melewatkan makannya akhir-akhir ini. Kelihatannya nafsu makannya sudah hilang.

“Ya sudah, sekarang tante makan malam, ya. Mama tadi buat udang goreng kesenangan tante.” Seruku beranjak mengeluarkan beberapa alat makan, “Nah, ini juga ada bubur buat kak Anto.” Lanjutku mengeluarkan sekotak bubur hangat.

Bapak sudah selesai membereskan karpet dan menyiapkan bantal untuk tempat tidur tanteku. Di samping bawah tempat tidur anaknya. Kami bertiga duduk teratur di karpet kecil itu. Bapak tampak menghibur tanteku. Kulirik sepupuku yang sedang berbaring. Ia hanya memakai sebuah sarung. Tubuhnya seperti terbakar. Sangat hitam dan kurus. Berbeda jauh dengan awal datangnya ia di rumahku. Ada dua infus di samping tempat tidurnya. Satunya berwarna merah muda, satunya bening. Beberapa hari ini dia tidak bisa lagi makan selain bubur. Lidahnya bengkak. Bengkak yang parah. Di samping bantalnya ada ember hitam. Sepupuku bangkit sedikit dan meludah di ember itu. Memang demikian. Dokter memang mengatakan efek dari kemoterapinya adalah mual dan salivasi, air liurnya banyak. Pemandangan ini sudah biasa kulihat sebulan terakhir.

Selama kunjungan aku hanya diam dan tersenyum. Tak banyak yang bisa kukatakan pada tante maupun sepupuku. Saat itu pikiranku sibuk. Bagian informasi sudah mengarahkan pengunjung untuk meninggalkan tempat. Setelah pamitan, aku dan bapak meninggalkan ruang khusus pengidap kanker THT itu.

Agaknya bapak menyadari diamku sejak tadi.

“Kenapa diam, nak?” Tanyanya akhirnya.

Aku menggeleng.

“Tantemu kuat, kan?”

Aku menoleh ke arah bapak. Bapak tersenyum membalas keherananku terhadap ungkapannya barusan.

“Beberapa tahun lalu, kakaknya Anto meninggal karena penyakit yang sama. Sayang terlambat ditangani. Kankernya sudah merambat ke otak. Baru sebulan lalu kita ke Selayar menyaksikan taksiah suaminya. Sekarang dia ada di Makassar menjaga anaknya yang sekarat akibat penyebab kematian anak pertamanya. Dia kuat, kan?” Ucap bapak lirih.

Aku tertegun. Benar yang dikatakan bapak. Sosok tanteku itu kuat. Sangat kuat. Sosok yang kutahu selama ini. Ia adalah wanita pekerja keras. Ia yang bekerja mencari uang. Sehari-hari ia mengumpulkan semua hasil kebun orang kampung dan dibawanya ke kota Benteng di Selayar. Tanahnya banyak. Ternaknya banyak.

Wanita seperti tanteku seakan tidak membutuhkan laki-laki lagi. Mandiri. Mungkin sifat itulah yang membuatnya menjadi sosok yang tidak begitu kusukai. Ia sangat pelit. Beberapa kali bapakku, adiknya, ia remehkan. Bukan hanya bapak, melainkan juga orang di kampung. Dan sifat itulah yang kuanggap menurun pada anaknya yang sedang sakit sekarang. Sama pelitnya dan ditambah lagi dengan sifat sombong. Mungkin karena pendidikannya yang tinggi membuatnya dapat berbuat seenak jidat. Telah banyak orang yang menggelengkan kepala dan mengelus dada mereka karena dua sosok itu.

Di satu sisi, aku tidak senang dengan kedatangan mereka ke rumah kami. Namun di sisi lain, apa yang dapat mereka perbuat tanpa keluarga kami. Keluarga yang sering mereka lecehkan. Dulu.

Bila kuingat lagi tanteku, setiap makanan yang disediakan mama, tapi tidak dimakannya. Kuingat lagi wajah cemasnya beberapa waktu ketika anaknya dilarikan ke rumah sakit. Kuingat tangannya yang kugenggam selama malam taksiah di Selayar. Dingin. Sesekali ia menghapus air matanya saat memperhatikan ustad ceramah di depan semua warga waktu itu. Ternyata ia bisa bersedih. Bagaimana pun juga ia seorang wanita. Makhluk yang sangat rapuh. Aku yakin saat itu dan saat ini ia sedang dalam ketakutan. Ketakutan ditinggalkan.

“Nak, Tuhan punya cara yang unik untuk menyadarkan hambanya yang menyimpang. Mungkin sekarang mereka diuji agar sadar.” Aku masih diam. Pikiran dan perasaanku masih sibuk beradu.

Aku di belakang bapak sepanjang jalan menuju parkiran rumah sakit. Selama itu aku menatap punggungnya dalam. Hei, bapak, aku tidak habis pikir. Bagaimana bisa kau membuka lebar tanganmu untuk saudara yang telah menzalimimu selama ini. Aku saja yang hanya mengamati merasa sakit sampai sekarang. Bibir bawahku kugigit. Rasanya ingin kuteriakkan. Pak, lihat dirimu. Tidak hanya sebagai bapak yang mudah dibodohi oleh anak sendiri. Kau juga mudah diperguna oleh saudara dan keponakanmu! Aku tertunduk dan menahan air mataku.

Kurasakan tangan hangat bapak meraihku.

“Sedang apa, kamu? Ayo, cepat pulang. Mama tidak ada yang temani sejak pagi. Pasti kesepian, tuh. Hehe..” cengir bapak dan menarikku ke parkiran. Kali ini kami berjalan beriringan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun