Mohon tunggu...
Dian Herdiana
Dian Herdiana Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Kota Bandung

Mencari untuk lebih tahu

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sejarah Korupsi di Indonesia

30 Juli 2019   15:21 Diperbarui: 30 Juli 2019   15:32 13404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Korupsi dalam konteks sejarah Indonesia sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan beberapa referensi menyatakan korupsi sudah ada sejak jaman kerajaan nusantara melalui venalty of power, dimana kedudukan atau jabatan diperjualbelikan secara bebas kepada siapa saja yang mampu membayar (Retnowati & Utami, 2014). 

Pasca Indonesia merdeka korupsi dilakukan sejak dari era Orde Lama, era Orde Baru, hingga era Reformasi dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan indeks korupsi tertinggi di dunia (Kami, 2018). Tidak heran apabila sebagian kalangan sudah menganggap korupsi memiliki sifat lintas waktu/cross-temporal (Farrales dalam Thohari, 2011) dan menjelma menjadi sebuah budaya yang tidak bisa dipisahkan dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia (Junaidi & Patra, 2018; Ka`bah, 2007).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, pada era Orde Lama pemberantasan korupsi diatur dalam Peraturan Pemberantasan Korupsi No.Prt/PM-06/1957. Pada era Orde Baru pemberantasan korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada era Reformasi pemberantasan korupsi diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan, bahkan dibentuk pula lembaga anti korupsi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan pengadilan khusus tindak pidana korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum (Santoso, 2012). Tidak hanya itu, Indonesia bahkan sampai meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang anti korupsi (Muis, 2010; Santosa, 2015). Berbagai instrumen kebijakan pemberantasan korupsi yang ada tersebut menegaskan bahwa korupsi merupakan tindakan kejahatan dan kriminal yang luar biasa (extra ordinary crime), karena selain merugikan keuangan negara juga telah mengganggu jalannya birokrasi dan mempersulit terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih (Mark, 1994).

Realitasnya, ada kecenderungan semakin banyak peraturan perundang-undangan dibuat, maka semakin besar dan meluasnya korupsi yang dilakukan (Soemanto, Sudarto, & Sudarsana, 2014). Bahkan ada kecenderungan korupsi yang ada saat ini jauh lebih masif dibandingkan dengan era-era sebelumnya (Samad, 2017). Apabila di era Orde Baru korupsi dilakukan terkonsolidasi di level pemerintah pusat yang meliputi aspek politik dan pembangunan (Widjojanto, 2016; Widoyoko, 2011), pada era Reformasi korupsi telah terdesentralisasi ke daerah-daerah yang meliputi hampir seluruh aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bahkan, korupsi melibatkan oligarki elit lokal (Izziyana, 2016; Lestari, 2016), sehingga tidak heran banyak pejabat daerah beserta keluarganya terlibat kasus korupsi, seperti kasus Walikota Cilegon Tubagus Iman, kasus Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, kasus Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan masih banyak lagi (Kuswandi, 2018; Madia, 2018). Berbagai kasus tersebut menegaskan bahwa pelaku korupsi semakin banyak dan bersifat lokal, hal ini sejalan dengan pemahaman Rosidi (2009) yang menyatakan bahwa korupsi di era reformasi bukan berkurang, melainkan bertambah dan sudah merebak ke daerah-daerah.

Ironinya, korupsi pada era sekarang sudah sampai kepada stuktur pemerintahan terbawah, yaitu desa. Bahkan, korupsi di tingkat desa banyak terjadi ketika negara memberlakukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Indonesia, 2014), dimana desa diberikan kewenangan yang besar untuk menyusun dan melaksanakan pembangunan yang didalamnya disertai dana desa dengan jumlah yang cukup besar. Kondisi tersebut dijadikan kesempatan oleh kepala desa untuk korupsi, berdasarkan kepada data tahun 2018, setidaknya sudah ada 900 kepala desa yang terlibat korupsi dana desa dengan kerugian sebesar Rp. 40,6 milliar (Ihsanuddin, 2018; Pratomo, 2017), ditambah kasus korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dengan aparatur pemerintah desa yang jumlah setiap tahunnya mengalami kenaikan (Ayyubi, 2018; Dede, 2018).

Kasus korupsi di tingkat desa dalam realitasnya sudah direncanakan dari awal proses perencanaan pembangunan desa dengan cara baik itu menyusun program pembangunan yang sengaja akan memberikan peluang untuk bisa dikorupsi atau dengan cara menaikan anggaran biaya program dari yang semestinya. Hal ini menandakan bahwa korupsi di tingkat desa sudah menjadi sebuah perilaku terencana yang disusun secara terstruktur dan sistematis.

Dilihat dalam konteks perilaku, maka perilaku koruptif dipahami sebagai kecenderungan pandangan, sikap maupun keberpihakan terhadap tindakan korupsi dimana seseorang atau sekelompok orang secara sadar dan sengaja melakukan penyelewengan. Menurut Huntington (dalam Chaeruddin & Fadillah, 2009) korupsi merupakan perilaku menyimpang pejabat publik dari norma-norma yang diterima dan dianut oleh masyarakat dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan secara pribadi.

Sementara itu Klitgaard (2001) memberikan pengertian korupsi sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas resmi sebuah jabatan karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi, pemahaman tersebut diperkuat oleh Johnston (dalam Lubis & Scott, 1993) yang menyatakan pada tingkatnya yang mendasar, kurupsi merupakan bentuk penyalahgunaan peran dan sumber daya pemerintah untuk kepentingan pribadi.

Dari pemahaman ahli tersebut di atas, korupsi sebagai sebuah penyimpangan perilaku dapat dikonstruksikan sebagai: (1) tindakan menyimpang dari aturan atau norma, (2) adanya tindakan penyelewengan terhadap jabatan yang diberikan dan (3) adanya penerimaan manfaat, keuntungan atau penerimaan kelebihan suatu hal dari sumber yang tidak sah sebagai konsekuensi dari tindakan yang dilakukan.

Banyaknya kasus korupsi yang dilakukan setidaknya dikarenakan kepada 3 (tiga) faktor yang melatar belakanginya, yaitu: adanya tuntutan ekonomi, sifat tamak serta faktor lingkungan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat ahli yang menyatakan bahwa terdapat faktor internal dan faktor eksternal yang mendorong korupsi, faktor internal berupa desakan akan kebutuhan ekonomi (corruption by needs) dan adanya sikap tamak untuk memperkaya diri sendiri (corruption by greeds). Faktor eksternal berupa lingkungan yang mendukung, seperti sikap permisif masyarakat (Harahap, 2009). Dikaitkan dengan proses pembangunan desa, setidaknya terdapat 5 (lima) tahap yang rawan korupsi, yaitu: proses perencanaan, proses pertangungjawaban, proses monitoring dan evaluasi, proses pelaksanaan, proses pengadaan barang dan jasa (Sjafrina, Primayogha, & Ramadhana, 2017).

Didasarkan kepada permasalahan tersebut, maka perlu diupayakan pencegahan dan penangulangan korupsi di tingkat desa secara sistemik dan komprehensif. Hal ini didasarkan kepada pemahaman bahwa korupsi hakekatnya mengurangi kapasitas pemerintah desa secara simultan untuk menyusun dan melaksanakan pembangunan desa yang berakibat kepada tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi gagal diwujudkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun