Mohon tunggu...
Kutu Kata
Kutu Kata Mohon Tunggu... -

No comment

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dokter Jiwa Dan Pasiennya

11 Mei 2012   17:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:25 1192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang anak muda berrambut gimbal dan berpakaian kumal ada diketinggian tower listrik. Tangan kirinya memeluk erat tiang penyangga tower. Sedangkan tangan kanan nya asyik ber dag-dag ria, sambil sesekali jemarinya ditempelkan ke bibir,tanda kecupan. Duh, mesranya kemudian ber dag-dag lagi. Berteriak-teriak tapi suara nya ditelan deru angin dan riuh keramaian orang-orang yang menontonnya.

“Hoooi!, turun!, mau mati kamu ya!.” Teriak seorang bapak berkumis tebal yang gemas berkerumun di bawah tower.

“Huh!, dasar orang gila mau mati saja bikin heboh!.” Teriak seorang ibu gembrot sewot.

Orang-orang yang berkerumun dibawah, melongo sambil mulutnya menganga. Hati-hati, mulutnya bisa kemasukkan laler nanti. Dan giginya bisa kering nanti. Gara-gara “cumi” ; cucah mingkem, hehehehe.

Para kru TV O’on dan Metro Mini TV, sibuk meliput. Bak seorang selebriti, pemuda berrambut gimbal dan berpakaian kumal setelah lelah ber dag-dag pada udara. Kini ia ber dag-dag pada kamera yang menyorotnya. Dan sambil melemparkan senyum kuda nya ke arah reporter TV yang cantik-cantik.

Seperti biasa, petugas penyelamat selalu datang terlambat. Kalau cepat datang, cerita jadi gak seru. Dengan dipaksa oleh tiga orang petugas. Yang satu memegang kakinya, Yang kedua menjambak rambut gimbalnya, Yang ketiga meremas selangkangan nya.

“Auuu!.”

“Mau turun, gak?, kalau gak saya remukin nih?.” Ancam petugas ketiga.

Di ancam seperti itu. Pemuda berrambut gimbal itu kapok. Sedikit demi sedikit, akhirnya dia mau juga di tuntun untuk turun.

“Mas!, Mas kenapa naik ke tower listrik?, mau bunuh diri ya?.” Tanya seorang reporter TV.

“Kenapa Mas, tolong diceritakan dong Mas?.” Tanya reporter TV lainnya.

“Huuuuhhhhh!, Narsis banget lo!, Huuuuuuu … .” Teriak penonton yang sedari tadi cemas, akhirnya jadi kesal.

“Sorry, sorry, no comment… no comment!.” Sahut pemuda berrambut gimbal.

*****

Di ruang terapi, Ahli penyakit jiwa.

“Bagaimana, Dok?.” Tanya seorang ibu sedih. ”Apa nama penyakitnya, Dok?.”

Si pemuda berrambut gimbal itu cengengesan ke dokter dan ke sang ibu. “I miss her, Mom… I miss her, Dok!, hehehehe… “

“Too much love will kill you.” Kata Dokter itu kalem.

“Maksud nya Dok?.” Tanya ibu itu bingung.

*****

Sebagai terapis, Dokter ahli jiwa yang terkenal sampai sejagat. Akhirnya sang ibu menyerahkan kesembuhan anaknya pada Dokter jiwa itu. Tentu saja dengan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang tidak sebentar. Perlu kesungguhan dan modal yang besar untuk menyembuhkan penyakit gila.

Dengan terapi yang teratur, dari hari ke hari mulai tampak ada perubahan pada diri si pemuda itu. Rambutnya yang gimbal kini sudah di potong tipis, rambutnya yang ikal hitam itu member kesan macho. Tentu saja giginya pun sudah putih cemerlang, tidak berwarna warni. Pakaian nya sudah necis, tidak kumal seperti dulu. Bagi yang baru mengenalnya, tidak akan menyangka kalau pemuda cool itu dulunya adalah pasien penyakit jiwa.

*****

“Pa, jadi gak nganter Mama ke mall?.” Rajuk si Mama pada suaminya, si Dokter jiwa.

“Krukkkkuuuk, groook, kruuuuk kkkkuuuuk grook… .” Sang Dokter jiwa masih asyik bermain-main dengan “Susi Susanti”, burung Perkutut kesayangannya. Burung perkutut pemenang lomba nasional.

“Pa!.” Teriak si Mama.

“Eh, oh iya!.” Sang Dokter kaget, lalu membalikkan badannya kea rah istrinya. Tapi pikirannya masih pada “Susi Susanti” nya. Secepat kilat, Dokter jiwa itu bias mengendalikan suasana.

“Hei, Bro!, kamu bisa bawa mobil kan?.” Tanya Dokter jiwa pada si pemuda cool yang masih tenggelam pada lembaran-lembaran majalah wanita di teras rumahnya.

Pemuda yang dipanggil si Bro itu kaget sebentar, lalu menganggukkan kepalanya tanda bahwa ia bisa membawa mobil.

Matic, Bro mobilnya!.” Kata Dokter jiwa itu mengingatkan.

“No problem, it’s OK, Dok!.” Sahut si Bro, pemuda cool yang macho.

*****

Witing Tresno Jalaran Soko Kulino.

Pepatah di masyarakat jawa, tentang cinta yang (bisa) timbul karena kedekatan sehari-hari.

Cinta tidak memandang gila atau waras. Karena mencintai adalah sebuah kegilaan itu sendiri.

Begitu halusnya jerat asmara dalam memerangkap sang korban. Lebih halus dari jerat sang laba-laba dalam memerangkap korban lalu memangsanya puas.

Kedekatan antara si Bro dengan keluarga Dokter jiwa itu merupakan sebuah kedekatan yang wajar. Si Dokter jiwa yang terkenal sampai sejagat. Tidak cukup punya waktu buat kedua bidadarinya, yaitu si Mama, istrinya dan Agnes, putri tunggalnya.

Kedekatan yang bermula dari mobil matic si Dokter jiwa. “Susi Susanti” yang begitu menyita bahkan sudi memperkosa waktunya si Dokter jiwa. Ah, semua itu seperti sebuah skenario yang telah tersusun rapi dengan jalinan konflik yang penuh kejutan. Siapa yang menyangka akan berakhir seperti ini?. Apakah Tuhan si maha pembuat skenario hidup?. Apakah si Bro, pemuda cool yang dulunya gila telah merancang dan merekayasa semua ini?, Rasanya terlalu pintar buat ukuran otaknya si Bro sendiri.

Bukan hanya sang waktu. Dan juga bukan hanya matahari, atau bulan dan bintang-bintang yang menaungi susunan tata surya kita. Aliran darah kita adalah misteri. Desah napas kita pun misteri. Sebuah misteri adalah kesempurnaan dari kelemahan-kelemahan jiwa yang asyik diselimut nafsu. Nafsu manusiawi yang Tuhan lebih tahu dari manusia itu sendiri.

*****

“Apa. Kamu hamil?.” Tanya si Dokter jiwa marah pada Agnes, putrinya. “Siapa?, siapa lelaki bangsat itu!.”

“Papaaaa (teriak marah), dia sayangnya Agnes, dia bukan bangsat!.”

“Setan!, babi!, anjing!, bangsat!, hantu blau sekali pun, aku gak perduli!.” Teriak-teriak Dokter jiwa yang sudah tidak bisa menjadi tuan atas jiwanya sendiri.

“Sudahlah, Pa… jangan marah-marah begitu!, malu kan nanti dilihat tetangga.” Kata si Mama lembut.

“Kamu juga!.” Teriak si Dokter jiwa marah pada si Mama. “Gak becus ngurus anak!, hobinya ke mall melulu, ngabis-ngabisin duit gak karuan, huh, dasar perempuan sial!.”

“Papa tuh yang kegilaan sama “Susi Susanti”.” Sahut si Mama kesal. “Apa Papa punya waktu buat istri dan anak?, ngaca dong, Pa!.”

Si Bro, pemuda cool itu tidak berani memandangi pertengkaran keluarga itu. Ia diam, tekun menekuri motif keramik ruang tamu rumah dokter itu. Sebuah motif penuh misteri, sebuah lukisan alam yang absurd.

“Hei, Bro!, bawa matic itu, kita pergi dari neraka ini!.” Ajak si Dokter jiwa mengagetkan si Bro.

*****

Di puncak Pass, di sebuah ketinggian sambil memandang  jurang yang curam. Mobil matic si Dokter jiwa parkir disitu.

“Akan aku tembak, si lelaki bangsat itu!.” Kata Dokter jiwa pada si Bro.

“Dia yang sudah merusak rumah tanggaku!.” Kata Dokter itu lagi. Lagi-lagi, Bro cuma diam.

“Sebenarnya aku tidak percaya, kalau istriku sudah berselingkuh dengan lelaki itu!.”

“Dari gerak gerik dan tingkah lakunya yang seperti gadis ABG. Dan yang lebih jelas lagi dari BB an istriku dengan lelaki bangsat itu, yang pernah ku baca, begitu mesra dan seronok kata-katanya!.”

Berjam-jam si Dokter jiwa itu curhat dengan si Bro, pemuda cool bekas pasiennya.

*****

Si Dokter jiwa yang terkenal sampai sejagat kaget ketika dilihatnya di meja makan ada sepucuk surat dari putrinya.

Selain kepergian putrinya dengan lelaki bangsat itu, yang lebih mengagetkan si Dokter jiwa adalah isi surat yang menyatakan bahwa terpaksa putrinya pergi karena ia tidak rela lelaki kesayangannya di rebut oleh sang Mama.

Wajah si Dokter merah padam, kebakaran. Bukan hanya janggutnya tapi harga dirinya serasa di panggang di bara api menyala.

Sarapan susu dan roti panggangnya jadi terbengkalai. Si Mama bengong melihat suaminya bergegas terburu-buru meninggalkan meja makan.

Selang beberapa detik. Si Dokter sudah mengacung-acungkan pistolnya.

“Siapa?, Siapa lelaki bangsat itu?!.” Sambil si Dokter menodongkan pistol ke arah istrinya. “Ayo, ngaku!, ngaku saja!.”

“Papaaaa, sadar, Pa!, Papa ini kenapa?, kemasukan setan apa sih, Pa?.”

“Kamu yang setan!.”

Ditengah kecamuknya pertengkaran. Tiba-tiba Bi Isah tergopoh-gopoh, ngos-ngos an.

“Pak, Pak … si Susi, si Susi!.” Teriak Bi Isah.

“Hah!, kenapa si Susi?.”

“Celaka, Pak!, si Susi ikut mabur.”

“Apaaa?.” Teriak si Dokter jiwa kaget yang sangat.

Kali ini, ia benar-benar sudah tidak bisa menguasai jiwanya. Mungkin, ia sendiri kini tidak tahu, dimana lagi jiwanya bersemayam.

“Setaaaaannnn!.” Teriak si Dokter jiwa. Selalu kita lebih senang dan gampang sekali menyalahkan setan atas segala perbuatan nafsu kita sendiri.

Ditariknya picu pistol itu beberapa kali.

“Klik!, Klik!, Klik!.” Bunyi picu pistol yang ditarik.

“Mampus kau!, Mampus kau!, Mampus!, Mampus, hehehehehehe… .”

Si Mama yang ketakutan jadi bengong melihat, pistol tak berpeluru yang ditembakkan berkali-kali oleh si Dokter jiwa. Oh, Gusti, beruntung pistol itu lupa di isi peluru oleh suaminya. Kalau pistol itu terisi peluru, mungkin kejadiannya akan berbeda.

*****

Di sel rumah sakit jiwa, Cilendek, Bogor.

“Mampus kau!, Mampus kau!, dor!, dor!, mapus!, mampus!, hehehehehehe… .” Suara dari dalam sel rumah sakit jiwa.

“Susiiii, Sussssiiii Susanti, jangan pergiiiii!, sial!, sial, mampus kau!, mampus kau!.” Ketawa dan jeritan yang memilukan.

“Kenapa dia, Prof?.” Tanya Asisten, seorang mahasiswi psikologi semester terakhir bertanya kepada si Prof, seorang tenaga ahli di rumah sakit itu sekaligus dosen pembimbingnya.

“Biasa!, Too much love will kill you!.”

“Maksudnya, Prof?.”

“Hehehehe, gila karena cinta.” Jawab profesor itu kalem.

*****

Kutu Kata si Kutu Buku Rangkat, Dokter Jiwa Dan Pasiennya, 12052012)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun