Pada kasus demikian sering saya memberikan masukan dan menjelaskan bahwasanya hal-hal yang seperti itu sebaiknya jangan dilakukan, karena pola pikir dan karakter tiap orang berbeda-beda.
Ada yang langsung tidak suka ketika menerima pesan seperti itu, atau ada yang menganggap biasa karena memang faktor keterbiasaannya, atau mungkin ada yang tidak suka. Namun, ia tidak mengungkapkan kepada si pengirim pesan, karena tidak enak hati ataupun malu megungkapkannya.
Kedua contoh kasus tersebut mungkin pernah kalian rasakan, dengan latar belakang yang berbeda.Â
Tentu banyak respon yang berbeda-beda pula dari si pengirim pesan, ada respon langsung meminta maaf atau berkali-kali dinasehati baru mau meninta maaf, ataupun ada juga yang tidak ingin mengakui kesalahannya dengan berminta maaf.
Dewasa ini saya merespon ha-hal seperti itu dengan sebuah sarkasme. Ketika ada teman yang telah dinasehati dan berkali-kali pula meminta maaf. Namun kesalahann yang sama tetep diulangi dengan kata-kata tak pantas di tiap pesannya.
Kemudian cukup saya membalas dengan elegan. "Kalau kata "maaf" hanya sebuah retorika saja, atau hanya formalitas belaka saja. Di mana fungsi kata "memaafkan", yang ternyata hanya sia-sia belaka?"
Atau ketika kita menasehati seseorang dengan bahasa yang cukup sopan, kemudian responnya ialah "yaelah bahasa lu terlalu tinggi". Cukup kita balas dengan elegan pula "bukankah selera humormu lebih tinggi? dengan selalu mendiskreditkan orang lain melalui kacamata subjektifitasmu?"
Pada akhirnya komunikasi manusia dengan manusia lainnya melalui media sosial tidak bisa dilepaskan, interaksi antar pengguna aplikasi pun  berjalan tiap harinya.Â
Namun dewasanya seseorang bisa dilihat dari kebijakannya berkomunikasi dengan tidak menyinggung orang lain yang bisa meretakkan hubungan antar sesama.
Slipi, 6 Desember 2019
00:45 Wib