Pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan pemberlakuan enam paket stimulus ekonomi yang mulai efektif pada tanggal 5 Juni 2025, guna mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi nasional di tengah tekanan global dan pelemahan konsumsi domestik. (Antara, 4 Juni 2025)
Stimulus ekonomi senilai Rp 24 triliun atau setara USD 1,5 Milliar digelontorkan. Paket stimulus berisi diskon transportasi, subsidi upah, tol gratis, dan tambahan bantuan sosial menjelang liburan sekolah. Tujuannya menjaga pertumbuhan ekonomi setelah kwartal I yang hanya tumbuh 4,9%.
Dilihat dari kaca mata rakyat kecil, wong cilik yang berjibaku diantara inflasi harga pangan dan kebutuhan lain yang semakin mencekik leher, daya beli yang terus menurun, dan lapangan kerja yang makin sempit angka tersebut sangat mencolok dan memberi harapan besar untuk sebuah solusi instant.
Negara pun tampak hadir memberi Solusi (jangka pendek) dengan paket stimulus berisi diskon transportasi, subsidi upah, tol gratis, dan tambahan bantuan sosial menjelang liburan sekolah. Namun, di balik besarnya dana yang akan digelontorkan dan headline pemberitaan media massa, Ada pertanyaan mendasarnya seakan menggantung: Apakah kita sedang menyelamatkan ekonomi, atau sekadar menunda rasa sakitnya?
Membaca Arah Kebijakan Dari Kaca Mata Orang Awam
 Kebijakan pemerintah dengan paket stimulus ini merupakan bentuk kebijakan fiscal ekspensif jangka pendek untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap di atas 5 %; mengatasai penurunan konsumsi rumah tangga; menyerap dampak perlambatan global dan resiko geopolitik; dan mendorong belanja selama libur sekolah dan Idul Adha.
 Mungkin kebijakan paket stimulus ini merujuk pada Teori Ekonomo Keynesian, yang berakar dari pemikiran ekonom Inggris, John Maynard Keynes, dengan prinsip inti teorinya, "Dalam situasi krisis atau resesi, pasar tidak selalu mampu mengoreksi diri secara otomatis. Oleh karena itu, pemerintah harus campur tangan melalui peningkatan pengeluaran (belanja negara) untuk mendorong permintaan agregat (aggregate demand) dan mengurangi pengangguran." (Keynes,J.M, 1963,"The General Theory of Employment, Interest and Money") Â
 Keynes mengatakan, "The long run is a misleading guide to current affairs. In the long run we are all dead." Maksudnya: kita tidak bisa menunggu pasar membaik dengan sendirinya dalam jangka panjang, karena rakyat menderita sekarang. Maka, intervensi aktif pemerintah dibutuhkan untuk menyelamatkan ekonomi dalam jangka pendek.
Mengacu pada teori Keynesian, intervesi pemerintah ini dilakukan melalui; Peningkatan belanja negara (government spending), Subsidi langsung untuk mendorong aggregate demand, Penyediaan insentif agar konsumsi & produksi tetap bergulir.
Dengan mengaplikasi teori Keynesian dalam paket stimulus dengan penggelontoran dana sebesar Rp 24 Triliun mencerminkan pendekatan Keynesian Klasik, yaitu : Belanja negara naik lewat bansos beras, subsidi gaji, dan diskon transportasi. Permintaan agregat dinaikkan agar ekonomi tidak stagnan. Konsumsi masyarakat ditopang, meski investasi swasta dan ekspor sedang melemah.
Ketika Ekonomi Konsumtif Terjadi Berulang
Kebijakan ekonomi konsumtif seakan terus berulang sejak krisis pandemi, pola respon fiskal kita relatif sama. Bila kita mencoba mengkritisi dan bertanya dalam hati, Â "Kenapa kebijakan fiskal Indonesia cenderung "copy-paste"; berputar-putar pada pola jangka pendek yang konsumtif dalam merespons krisis atau perlambatan ekonomi?"