Perjumpaannya yang hanya selalu terjadi di tempat yang mulia. Masjid Al Aqsha. Bertegur sapa, menanyakan kabar berita dan seringnya memperkenalkan jamaah Indonesia yang kami bawa ziarah di tempat mulia ini, membuat kami bagaikan saudara. Saudara seiman yang mengemban amanah. Amanah dijalan yang berbeda, dengan tujuan sama. Mencari Ridho-Nya.
Menikmati sholat tahajud dalam waktu yang tersisa; di tempat yang mulia Masjid Al Aqsha; yang tidak setiap waktu kita dapat melakukannya; diantara doa-doa yang kupanjatkan kehadirat-Nya, ku sisipkan sebuah doa, Ya Robb… Ya Karim… dengan izin Mu, pertemukan kami dengan sahabat lama ku, Imam Masjid Al Aqsha. Tak lama kemudian Azan Subuh berkumandang….
Kami pun khusuk mendengarkan. Menjawab setiap kalimat yang ada di dalamnya. Berdoa sesudahnya. Dan melaksanakan dua rakaat sholat sunnah yang berfadilah Allah janjikan akan memberikan kekayaan dunia seisinya.
Ruang di Masjid Al Aqsha terasa hening. Masing-masing diri sibuk berdzikir sambil menunggu waktu Ikhomah. Detik berlalu berganti menit, tak lama terdengar seruan dalam bahasa Arab yang menandakan kedatangan Sang Imam. Seorang lelaki paruh baya, tinggi besar, berjubah dan bersurban putih melangkah pasti menuju Mihrab. Dialah Sang Imam, Syekh Ali Al Habbsy, orang yang sangat kunanti.
Kharisma dan wibawanya terasa membentuk aura positif diantara para jamaah. Membuahkan semangat dan gairah untuk beribadah. Ia memandang kesemua jamaah dengan senyumnya yang ramah. Tak lama, terdengarlah ikhomah. Jamaahpun bergerak membentuk barisan shaf dan merapatkannya sesuai perintah Imam, “luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan sholat”(HR.Bukhari No. 723 dan Muslim No.433).
Lurus dan rapat tanpa celah. Semua Jamaah taat menjalankan perintah. Mata ini melirik sekeliling ruang Masjid Al Aqsha. Mencoba menghitung dengan cepat berapa jumlah shaf yang ada. Ada rasa sedih. Masjid besar dan Mulia ini hanya dihiasi oleh tak lebih dari lima shaf. Ironis!! Bila membandingkannya dengan yang terjadi di Masjid Al Haram Makkah dan Masjid Nabawi Maddinah. Tapi, inilah yang terjadi.
Suara berat sang Imam mulai memimpin sholat. Suaranya berat namun syahdu. Melantunkan ayat-ayat suci Al Quran dengan Tartil dalam sholat subuh yang dingin dihembus angin Palestine. Hati dan jiwa ini larut dalam khusuknya sholat.
“Tabaarokallazi biyadihil-mulku wa huma ‘alaa kulli sya-ing qodir” ayat pertama surat Al Muk yang dibaca Sang Imam, membuat hati ini bergetar. Bagaimana tidak ayat ini menyatakan, “Maha Suci Allah yang menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Yang dilanjutkan dengan bacaan ayat berikutnya, yang lebih dahsyat menggetar jiwa.
“Allazii kholaqol-mauta wal-hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalaa, wa huwal-‘aziizul-ghofuur” - “Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalannya. Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun”