Mohon tunggu...
Hndyni Kusuma
Hndyni Kusuma Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Implikasi Pilkada

3 Desember 2015   20:21 Diperbarui: 3 Desember 2015   20:21 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan kepala daerah adalah pemilihan kepala daerah secara langsung oleh penduduk daerah administratif yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan pemilihan wakil kepala daerah. Sebelum tahun 2005, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang no. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah atau disingkat pilkada. Pilkada pertama kali diadakan pada juni tahun 2005. Meskipun Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada saat ini masih belum disetujui oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kini dalam berbagai rilis media massa banyak menimbulkan pro dan kontra. Pro dan kontranya terletak pada perubahan sistem pemilihan Kepala Daerah dari yang langsung menjadi tak langsung {Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) }.

                Terlepas dari polemik tentang rancangan undang-undang pilkada tersebut, saya tidak ingin menganalisis kelemahan dari Pilkada langsung ataupun Pilkada tidak langsung tersebut. Akan tetapi saya menitikberatkan penulisan ini pada impilikasi hukum, sekiranya rancangan undang-undang (RUU) Pilkada tersebut berhasil disahkan dikemudian hari oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Membincangkan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada, untuk kembali kepada Pemilihan Kepala Daerah melalui perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Tidaklah dapat dijadikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut berdiri sendiri, tanpa ada keterkaitan dengan sistem hukum lainnya. Pada dasarnya terdapat dua regulasi atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang saling terkait, yaitu Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Dan melalui Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu-lah Pilkada langsung mendapat legitimasi.

                   dengan adanya Undang-Undang Pilkada tersebut, ketika Kepala Daerah kemudian dipilih oleh DPRD, berarti Pemilihan Kepala Daerah bukan lagi dalam rezim pemilu. Otomatis menimbulkan impilikasi hukum terhadap sistem pemilihan Kepala Daerah, hingga pada institusi yang sebelumnya telah ditunjuk sebagai penyelenggara pemilu. Implikasi Pertama, terjadi antinomi dalam ketentuan hukum yang sederajat. Yakni Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 terhadap Undang-Undang Pilkada. Disatu sisi Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 masih menganut sistem Pilkada langsung, namun di sisi lain Undang-Undang Pilkada malah Kepala Daerah dipilih secara tak langsung melalui perwakilan DPRD. Meskipun secara hukum, dikenal asas “lex specialisit derogat legi generale,” tetapi Undang-Undang Pilkada bukanlah lex specialist yang kiranya dapat “menderogasi” Undang-Undang penyelenggaraan pemilu. Keduanya berada dalam kedudukan yang setara, sah, dan mesti diberlakukan secara bersamaan.

                       Implikasi Kedua, eksistensi dari pada penyelenggara pemilu (KPUD), Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), dan pengadilan kode etik pemilu (DKPP/ Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) tetap sah sebagai penyelenggara Pilkada, karena belum ada pencabutan tehadap Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu. Keadaan ini jelas “memperuncing” suasana bagi KPU sebagai penyelenggara rezim pemilu, oleh karena Undang-Undang Pilkada yang baru telah memasukkan penyelenggara pemilu untuk pemilihan Kepala Daerah adalah melalui DPRD. Dalam situasi tersebut, ada kemungkinan pula KPUD akan melakukan judicial review ke MK sebagai penyelenggara di luar rezim pemilu, berdasarkan kewenangannya yang telah diberikan secara implisit dalam Pasal 22 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Implikasi ketiga, kalaupun KPUD dan jajarannya, Panwaslu, dan DKPP tetap diakui keberadaannya. Sementara pemilihan Kepala Daerah sudah digelar melalui DPRD. Eksistensi dari pada KPUD, Panwaslu, dan DKPP sudah tereliminasi.

                         yang menjadi pertanyaan saya, apakah lembaga ini tetap masih permanen, tetap digaji oleh negara, sementara mereka tidak lagi bekerja apa-apa? Apakah ini bukan namanya pemborosan anggaran negara? Implikasi keempat, Jika DPRD adalah lembaga yang memilih Kepala Daerah. Apakah benar secara hukum, kalau kewenangan tersebut diperoleh hanya berdasarkan Undang-Undang Pilkada? Jawabannya tentu tidak, mestinya kewenangan tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang MD3 atau dengan pengertian yaitu suatu undang-undang yang mengatur tentang kewenangan MPR, DPD,DPR dan DPRD. Tidak bisa melalui Undang-Undang Pilkada saja, sebab dalam Undang-Undang MD3 tidak ada pengaturan lebih lanjut yang diperintahkannya untuk menambah kewenangan lain DPRD dalam hal untuk memilih Kepala Daerah.

                      Bahkan secara ekstrim, Rancangan Undang-Undang Pilkada tidak dapat dijadikan dasar “adendum” kewenangan DPRD diluar Undang-Undang MD3. Bukankah revisi atas peraturan hanya dapat dilakukan pada cakupan Undang-Undang yang memang mengatur batas-batas tugas dan kewenangan itu saja? Implikasi kelima, andaikan misalnya Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, juga akan memunculkan kerawanan hukum yang lain. Kepala Daerah terpilih bisa saja digugat melalui PTUN, sebab telah diangkat oleh DPRD, yang dianggap cacat prosedur, DPR mengangkat Kepala Daerah yang bukan kewenangnnya, dalam hal jika berpedoman pada UU MD3. Jelas akan lebih rumit lagi permasalahan hukumnya, kalau gugatan tersebut dimenangkan oleh pihak penggugat. Implikasi keenam atau terakhir, konflik hukum dan ketidakpastian hukum akan terjadi secara berkelanjutan.

                     Anggota DPRD bisa saja menolak untuk melakukan pemilihan Kepala Daerah dengan dalih tidak memiliki kewenangan. Atau pada saat yang sama DPRD menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah, tetapi di sisi lain KPU juga membuka pendaftaran calon Kepala Daerah karena tetap merasa memiliki wewenang berdasarkan UU Penyelenggaraan Pemilu. Jika itu yang terjadi, sudah pasti akan melahirkan dua pemimpin daerah yang masing-masing merasa punya legitimasi keterpilihan. Seandainya Revisi UU Pilkada tersebut pada akhirnya tetap mengegolkan “Pilkada tak langsung”. Pun kalau tidak “alhamdulillah”. Sebaiknya pengesahan oleh DPR atas Undang-Undang tersebut ditunda, lebih elok kiranya jika dibahas oleh anggota DPR periode berikutnya (2014-2019). Alasan penundaan ini, terkait dengan tidak dapatnya RUU Pilkada tersebut berdiri sendiri, hanya dalam satu pembahasan, dengan memandang tanpa ada implikasi hukum yang lainnya.

                   Bahwa perlu adanya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan dalam payung hukum yang sama, dalam satu program legislasi nasional, untuk pembahasan Rancangan Undang-Undang Pilkada dengan Undang-Undang terkait, sepertu Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu dan Undang-Undang MD3. Kalau memang jadi diselenggarakan Pilkada tak langsung berdasarkan Undang-Undang Pilkada terbaru, melalui sinkronsasi dan harmonisasi peraturan; maka perlu ditambah kewenangan DPRD untuk memilih Kepala Daerah dalam Undang-Undang MD3. Demikian pula kewenangan KPU dan jajarannya jika dirasa tidak berfungsi lagi dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah tak langsung, sebaiknya Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu dicabut saja. Atau bisa pula keberadaan penyelenggara pemilu tersebut dibentuk adhoc saja, yang dikhususkan untuk Pemilu Legisltaif dan pemilu Presiden saja, Sebab, buat apa ada Undang-Undang yang memberi kewenangan kepada Penyelenggara Pemilu, sementara lembaga-lembaga itu tidak lagi memiliki tugas dalam penyelenggaraan Pilkada.

                       Sebaliknya, jika angggota DPR sekarang, suatu waktu nanti berhasil mengesahkan RUU Pilkada itu, tanpa ada harmonisasi peraturan dengan Undang-Undang terkait Pilkada. Maka ini sudah pasti meninggalkan pekerjaan rumah bagi anggota DPR dan Presiden berikutnya. Anggota DPR yang baru dilantik nanti, harus melakukan sinkronisasi Undang-Undang Pilkada terhadap Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu dan Undang-Undang MD3. Ironisnya tidak hanya itu yang akan meninggalkan luka dalam goresan ‘tinta merah”. Pemeritahan Jokowi, meski partainya menolak tegas Pilkada tak langsung, imbasnya pun akan dirasakan. Jokowi sebagai kepala pemerintahan akan diseret sebagai termohon, andai saja ada gugatan terhadap Undang-Undang Pilkada, Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu, dan Undang-Undang MD3, baik itu melalui MA ataupun melalui MK. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun