Mohon tunggu...
Eni Kus
Eni Kus Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta

suka menari bali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keberagaman, Toleransi, dan Millenials

4 September 2020   11:15 Diperbarui: 4 September 2020   11:16 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diperoleh dari akurat.co

Bagi orangtua yang lahir pada sekitar tahun 60-70an sering disebut sebagai generasi baby boomer dan generasi X. Sedangkan orang-orang yang lahir setelah masa itu sering disebut generasi Y atau akrab disebut millennial. Bagi generasi muda yang baru mengecap bangku kuliah, SMA kebawah, sering disebut sebagai generasi Z -- sebuah generasi terbaru dimana seluruh komponen pendukung dia tumbuh disertai dengan teknologi dan banyak kemudahan lainnya.

Generasi Y atau Millenials yang lahir diawal tahun 1980-an sampai 2000 ini yang sering disorot. Bukan saja karena mereka muda dan penghantar bagi generasi Z, tetap punya tipikal yang sangat berbeda dengan dua generasi sebelumnya yaitu babby bommers dan X.  Millenials juga tumbuh disertasi dengan perangkat digital dan kemajuan teknologi seperti halnya generasi Z tetapi transisi sifat dasar dari boomers dan X ke millenialslah yang sering jadi masalah.

Apa saja itu ?

Boomers dan X punya sifat tenang, reflektif dan  cenderung memegang prinsip kehati-hatian. Dua generasi ini tahan terhadap hal yang menyakitkan dan tidak reaktif. Kita tentu ingat pada zaman mereka dibesarkan, komunikasi sebagian besar melalui surat (manual bukan surel) dan untuk hal-hal mendesak mereka menggunakan telegram -- untuk kabar kematian, kelahiran atau hal penting lainnya.

Sebaliknya, millenials seringkali suka sesuatu yang cepat, instan, tidak mau ribet dan apa adanya. Mereka akrab dengan surel, youtube, sosial media dan konten-konten yang ada di internet. Nah seringkali hal ini membuat dua kubu generasi ini bertentangan dengan nyata.

Termasuk dengan agama. Konten-konten agama yang disebarkan dengan cara tradisional tidak disukai oleh mereka karena dianggap kuno dan bertele-tele. Mereka lebih menyukai dai yang berkhotbah di youtube karena dikemas secara ringan, praktis,  menghibur tanpa membuat dahi berkerut.

 Namun konten yang akrab dengan kaum millenials seringkali disuguhkan oleh dai dengan konten tekstual, dan cenderung radikal. Mereka cenderng mengabaikan toleransi, keberagaman dan harmoni yang sejatinya menjadi dasar lahirnya Pancasila dan Indonesia.  Sehingga tak heran kaum millenials sangat dekat dengan paham-paham salafi, tarbawi takviri dan jihadi. Singkatnya mereka akrab dengan warna 'merah' dalam konteks agama dan menjauhi warna hijau yang mendamaikan dan harmoni.  Alasan utamanya adalah konten-onten itu menyuguhkan agama yang mudah dipahami, instan dan praktis.

Karena itu memang diperlukan kerja kreatif dan keras untuk membumikan toleransi, keragaman dan agama yang berkonteks lokal (indonesiaI). Inovasi diperlukan supaya pendekatan yang dilakukan untuk mereka bisa tepat dan diterima.

Dengan begitu harmoni berbangsa dan bertanah air yang beragam dapat terjadi di Indonesia dengan cara yang tepat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun