Mohon tunggu...
Eni Kus
Eni Kus Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta

suka menari bali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Milenials, Khalifah Penting Abad Ini

11 April 2019   04:48 Diperbarui: 11 April 2019   05:32 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak tahun 1991 ada sekitar tiga negara yang pecah dan terbentuk 23 negara baru.Negara yang bubar itu adalah negara Uni Sovyet, Sudan dan Yugoslavia. Mereka pecah karena konflik etnis, agama dan bahasa. 

Negara Federal Yugoslavia awalnya punya enam negara federal yang bersatu dibawah bendera Yugoslavia, namun kemudian ada konflik etnis di Kroasia. Kemudian merambat dan berdampak paling parah yaitu konflik di Bosnia dan Herzegovina. Perang Yugoslavia di Bosnia dan Herzegovina yang multi-etnis meninggalkan jejak berupa krisis politik dan ekonomi yang berkepanjangan.

Pada akhir masa 1980-an, pemimpin Uni Sovyet yaitu Gorbachev berusahana melakukan pembaharuan dibidang birokrasi dan ekonomi . Pada masa itu juga terjadi peningkatan kekerasan yang disebabkan oleh persaingan etnis di beberapa republic di Sovyet. Misalnya yang terjadi pada akhir 1986 di ibukota Kazakhstan. Mereka tak puas dengan pengangkatan kepala republic mereka yaitu beretnis Rusia. Mereka berdemonstrasi sampai menyebabkan kerusuhan.

Pada masa itu juga bagian lain Sovyet yang bernama Sumgait, Azerbaijan terjadi pembunuhan besar-besaran . Juga terjadi aksi kekerasan di Tbilisi, Baku dan tempat-tempat ain di seluruh negeri. Konflik paling berdarah terjadi di Karabakh antara Azerbaijan dan Armenia, yang sering disebut sebagai pemicu utama perpecahan di Uni Sovyet. Konflik-konflik etnis itu kemudian menelan korban ratusan orang dan kemudian membuat Uni Sovyet pecah dan mengecil seperti sekarang ini.

Begitu juga yang terjadi di Rwanda, yaitu pertentangan antar etnis di suku Hutu dan Tutsi yang begitu memilukan. Hampir satu juta orang baik dari Suku Hutu maupun suku Tutsi yang tewas akibat konflik etnis itu (Jumlah korban suku Tutsi lebih banyak dibanding Hutu. Itu adalah konflik dengan korban sangat besar pada masa itu. Konflik etnis terjadi karena suku Tutsi yang merupakan suku yang berjumlah kecil berkonflik dengan Hutu yang merupakan mayoritas. Meski minoritas, banyak orang dari suku Tutsi yang  menduduki jabatan penting di pemerintahan.

Penyebab eksternal adalah  sebagai bekas penjajah, Belgia memberi pengaruh  dua suku itu untuk saling membenci. Sehingga kebencianpun memuncak dan membesar saat presiden Rwanda terpilih dari suku Hutu, terbunuh. Sejak itu pembantaian atas Tutsi tak terelakkan. Rwanda kemudian dalam pengawasan  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Bisa kita bayangkan negara sekecil dan semiskin Rwanda yang hanya terdiri dari dua suku, konfliknya bisa mencengangkan dunia karena korban yang luar biasa banyak. Apa yang dilakukan oleh suku Hutu atas Tutsi adalah genosida. Mereka melakukannya karena rasa benci yang amat sangat atas kedua suku tersebut.

Semua ilustrasi itu hendak menyadarkan kita bahwa apa yang dilalui oleh bangsa Indonesia sangat luar biasa karena sangat kuat bertahan terhadap isu-isu perpecahan bangsa. Tak mudah bagi negara besar dan majemuk bisa dikelola dengan sangat baik terutama yang terkait dengan etnis dan kepentingan politik dan ekonomi.

Memang, Negara kita pernah diterpa isu distegrasi bangsa namun  tetap  tegak dan bersatu sebagai bangsa. Padahal Indonesia punya sekitar 1340 etnis atau suku bangsa berdasar  sensus Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010.

Kemampuan untuk bertahan dari perpecahan bangsa bukan tanpa sebab. Indonesia punya alat pemersatu bangsa (national cohesion) yang terbentuk secara alamiah dari nilai-nilai kebangsaan kita. Mungkin kita ingat kitab Sutasoma . Mpu Tantular menuliskan Bhinneka Tungga Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa. Kitab itu menjelaskan bahwa Nusantara bisa bersatu meski banyak perbedaan. Tidak ditemukan perselisihan sedikitpun. Perekat itu adalah Pancasila yang menjadi dasar negara kita.

Generasi millenias atau disebut generasi Y serta generasi Z (yang merupakan remaja saat ini) adalah generasi rentan atas perpecahan karena mereka umumnya suka hal-hal yang bersifat instan dan mudah dipengaruhi. Meski di sisi lain mereka punya daya kreativitas yang sangat tinggi, penuh percaya diri dan karena teknologi mereka saling terkoneksi satu dengan yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun