Pagi ini, entah kali keberapa aku kembali mengantar wanita yang telah menemani hidupku sekian lama ini ke air port. Walau penunjuk waktu yang melingkar dipergelangan tangan kananku menunjuk kepada angka 3 tetapi suasana diterminal keberangkatan Bandar Udara Soekarno Hatta tidaklah sepi, bila aku mengingat -- ingat justru di jam seginilah tempat dimana biasa aku, istriku dan banyak orang lain melakukan penerbangan selalu terlihat ramai.Â
Seperti biasa saat aku mendapat berita bahwa istriku akan bertugas keluar pulau Jawa saat itulah sebenarnya aku mulai merasakan kegalauan yang luar biasa. Entahlah, padahal sebagai anak pegawai negeri sipil aku sudah sangat jelas paham bahwa bekerja sebagai aparatur negara memang bisa saja setiap waktu ditugaskan kemana saja ketempat yang membutuhkan. Masih teringat jelas bagaimana saat pertama istriku berangkat ke Papua Barat untuk memenuhi panggilan tugasnya setelah ia resmi menyelesaikan pra jabatannya di Departemen Kesehatan yang kini berganti nama menjadi Kementrian Kesehatan.Â
Saat itu Provinsi dipaling Barat Indonesia sedang gencar -- gencarnya meminta kepada pemerintah pusat di Jakarta agar diberikan perlakuan khusus untuk menegakan hukum disana. Tak tanggung -- tanggung masyarakat Aceh saat itu meminta pemberlakuan hukum syariat Islam.Â
Entah bagaimana ceritanya masyarakat di provinsi paling Timur Indonesia pun ternyata sedang sangat semangat meminta diberlakukan hukum yang mengacu pada kitab suci mereka sendiri, yakni Injil. Situasi seperti itu jelas sangat mengkhawatirkan bagi aku untuk melepas perjalanan istriku ke tanah Papua. "kamu sudah tahu situasi disana sekarang?" tanyaku.Â
Sambil menghela nafas panjang istriku yang manis ini menjawab "like as you. I am watching television to. So, what happen there off course I know" begitu kata istriku yang memang dalam kesehariannya selalu menggunakan bahasanya Pangeran Charles dalam percakapan sehari -- hari denganku. Aku sebenarnya diam -- diam merasa salut dengan rasa percaya diri istriku saat menggunakan English dalam conversation nya. Bagaimana tidak, walau sudah lama menetap di Jakarta dan beberapa kali bekerja di rumah sakit swasta tapi istriku yang lahir di Kudus ini masih saja terdengar logat Jawa nya saat sedang bicara.Â
For example, when she said gocap so word gocap be nggocap, lho koq aku ikutan ngEnglish. Pernah hal ini aku tanyakan "kamu sudah lama tinggal di Jakarta koq logat Jawanya masih kental sih?". What your problem katanya. I was born in Kudus so my spelling when I talk to public must have Java intonation. It's not only me but much Java people like as me tambahnya. Aku yang kebetulan lahir di Jakarta 48 tahun lalu dan menamatkan semua pendidikan sekolah di Jakarta dari orang tua yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil sebenarnya tidak merasa asing dengan bahasa Jawa karena kedua orang tua ku lahir dan besar di Jawa Tengah, Kebumen tepatnya. Saat kecil semasa sekolah dasar dulu diakhir tahun 1970 an aku masih banyak mendengar orang yang berucap menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya bahkan disekolah sekalipun.