Mohon tunggu...
Sanad
Sanad Mohon Tunggu... Mahasiswa/Pelajar -

Penulis Cerita Pendek

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Retakan dan Keinginan-keinginan di Atas Meja Makan

21 Februari 2018   09:56 Diperbarui: 22 Februari 2018   00:04 1532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: atypyk.com

(Kabar Koran Ternama)

"Seorang perempuan di Kota B tega membunuh suaminya sendiri karena diduga tidak mau memakan masakannya dihari selasa kemarin. Hingga hari ini tersangka masih berada di Mapolsek terdekat dari TKP untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut, termasuk kejiwaan. Sampai berita ini dimuat dan berada ditangan pembaca yang budiman, ehemm, masih belum ada kepastian sampai kapan tersangka akan ditahan. Mungkin selamanya. Terima kasih."

~

Pagi itu Mapolsek kota B dipenuhi warga dari berbagai kalangan, beberapa dari forum Pemerhati Istri-Istri Tersakiti, yang kalau disingkat jadi PI2T, ada juga dari Kerukunan Pemuda -Pemuda Takut Istri, yang tak kalah apik kalau namanya disingkat (KEPEPET Istri). Tentu tidak hanya itu. Ada juga beberapa puluh orang wartawan, sudah termasuk kameramen, pemegang sound system, tukang make-up, dan tidak lupa beberapa orang yang sudah dibariskan untuk dimintai pendapat masing-masing, ada beberapa dari tokoh-tokoh agama hingga lintas agama, ada juga pengamat politik mikro tingkat Rt dan Rw, dan beberapa pedagang kaki lima, pedagang bakso, nasi pecel, soto kuda, dan tak lupa pengasong mijon, yang barangkali sengaja berada disekitar mapolsek karena menganggap semua kekacauan itu adalah peluang bisnis yang menggiurkan.

"Apakah menurut bapak kasus ini bisa berpengaruh pada kondisi perpolitikan dinegara ini?" Sergah salah satu wartawan cantik pada seorang pengamat politik yang tentu saja sudah berbaris didepan kamera sejak tadi.

"Tentu! Kalau enggak berpengaruh ngapain saya ada disini. Dan, tolong mbak, hati-hati kalau bicara negara. Ini media jangan sembarangan bicara negara, entar bisa didemo" sambung salah seorang (yang dianggap pengamat politik) diantara kerumunan orang-orang yang berada disekitar kawasan mapolsek itu.

"O, maafin saya mas, eh, salah, maksudnya bapak. Kembali ke topik, jadi menurut bapak langkah apa yang seharusnya diambil agar kasus ini tidak meluber dan mempengaruhi sektor-sektor lain, seperti ekonomi, dan kebudayaan misalnya?" sambung wartawan cantik itu sambil terus memainkan mata dan bibirnya dihadapan kamera.

"Ya mijon, mijon, mijon. Mijonnya mba, pak, mas, dek manis!" Seorang pedagang asongan tiba-tiba memasuki arena wawancara.

"Maaf pak, ini kami sedang syuting, bisa menyingkir sebentar" dengan gerakan serupa memerintah perempuan wartawan tadi coba membersihkan area wawancara. "Tapi, mijonnya satu pak, aus!" sambungnya lagi.

"Oke. Mumpung masih dingin"

"Jadi, gini ya mbak" sergah bapak (pengamat politik) yang tadi diwawancarai. "Tugas saya itukan hanya mengamati, bukan memberi nasehat. Kalau mbak dengan mas kameramen, eh tolong kameranya kesini dong!. Saya ulangi ya. Saya bukan penasehat politik, saya hanya pengamat, kalau mbak, mas, butuh nasehat dan masukan, coba aja hubungi penasehat politik, jangan ke saya" sambungnya lagi sambil menghela nafas panjang. "Tolong mijonnya satu pak!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun