Mohon tunggu...
Efendik Kurniawan
Efendik Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Publish or Perish

Pengamat Hukum email : efendikkurniawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kekerasan Seksual dan Menggugah Keyakinan Hakim

20 November 2022   22:58 Diperbarui: 20 November 2022   23:13 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual, kembali menyita perhatian publik. Kali ini, publik mempersoalkan terkait putusan kasus yang terjadi di Jombang dengan terpidana MST. Proses penegakan hukum terhadap perkara ini menjadi isu nasional kala itu, karena berkaitan dengan sebuah pondok pesantran dan salah satu kyai besar di Jombang.

Sekilas melihat pada proses penegakan hukum yang cukup alot di tingkat kepolisian. Awalnya, perkara ini ditangani oleh Polres Jombang, namun karena banyak pertimbangan, maka penanganan perkara ini dilimpahkan ke Polda Jatim. Oleh Polda Jatim pun saat itu, perkara ini juga cukup lama penangananya. Jelas, pengaruh dari pondok pesantren dan Kyai tersebut punya andil dalam proses penanganan perkara ini.

Bahkan sudah ditetapkan tersangka, saat hendak dijemput untuk dilakukan penahanan, terjadi perlawanan di Ponpes tersebut. Berulangkali Polda Jatim dan Polres Jombang hendak melakukan upaya paksa penahanan gagal terjadi. Sampai Kapolres Jombang turun tangan dengan menghadap kepada Kyai tersebut, yang ternyata merupakan ayah kandung dari seorang tersangka yang diduga melakukan pelecehan seksual kepada santriwati Ponpes tersebut. Pada akhirnya, MSA menyerahkan diri dan dilakukan penahanan di Rutan Medaeng.

Selanjutnya, proses perkara ini dilakukan penuntutan di Pengadilan Negeri Surabaya, bukan di Pengadilan Negeri Jombang. Kemarin, perkara ini sampai pada Putusan di Tingkat Pertama dengan vonis berupa pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun. Para pihak, baik dari sisi penuntut umum dan penasehat hukum sepertinya tidak puas dengan putusan hakim ini. Kita tunggu sampai 7 (tujuh) hari, apakah mereka menerima atau mengajukan banding terhadap putusan tersebut.

Apabila dilihat dari sisi normatif, hal ini jauh dari tuntutan jaksa yaitu pidana penjara 16 (enam belas) tahun. Sedangkan, hakim hanya menjatuhkan 7 (tujuh) tahun penjara. Namun, dari sisi penasehat hukum masih kekeh menyatakan bahwa MSA tidak bersalah atas perbuatan tersebut.

Dalam tulisan ini hendak melihat bahwa terhadap kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan, kembali terulang. Baik di lingkungkan Pondok Pesantren maupun sekolah formal. Hal ini tentunya yang harus menjadi perhatian lebih oleh aparat penegak hukum, khususnya oleh Hakim apabila perkara ini sudah masuk di ranah persidangan. Hakim harusnya selain pada memeriksa bukti-bukti di persidangan, juga harus melihat nilai-nilai keadilan di masyarakat. 

Hakim harus mampu mencapai kecerdasan spiritual dalam melihat suatu kasus. Ya, tidak hanya norma hitam putih terhadap suatu perkara dengan memenuhi unsur delik. Tetapi, jauh daripada itu terdapat nilai-nilai yang terkandung dalam suatu norma tersebut dengan tergantungnya nilai keadilan atas penjatuhan putusan Hakim.

Publik sangat menaruh kepercayaan yang sangat besar kepada Hakim dalam penjatuhan putusan perkara ini. Tingkat keyakinan hakim ini yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai kecerdasan spiritual. Sebuah kecerdasan yang diperoleh dengan mendengarkan hati nurani. Rasa perasaan yang sangat mendalam. 

Suatu peristiwa kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Pondok Pesantren. Sebuah tempat yang seharusnya dipergunakan untuk mencari ilmu dan menuntut ilmu agama, namun yang terjadi tindak pidana kekerasan seksual. 

Dampak yang terjadi dari peristiwa ini yaitu banyak sebagian masyarakat jadi khawatir untuk memasukkan anaknya di lingkungan pondok. Pada titik ini, maksudnya hakim juga harus peka akan peristiwa ini, bahwa putusan yang dijatuhkan tidak hanya memutus pada keadilan peristiwa yang sedang dihadapi saat ini, namun dapat berkelanjutan kepada trauma orang tua apabila hendak memasukkan putra-putrinya ke Pondok Pesantren.

Dengan demikian, publik berharap di dalam penjatuhan suatu perkara, hakim diharapkam mampu mencapai kecerdasan spiritual, tidak hanya kecerdasan formal yang dalam bentuk penerapan pasal. Hal ini dilakukan sebagai wujud implementasi dari bentuk keyakinan hakim, yang merupakan salah satu syarat yang sangat prinsipil oleh hakim dalam memutus suatu perkara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun