Mohon tunggu...
Efendik Kurniawan
Efendik Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Publish or Perish

Pengamat Hukum email : efendikkurniawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

No Viral No Justice: Refleksi Penegakan Hukum 2021 (Sebuah Renungan di Tahun 2022)

31 Oktober 2022   06:48 Diperbarui: 31 Oktober 2022   06:48 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menjelang akhir tahun 2021, mari kita sejenak untuk refleksi diri. Ya, khususnya melihat pada penegakan hukum di tahun 2021. Berbagai macam polemik tahun 2021 sudah kita lihat. Mulai dari polemik Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK, hingga banyaknya fenomena kejahatan-kejahatan seksual. Semua itu merupakan perwujudan bahwa politik, hukum, masyarakat dan lingkungan selalu terjadi keterkaitan dan menyebabkan hubungan sebab-akibat.
Tes wawasan kebangsaan misalnya, didahului mulai adanya Hak Angket KPK pada tahun 2017, hingga muncul rekomendasi untuk merevisi UU KPK pada tahun 2019, sampai pada terdapatnya Tes Wawasan Kebangsaan untuk pegawai KPK sebelum diangkat menjadi ASN. Publik juga heboh kala itu terdapat beberapa pegawai yang tidak lolos TWK, yang kebanyakan juga penyidik-penyidik senior. Publik pesimis akhirnya serta beranggapan upaya revisi UU KPK, hanya merupakan 'alih-alih' untuk upaya pelemahan KPK. Sampai pada tahun 2021 terdapat tawaran dari Kapolri untuk penyidik-penyidik senior itu masuk menjadi ASN Polri. Publik menyarankan untuk diterima saja tawaran itu dengan memviralkan bahwa tidak lolosnya Novel cs dalam Tes TWK hanya merupakan 'kedok' untuk menyingkirkannya dari Gedung Merah Putih. Ya, hingga pada Desember 2021, Novel cs diangkat menjadi ASN Polri.
 
Hubungan Politik dan Hukum
Melihat pada fenomena itu, sesungguhnya terdapat keterkaitan yang erat antara politik dan hukum. Hak angket KPK yang dilakukan oleh Lembaga DPR yang berisikan orang-orang politik, menjadi faktor pemikiran ini. Produk DPR adalah produk hukum. Ya, produk hukum yang berisikan kepentingan-kepentingan politik. Perihal apakah itu kepentingan masyarakat umum atau hanya kepentingan-kepentingan pribadi, bukan menjadi soal. Intinya, apa yang dikeluarkan DPR dengan bungkusan bahwa tindakannya berdasar pada hukum (hukum positif) adalah kewenangannya. Sekali lagi kewenangannya, bukan kekuasaannya.
Alasan dilakukan Hak Angket KPK pada kala itu, yakni KPK sudah tidak melaksanakan perintah UU dalam pemberantasan tipikor, serta terdapat kelemahan-kelemahan dari aspek hukum pidana formil dalam UU KPK. Misalnya saja terkait penghentian penyidikan. Terdapat temuan oleh Prof. Romli bahwa terdapat kurang lebih 30 orang yang ditetapkan sebagai Tersangka, tetapi "kasusnya mangkrak". Tidak jelas nasibnya.
Apakah itu menjadi alasan yang relevan dan logis untuk menjadi dasar revisi UU KPK? Atau hanya sebuah cara menunjukkan kepada publik, bahwa KPK juga banyak kelemahan. Serta, penegakan hukumnya selama ini melanggar asas-asas dan konsep-konsep dalam hukum pidana formil.
Tetapi, drama terkait KPK ini sudah berujung. Ya, diangkatnya Novel cs menjadi ASN Polri. Publik menunggu 'gebrakan-gebrakan' Novel cs dalam pemberantasan tipikor melalui Lembaga Polri. Melihat, sudah terdapat beberapa perkara korupsi yang menunjukkan bahwa Penyidik KPK juga dapat melakukan korupsi. Tidak menutup kemungkinan, nanti akan ada babak-babak baru dalam pemberantasan tipikor ini. Seperti yang dulu Cicak vs Buaya.
 
No Viral No Justice
Selain itu, bukan tidak mungkin juga Novel cs akan melakukan pembersihan di tubuh Polri sendiri. Mengingat, anggapan masyarakat terhadap penegakan hukum yang dilakukan Polri masih 'gelap'. Sering jika ada penanganan kasus, publik dibuat kecewa terlebih dahulu. Akhirnya muncul di dunia maya "#percumalaporpolisi" menjadi trending topic. Khususnya, tindak pidana yang menyentuh korban masyarakat kecil.
Sesungguhnya, fenomena itu bukan merupakan hal baru dalam penegakan hukum. Bahkan sudah menjadi budaya di neger ini. Ya, budaya bahwa "tanpa uang kasus tak jalan" atau "kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah". Pameo-pameo itu sudah terlihat biasa di masyarakat. Tetapi dengan adanya dunia maya saat ini, masyarakat menggunakan sarana itu mencari keadilan.
Empati masyarakat Indonesia itu sangat tinggi. Bisa kita lihat terhadap kasus-kasus yang terjadi di dunia maya, sesungguhnya mereka tidan menjadi korban secara langsung. Tetapi, mereka berempati bahkan menyuarakan untuk bagaimana mencari keadilan itu. Sikap-sikap seperti ini yang harus kita jaga. Bahwa masyarakat Indonesia mempunyai jiwa kesaudaraan yang tinggi. Bahkan, kenalpun tidak. Akhirnya, mereka ambil sikap dengan cara memviralkan feneomena yang terjadi, nyatanya penegakan hukum malah berjalan semestinya.
Fenomena itu juga bisa kita lihat kemarin, terhadap perkara kekerasan seksual. Baik yang terjadi di daerah Jawa Barat maupun Jawa Timur. Pelaku sudah diproses sesuai dengan hukumnya. Ya, setidaknya terdapat upaya penegakan hukum dalam perkara itu. Tidak hibernasi atau menguap begitu saja.
Bahkan, menjadi hal yang jarang sekali ditemukan, yaitu penanganan perkara dari penyelidikan ke penyidikan itu bisa sehari, serta pelaku ditangkap dan ditahan. Terdapat bukti foto juga bahwa pelaku dimasukkan di dalam sel. Rangkaian fenomena itu menggelitik hati dan fikiran penulis. Oh, ternyata lebih baik kasus itu viral dulu baru penegakannya sangat mudah. Tidak serumit ketika perkara itu tidak viral.
Mungkin ini budaya baru dalam penegakan hukum dalam era kontemporer ini. Ada yang menyebut peradilan dunia maya lebih baik dari peradilan di pengadilan-pengadilan itu. Ya, anggapan mereka peradilan dunia maya membuat hukum berjalan semestinya. Tidak banyak lika-liku atau drama-drama yang sangat aneh.
Sehingga lahir pameo "#noviralnojustice". Dari pameo itu, Kapolri langsung membuat instruksi untuk mengevaluasi penegakan hukum selama ini. Publik berharap, wajah penegakan hukum di tangan Polri berubah. Berubah sebagaimana mestinya penegakan hukum dengan konsep "proses hukum yang adil" (due process of law). Penegakan hukum yang dilakukan oleh manusia-manusia pilihan dengan tingkat moralitas yang tidak kekanak-kanakan.
Budaya penegakan hukum yang no viral no justice itu, masih terlihat moralitas kekanak-kanakan. Melihat untung atau rugi terhadap perbuatan (kewenangan) yang dilakukannya. Belum pada moralitas orang dewasa. Ya, melakukan perbuatan itu dengan sikap menyadari bahwa saya ada disini dengan tugas yang seharusnya saya lakukan untuk mengayomi masyarakat. Mengingat, masyarakat sudah pintar dan bisa menilai, mana penegakan hukum yang wajar dan yang tidak wajar. Semoga di tahun 2022, budaya penegakan hukum di semua aparat penegak hukum berubah. Laksanakan penegakan hukum dalam terang hati nurani dan etika.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun