Mohon tunggu...
kurnianto purnama
kurnianto purnama Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara

Pendiri Law Office KURNIANTO PURNAMA , SH, MH. & PARTNERS, Jakarta since 1990.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Habis Gelap, Terbitlah Terang

21 April 2018   18:02 Diperbarui: 21 April 2018   18:32 814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PAGI hari ini, setelah telpon genggamku dibuka, bertubi-tubi masuk ke WhatsApp Group ucapan ' Selamat Hari Kartini '. Aku senang juga banyak rakyat Indonesia di Tanah Air yang begitu peduli kepada Pahlawan Nasional kita. Semakin mencintai Pahlawan Nasional. Semakin baik buat bangsa itu sendiri. Karena tanpa pahlawan tak mungkin ada NKRI.

Janganlah sekali-sekali menghujat pahlawan bangsa kita sendiri. Termasuk para negarawan kita yang masih hidup saat ini. Karena banyak diantaranya, setelah wafat menjadi pahlawan. Penghujatan terhadap negarawan sendiri, ujung-ujungnya akan menghujat negaranya sendiri. Bukankah politik adu domba Belanda adalah melalui cara saling menghujat di antara negarawan kita sendiri?

Selain menambah rasa nasionalisme suatu bangsa, seorang pahlawan  dapat pula menginspirasi bangsanya untuk berbuat lebih baik kepada negaranya, sesuai bakat dan kemampuan masing-masing.

Salah satu pahlawan yang bisa menginspirasi rakyat kita di Tanah Air adalah Raden Ayu Kartini.

Pada usia 12 tahun Raden Ayu Kartini masuk sekolah di ELS ( Europese Lagere School ). Di sini Kartini belajar bahasa Belanda. Karena ia mengerti bahasa Belanda, lalu ia mempunyai sahabat-sahabat pena orang Belanda, salah satunya adalah Rosa Abendanon, yang tinggal di Belanda.

Pada waktu itu, Kartini banyak menulis surat dan koresponden  dengan Rosa Abendanon dan sebaliknya Kartini mendapat kiriman buku-buku, majalah-majalah, koran-koran dalam bahasa Belanda. Sehingga ia mengetahui pemikiran dan perkembangan wanita-wanita di Eropa. Sementara wanita-wanita pribumi tidak banyak kesempatan untuk sekolah seperti wanita-wanita di Eropa saat itu.

Kartini sering mengirim tulisan dan banyak tulisannya dimuat di majalah wanita negeri Belanda " De Hollandsche Lelie ". Ia membaca pula buku Max Havelaar dan karya-karya sastra Multatuli. Romans De Stille Kraacht karya Louis Coperus. Romans Feminin karya Goekoop de-jong Van Beek. Romans anti perang karya Berta Von Suttner dan lain-lain.

Setelah Kartini wafat pada 17 September 1904 dalam usia 25 tahun. Yakni 4 hari setelah ia melahirkan anak pertamanya. Lantas Mr. J.H. Abendanon, yang menjabat Menteri Kebudayaan Belanda saat itu,  mengumpulkan surat-surat yang dikirim Kartini ke Rosa Abandanon untuk dijadikan sebuah buku. Lantas buku itu diberi judul " Door Duisternis tot Licht " yang secara harfiah berarti " Dari Kegelapan Menuju Cahaya ". Buku ini terbit di negeri Belanda pada tahun 1911.

Kemudian pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul " Habis Gelap Terbitlah Terang ".

Maka dilihat dari perjalanan hidup Kartini, sebetulnya almarhumah adalah seorang penulis. Benarlah apa yang dikatakan oleh seorang pujangga Pramudya Ananta Toer " Menulis Itu Bekerja Untuk Setelah Kematian ".

Demikian sedikit tulisan untuk mengenang Raden Ayu Kartini. Selamat jalan Raden Ayu Kartini, pemikiranmu telah menginspirasi bangsa Indonesia sepanjang sejarah.

Jakarta, 21 April 2018

Kurnianto Purnama, SH.MH.

kurnianto_purnama@yahoo.com

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun