Mohon tunggu...
Kurnia Ibrahim
Kurnia Ibrahim Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa BKI UIN Raden Mas Said Surakarta

Bermusik, Penyimak Sosial,

Selanjutnya

Tutup

Bola

L'inumano Deve Essere Distrutto

7 Oktober 2022   05:56 Diperbarui: 7 Oktober 2022   06:02 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepak bola di Indonesia, rasanya sudah menjadi identitas tambahan bagi masyarakat selain suku, agama dan ras. Tak heran bagi saya bila setiap "El Nacional" Indonesia bertanding, jutaan pasang mata dengan tulus mendukung dan bersorak. Dalam historinya pun, Indonesia pernah turut serta dalam gelaran World Cup 1938 yang kala itu masih bernama Hindia Belanda. 

Hal itu rasanya menjadi kebanggaan tersendiri bagi saya dan masyarakat sepak bola Indonesia sebagai bukti nyata bahwa sepak bola seakan menjadi darah bangsa kita. Namun, seiring berjalannya waktu, Tampaknya negeri ini tak selalu kondusif untuk memahami bagaimana sepak bola ini hidup. 

Selama Indonesia menjadikan sepak bola sebagai enthusiast sport, tak jarang problematika lahir mencoreng wajah bangsa kita sendiri. Jika ditelisik, Indonesia dirasa menjadi "langganan" sanksi dari FIFA terkait hiruk pikuk persepakbolaan di tanah air. 

Kasus sepak bola gajah, Calciopoli di Indonesia, Kerusuhan supporter, bahkan hingga permasalahan gaji pemain, menjadi catatan hitam bagi persepakbolaan di Indonesia. Tentunya permasalahan tersebut tidak hanya ada di Indonesia, di beberapa negara seperti Italia, Inggris, Spanyol, Brazil dll pun pernah merasakan keruhnya.

Tetapi rasanya, bagi saya dan mungkin banyak masyarakat, Sepak bola Indonesia tak henti - hentinya menjadi luka mendalam bagi para pecintanya. Di tahun 2022 saja, sudah menjadi rahasia umum bila kualitas persepakbolaan di Indonesia susah beranjak dari goa. 

Dimulai dari permasalahan internal Federasi, keputusan wasit di semua liga, operating system liga, sikap pemain, bahkan supporter. Sanksi Federasi, bahkan FIFA sekalipun, rasanya seperti hukuman remeh yang membuat kita tidak menjadi lebih baik. 

1 Oktober, tidak hanya menjadi peringatan Hari Kesaktian Pancasila bagi bangsa Indonesia pasca tragedi G30S/PKI. Tetapi di tahun ini, menjadi sebuah peringatan kelam bagi dunia persepakbolaan Indonesia. Sesuai jadwal liga, 1 Oktober 2022 mempertemukan klub jatim bertajuk "Derby Jatim" antara Arema FC vs Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang. 

Bagi masyarakat sepak bola tanah air, tidak mengherankan bila di Indonesia memiliki pertandingan derby dan harus kita akui bahwa pertandingan derby juga menjadi pertandingan yang ditunggu - tunggu oleh para fans sebagai ajang eksistensi dan gengsi untuk mendukung klub yang dicintainya. Pertandingan derby jatim ini, diakhiri dengan kemenangan Persebaya Surabaya yang juga menjadi kemenangan perdana setelah 23 tahun tak pernah menang menghadapi Arema FC. 

Secara statistik pun, Persebaya cukup mendominasi jalannya pertandingan derby super jatim ini dan Arema FC, agaknya memang sedang dalam fase performa yang kurang konsisten di musim ini. Sudah sepantasnya memang tidak ada klub yang selalu konsisten di setiap musim. 

Coba kita amati klub-klub besar di luar negeri yang tak jarang performa mereka sedang "suloyo" di liga. Tapi sepak bola di Indonesia juga tidak berbeda dengan sepak bola di negara manapun. Fanatisme fans menjadi sebuah kebanggan bagi fans sendiri dan juga klub. Sering kali, fanatisme berdampak positif bagi supporter dan juga klub itu sendiri. Namun, satu hal yang harus selalu kita ingat bahwa sesuatu yang berlebihan tidak akan pernah baik pada akhirnya. 

Pasca pertandingan derby jatim ini, Para Aremania (sebutan bagi fans Arema FC) begitu kecewa dan ingin mengekspresikan hal tersebut secara langsung kepada pemain dan juga manajemen klub tanpa adanya kerusuhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun